Warisan, kerap menimbulkan
sejumlah persoalan yang berujung pada perebutan dan berakhir perselisihan
bahkan bisa terjadi saling meniadakan satu sama lain, baik melalui jalur
kontitusi (persidangan hukum) maupun non konstitusi, baik melalui jalur
rasional maupun non rasional (perdukunan). Perselisihan terjadi jika pembagian
warisan dirasa tidak memenuhi rasa keadilan atau salah satu pihak dari ahli
waris melakukan manipulasi yang menguntungkan dirinya dan sejumlah alasan lain
yang masih bisa kita deretkan
Setidaknya potret dan realitas perselisihan perihal warisan inilah yang hendak ditampilkan melalui sejumlah adegan teatrikal yang diusung oleh Teater Margin dalam episodenya yang berjudul “Warisan” yang disutradarai oleh Fitri.
Sebelum penonton diperlihatkan
klimaks konflik antara kedua keluarga berlatar belakang Betawi antara Keluarga Sani
(diperankan oleh Panca) dengan adiknya yang janda yaitu Atun (diperankan oleh
Aiz), adegan dibuka dengan monolog seorang preman perempuan dengan latar
belakang pabrik dan perjumpaannya dengan anak perempuan Sani yaitu Mat Sani (diperankan
oleh Diffiyona) dan Jammy (diperankan oleh Alin).
Percakapan-percakapan dengan
tuturan jenaka khas Betawi yang nyaris sempurna terasa mengalir secara natural dari mulut anak-anak Babe
Sani dan Atun yaitu Mat Sani dan Jammy yang menyita perhatian para penonton dengan
berulang kali merespon dengan tawa melihat sejumlah percakapan dan gesture tubuh mereka. Percakapan antara Mat
Sani dan Jammy yang kerap mengundang tawa cukup mendominir dalam pementasan,
mulai awal (di luar rumah) hingga pertengahan adegan (di dalam rumah).
Percakapan-percakapan renyah dan
jenaka tetap dipertahankan meski telah berganti alur menjadi konflik antara Mat
Sani dan adiknya Atun saat seorang bernama John Pailit (diperankan oleh Gress)
datang mengatasnamakan sebagai notaris yang mengaku membawa surat wasiat Babe
Mat Sani. Gesture John Pailit dan gaya tuturannya tidak kalah jenaka mengisi
adegan-adegan percakapan yang memperebutkan warisan yang berupa tanah dan
kendaraan sepeda. Baik Mat Sani maupun adiknya saling mengklaim merasa berhak atas
warisan tanah tinimbang kendaraan sepeda karena tanah lebih potensial
menghasilkan uang jika dijual.
Konflik berakhir tetap dengan
nuansa jenaka saat Mat Sani dan adiknya terbelalak mengetahui bahwa warisan
yang diperebutkan ternyata bukan sebidang tanah dan sebuah sepeda untuk
berkendara melainkan segenggam tanah dan sebuah sepeda mainan yang dimiliki
sang ayah. Agak sulit mencari logika kemungkinan seseorang yang hanya
mewariskan segenggam tanah dan sebuah sepeda warisan dalam pementasan berjudul “Warisan”
ini, namun semua pertanyaan itu tenggelam oleh keberhasilan sutradara dan aktor
yang nampaknya lebih ingin menyajikan sebuah drama komedi dengan pesan singkat
perihal perlunya sikap bijaksana menyikapi persoalan warisan.
Pergantian tiap adegan dengan
masuknya para cameo (figur terkenal
dalam hal ini para senior pementasan yang masuk secara tiba-tiba) yang
mengganti property dengan gesture-gesture jenaka berupa tarian
atau sebagai anak-anak yang berlarian membawa layangan dengan baik ditampilkan
dan berhasil mengundang tawa penonton.
Overall, tayangan kali ini membuat saya
puas karena semua adegan berjalan secara natural dan mengalir sehingga nyaris
melenakan penonton untuk mengritisi logika segenggam tanah dan sebuah sepeda
mainan sebagai pilihan obyek yang diperebutkan. Tidak percuma menangguhkan
sebuah kegiatan di Kebumen dan naik ke Purwokerto untuk menyaksikan perform anggota Teater Marjin. Terbayar sudah
dengan kepuasan melihat totalitas acting
para peserta pementasan kali ini.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus