Minggu, 12 Agustus 2018

PANJAT PINANG DAN KESADARAN HISTORIS KITA

sumber: komunitashistoria.com

Telah lama digulirkan oleh sejumlah orang baik yang mengatasnamakan sejarawan dan budayawan, melalui media sosial on line khususnya yang menyampaikan sebuah opini bahwa lomba panjat pinang sudah seharusnya ditinggalkan oleh masyarakat kita. Di beberapa daerah kita telah melihat kemanjuran opini dan ajakkan ini karena lomba ini telah menghilang dari ingatan dan kebiasaan menjelang peringatan 17 Agustus.

Apakah argumen yang dijadikan dasar kritik dan pelarangan lomba panjat pinang? Hampir semua opini mengerucut pada beberapa berikut: (1) Lomba panjat pinang merupakan peninggalan Belanda saat mereka memiliki hajatan penting dengan peserta lombanya orang pribumi tanpa orang Belanda di dalamnya (2) Lomba panjat pinang dilaksanakan tiap perayaan Ulang Tahun Ratu Belanda.

Jika argumentasi yang dibangun sekedar "warisan Belanda" lantas segala yang berbau warisan Belanda yang dipelihara dianggap sebuah tindakan merendahkan harga diri bangsa dan melemahkan Nasionalisme, mengapa lantas kita masih mempergunakan dan merawat serta mengalihfungsikan bangunan kantor Belanda? (Gedung Gouvernements Bedrijven di era kolonial sekarang menjadi gedung legislatif di Bandung atau Stadhuis van Batavia di era kolonial sekarang menjadi Museum Fatahilah Jakarta, dll) Mengapa kita masih melestarikan rute jalan Anyer dan Panarukan yang dipimpin pengerjaannya oleh Daendels (yang dahulu dikenal dengan nama Grote Postweg alias Jalan Raya Pos) sejauh 1000 km dengan korban 12.000 pekerja tewas? Mengapa pula kita masih melestarikan rute-rute jalur kereta api dengan stasiun megah beserta terowongan-terowongan sempit yang dibangun oleh pribumi melalui kerja rodi yang telah memakan nyawa tidak sedikit?

Kembali ke persoalan lomba panjat pinang. Ini persoalan interpretasi historis (penafsiran terhadap sejarah) saja. Bagi sekelompok orang, lomba tersebut memperlihatkan kehinaan (saling menaiki dan menginjak temannya) bagi penafsir yang lain justru lomba tersebut bukan sekedar memperlihatkan perjuangan, kerja keras tapi juga merawat ingatan historis bahwa lomba ini ada sejak era kolonial, sebagaimana lomba balap karung dan sejumlah lomba lainnya.

Melestarikan lomba-lomba yang pernah ada sejak dan di era kolonial bukan bermakna penodaan terhadap nasionalisme dan patriotisme. Sebaliknya, dari persepktif sejarah kita memelihara ingatan kolektif dan historis masyarakat perihal lomba-lomba yang ada pada waktu itu.

Bukankah masyarakat masih melestarikan sejumlah makanan yang terbuat dari bahan ketela atau kelapa di era Jepang yang memperlihatkan kegetiran dan kesusahan pangan seperti growol, gathot, thiwul, oyek, gaplek? Apakah menjual dan mengonsumsi makanan yang lahir di zaman kesusahan akibat penetrasi Jepang membuat kita menjadi pelestari kemiskinan dan penodaan terhadap nasionalisme?

Artikel berikut bisa menjadi pembanding yang lebih proporsional melihat historistas lomba panjat pinang dari perspektif historis:

(1) https://m.liputan6.com/regional/read/3057746/lomba-panjat-pinang-dahulu-untuk-peringati-hut-ratu-belanda

(2) http://www.komunitashistoria.com/article/2015/05/16/kenapa-harus-panjat-pinang/

Di era digital dimana kita semakin terhubung dengan masyarakat dunia melalui sentuhan jemari kita pada layar gadget berupa smarthone ataupun lap top dengan teknologi internet, sudah saatnya kita menerjemahkan nasionalisme dengan membangun saling pemahaman terhadap budaya bangsa lain dengan tetap mempertegas identitas kebangsaan dan bukan menegasikan dan melestarikan sikap antipati terhadap segala sesuatu yang berbau asing.

Perayaan kemerdekaan seharusnya menjadi momentum bagi kita memerdekakan diri dari keterbelengguan pemahaman yang keliru dan membangun kesadaran sebagai bangsa berdaulat yang harus berkontribusi  dalam mewarnai peradaban dunia.

Saya akhiri artikel ini dengan bait-bait puisi:

Menjadi Indonesia

Menjadi Indonesia,
Bukan perihal makan ketela dan buah kelapa
Namun menafikan gula-gula Eropa

Menjadi Indonesia,
Bukan perihal mencintai budaya bangsa
Namun membenci semua penampakkan Amerika dalam berbagai tanda

Menjadi Indonesia,
Bukan perihal kearifan lokal yang dijaga
Namun menyangkal filsafat dan logika negeri di seberang samudra

Menjadi Indonesia,
Bukan perihal membunyikan angklung, ketipung serta gending Jawa
namun membuang piano dan biola

Menjadi Indonesia,
Menjaga ikrar pendiri bangsa
Bahwa negeri beragam suku, ras, agama, budaya, menjadilah rumah bersama
Tanpa ada yang lebih utama dan yang lain terampas haknya

Menjadi Indonesia,
Berani menjadi warga dunia
yang terhubung dengan negeri-negeri berbeda
Saling bertukar budaya yang memperkaya wajah kemanusiaan semesta

Seperti Sukarno berapi berkata, "Nasionalismeku adalah nasionalisme kemanusiaan" dengan mengutip Gandhi Sang Idola

Merdeka!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar