Beberapa waktu lalu, koran Kebumen Ekspres memberikan pernyataan perihal peringatan hari jadi Kebumen ke-81 yang jatuh pada tanggal 1 januari 2017 merupakan yang terakhir kalinya sebagaimana dikatakan mengutip pernyataan Sekda Adi Pandoyo, “Peringatan hari jadi ke-81 pada 1 Januari 2017 merupakan yang terakhir kali. Sebab, saat ini sedang dilakukan peninjauan perubahan peraturan daerah (Perda) nomor 1 tahun 1990. Setelah dilakukan peninjauan ulang hari jadi Kebumen disepakati umur Kebumen akan lebih tua yakni pada 22 Agustus 1831. 'Ke depan, hari jadi Kebumen akan diperingati setiap 22 Agustus', ujar Adi Pandoyo”(Kebumen Ekspres, 17 Desember 2016). Pernyataan ini merujuk pada hasil Seminar Hasil Penelitian Hari Jadi Kebumen yang diselenggarakan tanggal 1 Desember 2016 lalu dimana penyebutan nama Kebumen baru muncul pada tahun 1832 yang tertulis dalam Almanak en Nanreeregister Neerrlandsch Indie sebagaimana diatakan, “Peneliti Pusat Studi Kebudayaan UGM, Danang Indra Prayuda, menyampaikan diketahuinya penyebutan pertama kali nama Kebumen setelah pihaknya melacak pada catatan Belanda. 'Sumber yang mencatat keberadan Kebumen untuk pertama kalinya adalah "Almanak en Nanreeregister Neerrlandsch Indie" tahun 1832', kata Danang, pada seminar hasil penelitian hari jadi Kabupaten Kebumen, di ruang rapat Sekretariat Daerah (Setda)Kebumen, kemarin” (Kebumen Ekspres, 2 Desember 2016).
Nampaknya pernyataan Danang Indra Prayuda dipengaruhi atau mendapatkan informasi dan data dari website yang dikelola Sdr Ravie Ananda karena pada tanggal 1 Februari 2015 Sdr Ravie menulis artikel dimana memberikan rujukkan gambar Almanak van Nederlandsch Indië tahun 1831 – 1832 yang dieja dan ditulis keliru oleh koran Kebumen Ekspres dengan Almanak en Nanreeregister Neerrlandsch Indie. Berikut kutipan artikel Ravie Ananda: “Dalam Almanak van Nederlandsch Indië tahun 1831 – 1832 (catatan administrtif pemerintahan Belanda) diketahui bahwa adanya pemerintahan Kebumen dimulai pada tahun 1832” (Dasar Penentuan Hari Jadi Kabupaten Kebumen - http://kebumen2013.com/dasar-penentuan-hari-jadi-kabupaten-kebumen/).
Nampaknya pernyataan Danang Indra Prayuda dipengaruhi atau mendapatkan informasi dan data dari website yang dikelola Sdr Ravie Ananda karena pada tanggal 1 Februari 2015 Sdr Ravie menulis artikel dimana memberikan rujukkan gambar Almanak van Nederlandsch Indië tahun 1831 – 1832 yang dieja dan ditulis keliru oleh koran Kebumen Ekspres dengan Almanak en Nanreeregister Neerrlandsch Indie. Berikut kutipan artikel Ravie Ananda: “Dalam Almanak van Nederlandsch Indië tahun 1831 – 1832 (catatan administrtif pemerintahan Belanda) diketahui bahwa adanya pemerintahan Kebumen dimulai pada tahun 1832” (Dasar Penentuan Hari Jadi Kabupaten Kebumen - http://kebumen2013.com/dasar-penentuan-hari-jadi-kabupaten-kebumen/).
Namun yang menjadi persoalan, kita tidak memiliki keseragaman data yang cukup untuk memastikan hari jadi Kebumen. Rencana penetapan tanggal 22 Agustus 1831 sebagai hari jadi Kebumen bermasalah dalam dua hal yaitu: Pertama, mengabaikan eksistensi penguasa wilayah selain Arung Binang yaitu Kolopaking khususnya Tumenunggung Kolopaking I yang ditetapkan sebagai bupati pada tanggal 12 Juni 1677 oleh Ki Gedhe Panjer Roma II yaitu Ki Hastrasuta. Kedua, munculnya nama Kebumen dalam Almanak van Nederlandsch Indië tahun 1831 – 1832 tidak melaporkan apapun perihal penetapan hari jadi selain nama Kebumen mulai muncul sebagai sebuah wilayah administratif.
Merujuk data-data yang sudah ada dan pernah dikaji sebelumnya, nama Ki Bumidirjo dan Badranala serta penetapan Ki Kertawangsa sebagai Tumenggung Kolopaking I, pernah menjadi titik berangkat menetapkan hari jadi Kebumen. Namun ada sejumlah persoalan problematik pula jika penetapan hari jadi merujuk pada kedua nama tokoh historis tersebut.
Jika ukuran yang dipergunakan adalah nama Pangeran Bumidirjo (paman Amangkurat I yang menyingkir ke Panjer dikarenakan berselisih paham dengan Sultan Amangkurat I) yang memperoleh tanah dari putra Ki Badranala (Ki Gedhe Panjer Roma I) yang bernama Ki Hastrasuta (Ki Gedhe Panjer Roma II) yaitu di sebelah Timur Luk Ulo yang konon disebut desa Trukah yang dahulunya hutan lebat (sekarang jalan Garuda dimana terdapat Balai Desa Kebumen) dan kemudian mengalami perubahan menjadi Ke-Bumi-an atau Kebumen, yang bermakna tempat tinggal Ki Bumidirjo, maka sejarah berdirinya Kebumen bisa dimulai dari penyebutan nama tersebut yang terjadi sekitar tahun 1670-an. Jika kisah di atas dijadikan patokan, hampir mendekati dengan fakta. Namun yang menjadi persoalan, wilayah yang dinamakan Kibumian atau kelak menjadi Kebumen bukan sebuah wilayah pusat kekuasaan dan tidak pernah menjadi pusat kekuasaan. Pusat kekuasaan tetap ada di Panjer dan kepemimpinan masih tetap dipegang oleh Ki Gedhe Panjer Roma II. Maka sangat tidak mungkin menjadikan sebuah wilayah pemberian yang tidak pernah menjadi pusat kekuasaan sebagai dalil bagi bermulanya kota Kebumen.
Namun jika ukuran yang dipergunakan adalah eksistensi penobatan Ki Kertawangsa yang menerima jabatan bupati oleh Ki Gedhe Panjer Roma II dan Tumenggung Wangsanegara sehingga kemudian Ki Kertawangsa bergelar Ki Gedhe Panjer Roma III yang kemudian bergelar Tumenggung Kalapa Aking I (Kolopaking) pada tanggal 12 Juni 1677 (nama Kolopaking berasal dari Kalapa Aking. Ketika Trunojoyo memberontak di Mataram tanggal 2 Juni 1677 maka Sultan Amangkurat I menyingkir ke wilayah Panjer. Ketika sakit diobati oleh Ki Gedhe Panjer Roma III dengan memberikan air Kelapa Aking. Karena kesembuhan yang dialami maka Sultan Amangkurat I memberi gelar Tumenggung Kalapa Aking atau Kolopaking), maka kedudukan historis Kebumen dapat diletakkan dan dimulai dari sana. Namun yang menjadi persoalan, nama Kebumen tidak menjadi nama populer untuk wilayah yang dipimpin oleh Adipati Panjer bernama Kolopaking I. Nama wilayah tersebut tidak pula dirubah menjadi Kebumen dan tetap Panjer.
Adapun jika eksistensi Kebumen ditarik sangat jauh hingga keberadaan Kadipaten Panjer yang dihubungkan dengan nama Ki Badranala (cucu Panembahan Senopati dari anaknya Kanjeng Ratu Pembayun yang menikah dengan Ki Ageng Mangir VI. Dari pernikahan keduanya lahirlah Ki Maduseno yang kelak menikah dengan Dewi Majati yang akan melahirkan Ki Badranala) yang karena kepahlawanannya bersama Ki Singa Patra (kelak menjadi mertuanya karena menikah dengan Endang Patra Sari) berhasil mengusir VOC yang menyerbu Pantai Urut Sewu pada Tahun 1643 sehingga ditahbiskan menjadi Adipati Panjer dengan gelar Ki Gedhe Panjer Roma I, maka sejarah Kebumen akan semakin tua dari kajian historis. Namun persoalannya nama Kebumen tidak dikenal dan baru muncul kemudian dikenal pada tahun 1670-an yang dihubungkan dengan nama Pangeran Bumidirjo.
Di sinilah problematika yang dilematis saat upaya melakukan rekonstruksi dan redefinisi penetapan hari jadi Kebumen dimana kita dihadapkan pada pluralitas trah dan kisah sebagaimana dikatakan Sugeng Priyadi yang pernah melakukan penelitian dan dibukukan hasil penelitiannya di era Bupati Rustriningsih sbb, “Sejarah Kebumen pada hakikatnya merupakan sejarah yang berkecenderungan terpecah-belah atau disintegrasi daripada terintegrasi. Hal itu terjadi karena wilayah Kebumen terbagi-bagi. Ada yang masuk wilayah mancanegara kilen dan ada pula yang masuk wilayah negaragung” (Sejarah dan Kebudayaan Kebumen, 2004:2). Bahkan setelah menguraikan sejarah berbagai trah dan aspek-aspek kebudayaan Kebumen, dalam kesimpulanpun Sugeng Priyadi tidak mengarahkan perihal tanggal tertentu sebagai acuan hari jadi melainkan mengulang kembali pernyataan sebelumnya dengan mengatakan, “Sejarah trah-trah di Kebumen seperti trah Somalangu, Arung Binang (Kebumen), Kolopakingan (Panjer, Banjarnegara), Wangsanegaran (Kalijirek) Kertinegaran (Sruni), Kertanegaran (Karanganyar) dan Poerbanagaran (Ambal) menunjukkan bahwa Kebumen adalah sejarah yang plural dan terpecah-pecah atau cenderung beranekaragam” (Ibid., hal 214).
Dari aspek kronologis, maka kedudukan Kadipaten Panjer di bawah kepemimpinan Ki Badranala (Ki Gedhe Panjer Roma I, 1643) dapat menjadi titik permulaan keberadaan Kebumen modern. Dari linguistik (kebahasaan), maka keberadaan Pangeran Bumidirjo (1677) yang kelak membuka tanah di wilayah Panjer yang kemudian di namai Ke-Bumi-an dan berubah menjadi Kebumen dapat dijadikan titik permulaan Kebumen modern. Nampaknya dari kedua opsi tersebut sama-sama sulit untuk ditentukan menjadi titik tolak penetapan hari jadi Kebumen modern.
Mengingat kesulitan menetapkan hari jadi Kebumen, maka saya fikir kita tetap saja mempertahankan hari jadi Kebumen pada tanggal 1 Januari berdasarkan keputusan Perda Kabupaten Kebumen yang merujuk Surat Keputusan Jenderal Pemerintahan Belanda Nomor 629/1935 tertanggal 31 Desember 1935. Yakni mengenai penggabungan pemerintahan atau birokrasi antara Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Kebumen. Surat yang ditadatangani Gubernur Jenderal Pemerintahan Belanda bernama De Jonge ini secara resmi diberlakukan sejak 1 Januari 1936.
Rujukan hari jadi Kebumen di atas sah secara De Jure (penetapan hukum) di zaman pemerintahan Bupati KRT Arungbinang VIII (1934-1942). Namun secara De Facto (kenyataan historis) eksistensi Kebumen telah ada sejak Abad XVII dengan nama Kadipaten Panjer di bawah kepemimpinan Ki Badranala alias Ki Gedhe Panjer Roma I (1642-1657). Adalah tugas pemerintah dan para budayawan serta sejarawan Kebumen untuk mensosialisasikan akar historis Kebumen demi membangun kebanggaan sejarah dan mendorong jiwa nasionalis dan patriotisme, tanpa harus mengganti hari jadi Kebumen pada tanggal 1 Januari.
Merujuk data-data yang sudah ada dan pernah dikaji sebelumnya, nama Ki Bumidirjo dan Badranala serta penetapan Ki Kertawangsa sebagai Tumenggung Kolopaking I, pernah menjadi titik berangkat menetapkan hari jadi Kebumen. Namun ada sejumlah persoalan problematik pula jika penetapan hari jadi merujuk pada kedua nama tokoh historis tersebut.
Jika ukuran yang dipergunakan adalah nama Pangeran Bumidirjo (paman Amangkurat I yang menyingkir ke Panjer dikarenakan berselisih paham dengan Sultan Amangkurat I) yang memperoleh tanah dari putra Ki Badranala (Ki Gedhe Panjer Roma I) yang bernama Ki Hastrasuta (Ki Gedhe Panjer Roma II) yaitu di sebelah Timur Luk Ulo yang konon disebut desa Trukah yang dahulunya hutan lebat (sekarang jalan Garuda dimana terdapat Balai Desa Kebumen) dan kemudian mengalami perubahan menjadi Ke-Bumi-an atau Kebumen, yang bermakna tempat tinggal Ki Bumidirjo, maka sejarah berdirinya Kebumen bisa dimulai dari penyebutan nama tersebut yang terjadi sekitar tahun 1670-an. Jika kisah di atas dijadikan patokan, hampir mendekati dengan fakta. Namun yang menjadi persoalan, wilayah yang dinamakan Kibumian atau kelak menjadi Kebumen bukan sebuah wilayah pusat kekuasaan dan tidak pernah menjadi pusat kekuasaan. Pusat kekuasaan tetap ada di Panjer dan kepemimpinan masih tetap dipegang oleh Ki Gedhe Panjer Roma II. Maka sangat tidak mungkin menjadikan sebuah wilayah pemberian yang tidak pernah menjadi pusat kekuasaan sebagai dalil bagi bermulanya kota Kebumen.
Namun jika ukuran yang dipergunakan adalah eksistensi penobatan Ki Kertawangsa yang menerima jabatan bupati oleh Ki Gedhe Panjer Roma II dan Tumenggung Wangsanegara sehingga kemudian Ki Kertawangsa bergelar Ki Gedhe Panjer Roma III yang kemudian bergelar Tumenggung Kalapa Aking I (Kolopaking) pada tanggal 12 Juni 1677 (nama Kolopaking berasal dari Kalapa Aking. Ketika Trunojoyo memberontak di Mataram tanggal 2 Juni 1677 maka Sultan Amangkurat I menyingkir ke wilayah Panjer. Ketika sakit diobati oleh Ki Gedhe Panjer Roma III dengan memberikan air Kelapa Aking. Karena kesembuhan yang dialami maka Sultan Amangkurat I memberi gelar Tumenggung Kalapa Aking atau Kolopaking), maka kedudukan historis Kebumen dapat diletakkan dan dimulai dari sana. Namun yang menjadi persoalan, nama Kebumen tidak menjadi nama populer untuk wilayah yang dipimpin oleh Adipati Panjer bernama Kolopaking I. Nama wilayah tersebut tidak pula dirubah menjadi Kebumen dan tetap Panjer.
Adapun jika eksistensi Kebumen ditarik sangat jauh hingga keberadaan Kadipaten Panjer yang dihubungkan dengan nama Ki Badranala (cucu Panembahan Senopati dari anaknya Kanjeng Ratu Pembayun yang menikah dengan Ki Ageng Mangir VI. Dari pernikahan keduanya lahirlah Ki Maduseno yang kelak menikah dengan Dewi Majati yang akan melahirkan Ki Badranala) yang karena kepahlawanannya bersama Ki Singa Patra (kelak menjadi mertuanya karena menikah dengan Endang Patra Sari) berhasil mengusir VOC yang menyerbu Pantai Urut Sewu pada Tahun 1643 sehingga ditahbiskan menjadi Adipati Panjer dengan gelar Ki Gedhe Panjer Roma I, maka sejarah Kebumen akan semakin tua dari kajian historis. Namun persoalannya nama Kebumen tidak dikenal dan baru muncul kemudian dikenal pada tahun 1670-an yang dihubungkan dengan nama Pangeran Bumidirjo.
Di sinilah problematika yang dilematis saat upaya melakukan rekonstruksi dan redefinisi penetapan hari jadi Kebumen dimana kita dihadapkan pada pluralitas trah dan kisah sebagaimana dikatakan Sugeng Priyadi yang pernah melakukan penelitian dan dibukukan hasil penelitiannya di era Bupati Rustriningsih sbb, “Sejarah Kebumen pada hakikatnya merupakan sejarah yang berkecenderungan terpecah-belah atau disintegrasi daripada terintegrasi. Hal itu terjadi karena wilayah Kebumen terbagi-bagi. Ada yang masuk wilayah mancanegara kilen dan ada pula yang masuk wilayah negaragung” (Sejarah dan Kebudayaan Kebumen, 2004:2). Bahkan setelah menguraikan sejarah berbagai trah dan aspek-aspek kebudayaan Kebumen, dalam kesimpulanpun Sugeng Priyadi tidak mengarahkan perihal tanggal tertentu sebagai acuan hari jadi melainkan mengulang kembali pernyataan sebelumnya dengan mengatakan, “Sejarah trah-trah di Kebumen seperti trah Somalangu, Arung Binang (Kebumen), Kolopakingan (Panjer, Banjarnegara), Wangsanegaran (Kalijirek) Kertinegaran (Sruni), Kertanegaran (Karanganyar) dan Poerbanagaran (Ambal) menunjukkan bahwa Kebumen adalah sejarah yang plural dan terpecah-pecah atau cenderung beranekaragam” (Ibid., hal 214).
Dari aspek kronologis, maka kedudukan Kadipaten Panjer di bawah kepemimpinan Ki Badranala (Ki Gedhe Panjer Roma I, 1643) dapat menjadi titik permulaan keberadaan Kebumen modern. Dari linguistik (kebahasaan), maka keberadaan Pangeran Bumidirjo (1677) yang kelak membuka tanah di wilayah Panjer yang kemudian di namai Ke-Bumi-an dan berubah menjadi Kebumen dapat dijadikan titik permulaan Kebumen modern. Nampaknya dari kedua opsi tersebut sama-sama sulit untuk ditentukan menjadi titik tolak penetapan hari jadi Kebumen modern.
Mengingat kesulitan menetapkan hari jadi Kebumen, maka saya fikir kita tetap saja mempertahankan hari jadi Kebumen pada tanggal 1 Januari berdasarkan keputusan Perda Kabupaten Kebumen yang merujuk Surat Keputusan Jenderal Pemerintahan Belanda Nomor 629/1935 tertanggal 31 Desember 1935. Yakni mengenai penggabungan pemerintahan atau birokrasi antara Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Kebumen. Surat yang ditadatangani Gubernur Jenderal Pemerintahan Belanda bernama De Jonge ini secara resmi diberlakukan sejak 1 Januari 1936.
Rujukan hari jadi Kebumen di atas sah secara De Jure (penetapan hukum) di zaman pemerintahan Bupati KRT Arungbinang VIII (1934-1942). Namun secara De Facto (kenyataan historis) eksistensi Kebumen telah ada sejak Abad XVII dengan nama Kadipaten Panjer di bawah kepemimpinan Ki Badranala alias Ki Gedhe Panjer Roma I (1642-1657). Adalah tugas pemerintah dan para budayawan serta sejarawan Kebumen untuk mensosialisasikan akar historis Kebumen demi membangun kebanggaan sejarah dan mendorong jiwa nasionalis dan patriotisme, tanpa harus mengganti hari jadi Kebumen pada tanggal 1 Januari.
nice one om.. 👍
BalasHapusMantep
BalasHapusmnrt saya...sejarah kebumen diambil dr awal munculnya nama kebumen, serta harus melalui verifikasi dan interpretasi heuristik historis yang ada...
BalasHapusmonggoh sedulur2 kabeh ikut nyengkuyung sing dadi keputusan ne, aku yakin akeh wong sing pinter ng kebumen nelaah historis kebumen