Jika berbicara mengenai sejarah Kebumen khususnya Gombong dalam foto, maka kita tidak akan menemukan apa yang kita cari secara memuaskan. Jika membuka mesin pencari Google dengan kata kunci “Kebumen Tempo Dulu” atau “Gombong Tempo Dulu”, sudah lumayan banyak informasi yang kita dapatkan perihal foto-foto masa lalu Kebumen khususya di periode kolonial. Kondisi berbeda saat tahun 2000 dimana internet dan sosial media belum booming seperti saat ini. Namun demikian foto-foto yang dipublikasikan oleh website lokal di Kebumen tersebut lebih memperlihatkan aktifitas kolonial di lokasi-lokasi tertentu (aktifitas pejabat Belanda di tempat wisata dll) ataupun gedung serta bangunan hasil buatan kolonial (terowongan Ijo, jembatan Luk Ulo, pabrik minyak Mexolie, dll) dan foto-foto tersebut hasil mendownload dari situs-situs sejarah di Belanda. Namun hasil foto-foto yang dibuat oleh warga Kebumen atau Gombong di era kolonial masih begitu minim. Kondisi serupa nampaknya tidak jauh berbeda saat kita mencari foto-foto tempo dulu di kantor Arsip Daerah yang ternyata masih belum terkoleksi dengan baik. Kalaupun tersedia hanya beberapa saja yaitu profil Adipati Arungbinang, Pabrik Mexolie, Gedung Asisten Residen Kebumen dan beberapa lainnya yang lebih mempotret aktifitas militer di era kolonial Belanda.
Ada yang berbeda pada kegiatan yang dinamai People’s History of Gombong yang diselenggarakan Rumah Martha Tilaar (8 Agustus 2017) dimana dipamerkan berbagai foto lama kehidupan sosial Gombong dari berbagai periode yang berbeda dengan kisaran tahun 1920-an hingga tahun 1960-an. Menariknya, foto-foto yang dipamerkan tersebut hasil pengumpulan yang dilakukan tim kuratorial (kuratorial: pengetahuan atau pemahaman akan benda-benda atau artefak bersejarah) terhadap warga yang menyimpan berbagai foto masa lalu di Gombong. Bukan hanya foto tetapi sejumlah surat-surat penting, dokumen.
Kegiatan People’s History of Gombong dilanjutkan dengan diskusi publik yang menghadirkan Reza Adhiatama, MSc, Direktur Rumah Martha Tilaar dan Lotte van der Voort, MA, Indonesian Netherlands Society sebagai pemantik. Sekalipun suasana diskusi cukup dinamis sayangnya arah percakapan belum berfokus pada apa yang digagas oleh panitia acara sebagaimana tertera dalam Catatan Kuratorial, “Pameran ini dimaksudkan bukan untuk memberikan keterangan lengkap tentang sejarah Gombong melainkan sebuah undangan untuk membangun narasi bersama tentang sejarah lokal warga Gombong untuk kemudian menjadi sesuatu yang dekat untuk ditaksir, dianalisis dan dipahami”.
Sekalipun Reza Adhiatama telah memberikan penjabaran singkat perihal perlunya sejarah yang berasal dari bawah yaitu dari masyarakat sendiri melalui kehadiran foto-foto yang menceritakan kehidupan sosial di periode waktu tertentu namun belum ada upaya lisan yang kuat yang disampaikan yaitu “undangan untuk membangun narasi bersama”. Percakapan dalam diskusi publik hampir selau terseret pada kontroversi dikotomis perihal hari jadi Kebumen atau kekuatiran perihal ekses pengungkapan sejarah yang ditutupi oleh rezim yang berkuasa ataupun membicarakan keluhan soal metodologi penyampaian sejarah.
Namun kita akan mengutip beberapa definisi untuk memberikan semacam peta pemahaman wilayah garapan. Ada yang mendefinisikan Sejarah Publik sebagai, “Penggunaan keterampilan sejarah di luar bidang sejarah akademis tradisional. Sejarawan publik berusaha menjangkau pendengar yang lebih besar melalui berbagai media seperti pameran, situs sejarah, tur, presentasi audio visual, permainan, situs web, dan lain-lain. Jadi, audiens atau pendegarlah yang membedakan sejarawan tradisional yang bergerak di lapangan akademik dengan sejarawan publik yang bergerak di kehidupan sosial masyarakat" (What is Public History? - http://thomascauvin.com). Robert Weible mengutip definisi yang diberikan the National Council on Public History (NCPH) perihal Sejarah Publik, "Sebuah gerakan, metodologi, dan pendekatan yang mempromosikan studi kolaboratif dan praktik sejarah dimana para praktisi merangkul sebuah misi untuk membuat wawasan khusus mereka dapat diakses dan bermanfaat bagi publik." (Defining Public History: Is It Possible? Is It Necessary? https://www.historians.org).
Kresno Brahmantyo menjelaskan bahwa Sejarah Publik (public history) sudah dikenal dan tumbuh di Amerika Serikat sejak 1970-an, sebagai bagian dari sejarah terapan (applied history). Ia berkembang pula di Eropa dan Australia pada 1990-an. Sejarah publik berada di luar lingkup sejarah akademik. Sejarah publik dilakukan oleh mereka yang sudah mendapatkan pelatihan dalam studi sejarah dan biasanya mereka yang bekerja di bidang kesejarahan dan berada di luar lingkup akademis. Metode yang dikembangkan sejarawan publik telah membuka pembatas antara sejarah profesional dan publik dengan menjadikan sejarah menjadi terjangkau secara luas di masyarakat. Sejarah kemudian dapat menjadi agen perubahan dan berperan dalam pengetahuan tentang kesejarahan di masyarakat. Sejarah publik menjadi sesuatu yang aktif, reaktif, dan amat relevan bagi masyarakat luas yang memungkinkan mereka terhubung dengan masa lalu, sekarang, dan masa depan” (Sejarah Publik dan Agen Perubahan - https://www.tempo.co). Salah satu contoh penerapan Sejarah Publik sebagaimana dilakukan dan disampaikan oleh Paul Ashton, profesor pada University of Technology Sydney, dalam seminar internasional tentang sejarah publik di Universitas Indonesia, 26-27 September 2012. Dalam program sejarah publik Ashton meneliti sejarah toko buah orang Italia di Sydney. Penelitian tersebut dilakukan sejak tahun 2001. Untuk mengerjakan proyeknya, Paul menghubungi para pemilik toko buah di Sydney yang berkebangsaan Italia. Mewawancarai mereka dan meminta foto, dokumen, dan arsip keluarga. Hanya keluarga dan warga sekitar yang memiliki pengalaman mengenai toko-toko itu. Sulit mencari arsip mereka di lembaga pemerintah. Dengan diibantu kecanggihan teknologi, Paul kemudian membuat situs internet mengenai toko buah di Australia. Dalam situs itu, Paul mempersilakan warga yang mempunyai arsip, foto, dan dokumen lain terkait toko buah itu untuk saling berbagi informasi. Hasilnya sangat luar biasa. Arsip, foto, dan dokumen yang tercecer di warga bisa dikumpulkan. Bahkan warga ikut mendanai proyek Paul. Maka, jadilah sebuah narasi sejarah yang melibatkan sejarawan dan masyarakat. Sebagai tindak lanjut, Paul dan warga lalu menyelenggarakan eksebisi toko buah orang Italia di Sydney, setahun sekali (Hendaru Tri Hanggoro, Mengembalikan Sejarah ke Publik - http://historia.id).
Dari pemaparan dan contoh di atas kita bisa mendapatkan benang merah bahwa entahkah siapa yang lebih berperan (akademisi atau masyarakat) namun selalu ada aspek kolaborasi (kerjasama) antara akademisi dan masyarakat untuk menyusun narasi sejarah sosial mereka yang dapat diidentifikasi dari pengumpulan dokumentasi foto. Sejarah Publik berbicara partisipasi publik dalam mencari, mengumpulkan, mendokumentasikan, menganalisis hingga menyimpulkan dalam susunan naratif mengenai sejarah kehidupan sosial mereka sendiri di suatu tempat tertentu (toko, warung, pabrik, pasir, rumah tinggal, kantor dll). Harus dibedakan antara istilah “Sejarah Publik” dengan “Sejarah Sosial”. Jika Sejarah Publik merupakan trend masa kini yang membicarakan partisipasi publik dalam penyusunan sejarah mereka sendiri namun Sejarah Sosial dimaksudkan sebuah metodologi dalam Ilmu Sejarah yang bertujuan melakukan analisis komprehensif akademis berkaitan dengan kehidupan sosial ekonomi, kelas sosial, peristiwa-peristiwa sosial, kriminalitas, kemiskinan dll (Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, 2003:39-58).
Definisi dan aplikasi dari Sejarah Publik inilah yang tidak tersampaikan dalam kegiatan Diskusi Publik saat pembukaan pameran People’s History of Gombong sehingga diskusi dan percakapan tidak berhasil mencapai tujuan yang semula dituliskan yaitu “undangan untuk membangun narasi bersama”. Jika peserta diskusi publik diberi wawasan dasar perihal definisi dan aplikasi Sejarah Publik melalui pemaparan akademisi sejarah yang berkecimpung di bidang Sejarah Publik, maka percakapan akan lebih fokus dan berujung pada sebuah komitmen dan aksi bersama membangun narasi melalui kolektifikasi foto-foto tempo dulu.
Tidak dapat dihindari di era teknologi informasi dan kultur Posmodernitas dimana relatifisme nilai dan relatifisme pengetahuan menjadi gejala umum, ada banyak masyarakat yang tidak lagi begitu mudah menerima narasi besar sejarah versi pemerintah, akademisi dan menuding sebagai sarat kepentingan dan ideologi kekuasaan. Mereka mulai membangun narasi-narasi mereka sendiri yang berbeda dengan narasi resmi. Sepanjang semua dilakukan sebagai bentuk perimbangan narasi sejarah yang saling mengisi dan dapat dipertanggungjawabkan baik data dan faktanya, sebenarnya bukanlah menjadi soal. Namun jika narasi kecil yang dibangun justru menjamurkan kultur pseudo history (sejarah palsu), ini yang berbahaya karena masyarakat tidak bisa lagi membedakan mana history dan mana pseudo history (ambil contoh kasus Gajah Mada dan Majapahit dianggap sebagai Kesultanan Islam dan Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman). Oleh karenanya Sejarah Publik bukanlah antitesis terhadap Ilmu Sejarah dan Sejarah resmi melainkan partisipasi publik bersama akademisi untuk mengisi sejarah sosial yang tidak terceritakan dalam buku-buku sejarah resmi perihal sebuah kantor, warung, toko, pabrik, jembatan, rumah pribadi dll yang berkaitan dengan kehidupan publik dan masyarakat dimana mereka tinggal.
Terlepas dari semua kekurangan dan kelebihan di atas, Kegiatan People’s History of Gombong ini merupakan sebuah break through (terobosan) yang patut diapresiasi dan kiranya menjadi sebuah momentum untuk mengawali sebuah pembentukkan diskursus Sejarah Publik dengan lebih melibatkan partisipasi dinamis baik akademisi sejarah dan masyarakat atau publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar