Dalam acara Penyampaian Program Unggulan Bupati dan Wakil Bupati Bagi Para Pelaku Wisata di Kabupaten Kebumen yang dilaksanakan di Pendopo Bupati pada tanggal 10 Maret 2016 lalu pemerintahan daerah di bawah kepemimpinan Bapak H.M. Yahya Fuad bertekad untuk memfokuskan pada pembangunan kewisataan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan tentunya meningkatkan pendapatan daerah pula.
Menurut data, selama tahun 2015, pendapatan obyek wisata (Obwis) di Kabupaten Kebumen mencapai Rp. 5.653.204.994 atau 88,16% dari yang ditargetkan, yakni sebesar Rp 6.412.700.000. Dengan jumlah pengunjung mencapai tak kurang dari 1 juta orang. Data Disparbud Kabupaten Kebumen menunjukan pendapatan tertinggi berasal dari Obwis Gua Jatijajar sebanyak Rp. 2.292.678.320, kemudian disusul Pantai Suwuk yang mencapai Rp. 1.770.808.800. Selanjutnya pantai Logending menyumbang pendapatan Rp 594.446.500 serta Pantai Petanahan Rp. 318.234.200.http://www.kabupatenreport.com/pendapatan-obyek-wisata-kabupaten-kebumen-2015-capai-rp-56-milyar/). Dari data tersebut kita mendapati fakta bahwa hanya obyek-obyek wisata lama yang memberikan sumbangsih bagi PAD sementara jika ditelaah, Kebumen ternyata memiliki sejumlah destinasi wisata baru yang dikembangkan oleh beberapa komunitas masyarakat namun belum memberikan dampak secara signifikan bagi PAD.
Peningkatan kegiatan kewisataan bukan hanya persoalan promosi melainkan membutuhkan elemen-elemen pendukung lainnya yang saling menopang satu sama lain. Beberapa elemen yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan kewisataan di Kabupaten Kebumen al.,
Pertama, belum maksimalnya pengelolaan wilayah wisata. Jika kita melacak jejak destinasi wisata Kebumen, ternyata cukup banyak. Melalui sejumlah situs on line yang dikelola beberapa komunitas muda di Kebumen (al., explorekebumen.com) didapati sejumlah kawasan yang layak dijadikan destinasi wisata baru dalam wujud pantai, gua, air terjun, bebukitan eksotik, bentang alam namun semua potensi tersebut belum dikelola secara maksimal, baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat. Beberapa kawasan wisata bebukitan yang sedang diperkenalkan saat ini al., Bukit Langit, Bukit Pentulu Indah, Bukit Hud. Beberapa kawasan wisata pantai baru al., Pantai Karang Agung, Pantai Pecaron, Pantai Bopong, Pantai Sawangan. Beberapa kawasan wisata berupa curug al., Curug Domas, Curug Silangit, Curug Sidomoro. Belum maksimalnya pengelolaan kawasan wisata baru tersebut nampak dalam pengelolaan tiket masuk. Dari mulai harga yang masih di bawah standar hingga kawasan yang belum dibebani pembiayaan sama sekali terhadap pengunjung. Belum lagi rute yang sulit ditempuh dan faktor keamanan kendaraan yang harus ditinggal di lokasi yang jauh dari lokasi wisata.
Kedua, persoalan premanisme di beberapa wilayah wisata. Saat seseorang atau kelompok orang melakukan perjalanan wisata, bukan hanya aspek keindahan dan kenyamanan yang diperlukan saat tiba di lokasi wisata melainkan juga aspek keamanan. Lokasi wisata yang tidak aman karena tindakan kelompok preman kerap menimbulkan sejumlah persoalan. Premanisme di sejumlah kawasan wisata di Kebumen biasanya bukan dalam bentuk kekerasan fisik atau pemalakkan melainkan penguasaan pengelolaan lahan parkir yang menetapkan biaya melampui batas kewajaran khususnya di saat hari-hari besar tertentu dalam masyarakat. Dari kacamata sosiologis, premanisme adalah problem sosial dalam masyarakat yang dapat ditemukan sumbernya dalam struktur sosial maupun ekonomi masyarakat itu sendiri, sehingga penanganan premanisme tidak melulu harus menggunakan pendekatan keamanan melainkan pendekatan sosial melalui pendidikan dan persuasi serta pemberdayaan terhadap kelompok-kelompok masyarakat agar mereka ikut terlibat dalam menjaga keamanan kawasan wisata dan bertanggung jawab menciptakan rasa aman dan nyaman sehingga wisatawan ingin kembali lagi ke tempat tersebut. Sebagai reward terhadap keterlibatan mereka di bidang keamanan dan parkir tentu mereka berhak mendapatkan profit share dari hasil pengelolaan wisata tersebut. Dengan demikian kelompok-kelompok ini mendapatkan pekerjaan legal dan mendapatkan hasil dari pekerjaan legal yang mereka lakukan.
Ketiga, pemberdayaan masyarakat di wilayah wisata untuk menghasilkan berbagai kerajinan khas daerah. Dibutuhkan keterlibatan pemerintah dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat serta komunitas-komunitas pegiat wisata untuk menularkan pengetahuan mereka dalam mendidik dan memberdayakan masyarakat di kawasan wisata untuk menghasilkan produk daerah di mana lokasi wisata itu ada. Jika mengunjungi kawasan LIPI Karang Sambung kita disuguhi produk batu-batuan serta aneka jenis nama batuan sesuai kolom geologis dalam kemasan kotak berisikan, sehingga bernuansa edukatif, maka sejumlah kawasan wisata pantai, curug, gua dapat mengembangkan aneka kerajinan atau makanan sesuai konteks kewilayahannya sehingga para pengunjung mendapatkan sebuah kesan khusus bahwa mereka sudah mendatangi kawasan wisata yang khas Kebumen. Di sejumlah kawasan wisata pantai Kebumen kerap terlihat ironi manakala tidak ada satupun pedagang yang menjual hasil laut seperti kerang, batu koral melainkan hanya menjajakan makanan penganjal perut yang lapar. Kekosongan produk masyakarat lokal di mana wilayah wisata inilah yang harus dikembangkan untuk memperkaya destinasi wisata yang didatangi oleh wisatawan.
Keempat, share profit yang berkeadilan antara Pemda dan masyarakat dalam pengelolaan obyek wisata. Jika tujuan pengelolaan wilayah kewisataan untuk kemakmuran masyarakat dan menambah pendapatan daerah, maka ada dua aktor yang harus saling membagi keuntungan secara adil yaitu pemerintah daerah selaku pembuat regulasi dan pengelola aset wisata serta masyarakat di mana wilayah wisata itu berada. Hasil keuntungan pengelolaan wilayah wisata dapat menambah pendapatan kas desa sehingga dapat dipergunakan untuk keperluan-keperluan instrumental desa baik itu pembuatan jalan desa, perbaikan jembatan desa serta pembiayaan kegiatan kemasyarakatan lainnya.
Kelima, mempertahankan kedaulatan ekonomi masyarakat. Dalam rangka kedaulatan ekonomi, masyarakat sebaiknya tidak harus selalu menjual lahan subur dan strategis yang mereka miliki di wilayah sekitar tempat wisata melainkan menyewakannya pada investor dan pengusaha wisata. Dengan cara demikian, masyarakat tidak kehilangan tanah di mana mereka tinggal, namun secara ekonomi mereka memiliki kedaulatan karena tanah yang mereka miliki menghasilkan pendapatan bagi mereka sendiri. Kondisi ini berbeda jika pemilik tanah tergiur dengan harga yang ditawarkan investor kemudian menjualnya namun tidak memiliki skill yang memadai dalam mengelola uang hasil penjualan tanah sehingga uang hasil penjualan habis dan mereka sendiri telah kehilangan tempat tinggal yang strategis dan bernilai investasi tinggi.
Keenam, pembangunan infrastruktur sebagai prasyarat utama dalam pengelolaan wisata. Agus Mulyadi dalam artikelnya Infrastruktur Memadai, Syarat Mutlak Wisata mengatakan, “Infrastruktur dan sejumlah fasilitas pendukung menjadi syarat mutlak penambahan kunjungan wisatawan lokal dan mancanegara” (Kompas, 22 Desember 2015) Senada dengan di atas, Muhammad Syarif Hidayatullah seorang peneliti dari Wiratama Institute mengatakan, “Infrastruktur merupakan pilar utama dalam pariwisata. Tanpa adanya infrastruktur yang baik, wisatawan akan enggan untuk berkunjung. Sayangnya, hal ini sering luput dari pembangunan sektor pariwisata Indonesia” (https://www.selasar.com/ekonomi/menjadikan-indonesia-tujuan-wisata-dunia#). Dalam ulasannya perihal infrastruktur Muhammad Syarif Hidayatullah menambahkan, “Sayangnya, komitmen pemda terhadap pembangunan infrastruktur masih sangat minim. Berdasarkan hasil olahan dari data APBD 500 Pemda tingkat I dan II, ditemukan bahwa rata-rata 50% alokasi APBD masih digunakan untuk belanja pegawai. Porsi untuk belanja modal (infrastruktur) hanya sebesar 21%...”. Sejumlah wilayah kewisataan di Kebumen baik kawasan pantai maupun gua serta curug masih ditemui sejumlah sarana transportasi jalan dan kendaraan yang belum memadai sehingga kurang memperlancar menuju destinasi wisata. Aspal jalan yang rusak dan menimbulkan lubang menganga, belum adanya area aman untuk parkir kendaraan, rute yang terjal dan curam sehingga berpotensi bagi keselamatan fisik wisatawan nampaknya masih menjadi agenda ke depan yang harus sesegera mungkin dikerjakan baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat. Pembangunan infrastruktur memang tanggung jawab pemerintah namun bukan berarti masyarakat tidak bisa dan tidak perlu melibatkan diri di dalamnya. Untuk rute-rute tertentu yang terjal dan curam dapat disiasati oleh masyarakat yang dekat wilayah wisata untuk diberi pagar pengaman dan dibuatkan jalan yang lebih aman dengan memberi kerikil atau batu-batuan padat yang memperlancar perjalanan wisatawan.
Ketujuh, melibatkan peran komunitas dalam masyarakat untuk terlibat dalam mempromosikan dan mengelola wilayah kewisataan. Akhir-akhir ini dikembangkan konsep Community Based Tourism (CBT – pariwisata berbasis masyarakat) sebagai kepanjangan tangan dari Sustainable Development (SD – Pembangunan yang berkelanjutan) sebagai pendekatan pembangunan. Definisi Community Based Tourism (CBT) yaitu: 1) bentuk pariwisata yang memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengontrol dan terlibat dalam manajemen dan pembangunan pariwisata 2) masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam usaha-usaha pariwisata juga mendapat keuntungan 3) menuntut pemberdayaan secara politis dan demokratisasi dan distribusi keuntungan kepada komunitas yang kurang beruntung di pedesaan. Keterlibatan masyarakat tentu mulai dari perencanaan, promosi dan pengelolaan. Beberapa contoh pengelolaan wisata berbasis masyarakat di Kebumen al., hutan mangrove di wilayah kabupaten Ayah sebagai bentuk eco-tourism dengan nilai-nilai edukatif terkait pemeliharaan keseimbangan lingkungan.
Ketujuh elemen yang saya sampaikan tentu masih bisa dikembangkan lagi untuk meningkatkan dan memaksimalkan pengelolaan wisata di wilayah Kebumen. Promosi kewisataan saja tidak cukup. Apalah artinya kekuatan pencitraan melalui promosi jika elemen-elemen penopang lainnya tidak dipersiapkan baik itu berupa pemberdayaan masyarakat dalam memproduksi cinderamata ataupun infrastruktur yang buruk. Kiranya tulisan ini menjadi suara salah satu masyarakat yang dapat dipertimbangkan demi perbaikan dan pengembangan pariwisata di Kabupaten Kebumen oleh semua pemangku kepentingan dan komunitas-komunitas penggiat kewisataan.
Menurut data, selama tahun 2015, pendapatan obyek wisata (Obwis) di Kabupaten Kebumen mencapai Rp. 5.653.204.994 atau 88,16% dari yang ditargetkan, yakni sebesar Rp 6.412.700.000. Dengan jumlah pengunjung mencapai tak kurang dari 1 juta orang. Data Disparbud Kabupaten Kebumen menunjukan pendapatan tertinggi berasal dari Obwis Gua Jatijajar sebanyak Rp. 2.292.678.320, kemudian disusul Pantai Suwuk yang mencapai Rp. 1.770.808.800. Selanjutnya pantai Logending menyumbang pendapatan Rp 594.446.500 serta Pantai Petanahan Rp. 318.234.200.http://www.kabupatenreport.com/pendapatan-obyek-wisata-kabupaten-kebumen-2015-capai-rp-56-milyar/). Dari data tersebut kita mendapati fakta bahwa hanya obyek-obyek wisata lama yang memberikan sumbangsih bagi PAD sementara jika ditelaah, Kebumen ternyata memiliki sejumlah destinasi wisata baru yang dikembangkan oleh beberapa komunitas masyarakat namun belum memberikan dampak secara signifikan bagi PAD.
Peningkatan kegiatan kewisataan bukan hanya persoalan promosi melainkan membutuhkan elemen-elemen pendukung lainnya yang saling menopang satu sama lain. Beberapa elemen yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan kewisataan di Kabupaten Kebumen al.,
Pertama, belum maksimalnya pengelolaan wilayah wisata. Jika kita melacak jejak destinasi wisata Kebumen, ternyata cukup banyak. Melalui sejumlah situs on line yang dikelola beberapa komunitas muda di Kebumen (al., explorekebumen.com) didapati sejumlah kawasan yang layak dijadikan destinasi wisata baru dalam wujud pantai, gua, air terjun, bebukitan eksotik, bentang alam namun semua potensi tersebut belum dikelola secara maksimal, baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat. Beberapa kawasan wisata bebukitan yang sedang diperkenalkan saat ini al., Bukit Langit, Bukit Pentulu Indah, Bukit Hud. Beberapa kawasan wisata pantai baru al., Pantai Karang Agung, Pantai Pecaron, Pantai Bopong, Pantai Sawangan. Beberapa kawasan wisata berupa curug al., Curug Domas, Curug Silangit, Curug Sidomoro. Belum maksimalnya pengelolaan kawasan wisata baru tersebut nampak dalam pengelolaan tiket masuk. Dari mulai harga yang masih di bawah standar hingga kawasan yang belum dibebani pembiayaan sama sekali terhadap pengunjung. Belum lagi rute yang sulit ditempuh dan faktor keamanan kendaraan yang harus ditinggal di lokasi yang jauh dari lokasi wisata.
Kedua, persoalan premanisme di beberapa wilayah wisata. Saat seseorang atau kelompok orang melakukan perjalanan wisata, bukan hanya aspek keindahan dan kenyamanan yang diperlukan saat tiba di lokasi wisata melainkan juga aspek keamanan. Lokasi wisata yang tidak aman karena tindakan kelompok preman kerap menimbulkan sejumlah persoalan. Premanisme di sejumlah kawasan wisata di Kebumen biasanya bukan dalam bentuk kekerasan fisik atau pemalakkan melainkan penguasaan pengelolaan lahan parkir yang menetapkan biaya melampui batas kewajaran khususnya di saat hari-hari besar tertentu dalam masyarakat. Dari kacamata sosiologis, premanisme adalah problem sosial dalam masyarakat yang dapat ditemukan sumbernya dalam struktur sosial maupun ekonomi masyarakat itu sendiri, sehingga penanganan premanisme tidak melulu harus menggunakan pendekatan keamanan melainkan pendekatan sosial melalui pendidikan dan persuasi serta pemberdayaan terhadap kelompok-kelompok masyarakat agar mereka ikut terlibat dalam menjaga keamanan kawasan wisata dan bertanggung jawab menciptakan rasa aman dan nyaman sehingga wisatawan ingin kembali lagi ke tempat tersebut. Sebagai reward terhadap keterlibatan mereka di bidang keamanan dan parkir tentu mereka berhak mendapatkan profit share dari hasil pengelolaan wisata tersebut. Dengan demikian kelompok-kelompok ini mendapatkan pekerjaan legal dan mendapatkan hasil dari pekerjaan legal yang mereka lakukan.
Ketiga, pemberdayaan masyarakat di wilayah wisata untuk menghasilkan berbagai kerajinan khas daerah. Dibutuhkan keterlibatan pemerintah dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat serta komunitas-komunitas pegiat wisata untuk menularkan pengetahuan mereka dalam mendidik dan memberdayakan masyarakat di kawasan wisata untuk menghasilkan produk daerah di mana lokasi wisata itu ada. Jika mengunjungi kawasan LIPI Karang Sambung kita disuguhi produk batu-batuan serta aneka jenis nama batuan sesuai kolom geologis dalam kemasan kotak berisikan, sehingga bernuansa edukatif, maka sejumlah kawasan wisata pantai, curug, gua dapat mengembangkan aneka kerajinan atau makanan sesuai konteks kewilayahannya sehingga para pengunjung mendapatkan sebuah kesan khusus bahwa mereka sudah mendatangi kawasan wisata yang khas Kebumen. Di sejumlah kawasan wisata pantai Kebumen kerap terlihat ironi manakala tidak ada satupun pedagang yang menjual hasil laut seperti kerang, batu koral melainkan hanya menjajakan makanan penganjal perut yang lapar. Kekosongan produk masyakarat lokal di mana wilayah wisata inilah yang harus dikembangkan untuk memperkaya destinasi wisata yang didatangi oleh wisatawan.
Keempat, share profit yang berkeadilan antara Pemda dan masyarakat dalam pengelolaan obyek wisata. Jika tujuan pengelolaan wilayah kewisataan untuk kemakmuran masyarakat dan menambah pendapatan daerah, maka ada dua aktor yang harus saling membagi keuntungan secara adil yaitu pemerintah daerah selaku pembuat regulasi dan pengelola aset wisata serta masyarakat di mana wilayah wisata itu berada. Hasil keuntungan pengelolaan wilayah wisata dapat menambah pendapatan kas desa sehingga dapat dipergunakan untuk keperluan-keperluan instrumental desa baik itu pembuatan jalan desa, perbaikan jembatan desa serta pembiayaan kegiatan kemasyarakatan lainnya.
Kelima, mempertahankan kedaulatan ekonomi masyarakat. Dalam rangka kedaulatan ekonomi, masyarakat sebaiknya tidak harus selalu menjual lahan subur dan strategis yang mereka miliki di wilayah sekitar tempat wisata melainkan menyewakannya pada investor dan pengusaha wisata. Dengan cara demikian, masyarakat tidak kehilangan tanah di mana mereka tinggal, namun secara ekonomi mereka memiliki kedaulatan karena tanah yang mereka miliki menghasilkan pendapatan bagi mereka sendiri. Kondisi ini berbeda jika pemilik tanah tergiur dengan harga yang ditawarkan investor kemudian menjualnya namun tidak memiliki skill yang memadai dalam mengelola uang hasil penjualan tanah sehingga uang hasil penjualan habis dan mereka sendiri telah kehilangan tempat tinggal yang strategis dan bernilai investasi tinggi.
Keenam, pembangunan infrastruktur sebagai prasyarat utama dalam pengelolaan wisata. Agus Mulyadi dalam artikelnya Infrastruktur Memadai, Syarat Mutlak Wisata mengatakan, “Infrastruktur dan sejumlah fasilitas pendukung menjadi syarat mutlak penambahan kunjungan wisatawan lokal dan mancanegara” (Kompas, 22 Desember 2015) Senada dengan di atas, Muhammad Syarif Hidayatullah seorang peneliti dari Wiratama Institute mengatakan, “Infrastruktur merupakan pilar utama dalam pariwisata. Tanpa adanya infrastruktur yang baik, wisatawan akan enggan untuk berkunjung. Sayangnya, hal ini sering luput dari pembangunan sektor pariwisata Indonesia” (https://www.selasar.com/ekonomi/menjadikan-indonesia-tujuan-wisata-dunia#). Dalam ulasannya perihal infrastruktur Muhammad Syarif Hidayatullah menambahkan, “Sayangnya, komitmen pemda terhadap pembangunan infrastruktur masih sangat minim. Berdasarkan hasil olahan dari data APBD 500 Pemda tingkat I dan II, ditemukan bahwa rata-rata 50% alokasi APBD masih digunakan untuk belanja pegawai. Porsi untuk belanja modal (infrastruktur) hanya sebesar 21%...”. Sejumlah wilayah kewisataan di Kebumen baik kawasan pantai maupun gua serta curug masih ditemui sejumlah sarana transportasi jalan dan kendaraan yang belum memadai sehingga kurang memperlancar menuju destinasi wisata. Aspal jalan yang rusak dan menimbulkan lubang menganga, belum adanya area aman untuk parkir kendaraan, rute yang terjal dan curam sehingga berpotensi bagi keselamatan fisik wisatawan nampaknya masih menjadi agenda ke depan yang harus sesegera mungkin dikerjakan baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat. Pembangunan infrastruktur memang tanggung jawab pemerintah namun bukan berarti masyarakat tidak bisa dan tidak perlu melibatkan diri di dalamnya. Untuk rute-rute tertentu yang terjal dan curam dapat disiasati oleh masyarakat yang dekat wilayah wisata untuk diberi pagar pengaman dan dibuatkan jalan yang lebih aman dengan memberi kerikil atau batu-batuan padat yang memperlancar perjalanan wisatawan.
Ketujuh, melibatkan peran komunitas dalam masyarakat untuk terlibat dalam mempromosikan dan mengelola wilayah kewisataan. Akhir-akhir ini dikembangkan konsep Community Based Tourism (CBT – pariwisata berbasis masyarakat) sebagai kepanjangan tangan dari Sustainable Development (SD – Pembangunan yang berkelanjutan) sebagai pendekatan pembangunan. Definisi Community Based Tourism (CBT) yaitu: 1) bentuk pariwisata yang memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengontrol dan terlibat dalam manajemen dan pembangunan pariwisata 2) masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam usaha-usaha pariwisata juga mendapat keuntungan 3) menuntut pemberdayaan secara politis dan demokratisasi dan distribusi keuntungan kepada komunitas yang kurang beruntung di pedesaan. Keterlibatan masyarakat tentu mulai dari perencanaan, promosi dan pengelolaan. Beberapa contoh pengelolaan wisata berbasis masyarakat di Kebumen al., hutan mangrove di wilayah kabupaten Ayah sebagai bentuk eco-tourism dengan nilai-nilai edukatif terkait pemeliharaan keseimbangan lingkungan.
Ketujuh elemen yang saya sampaikan tentu masih bisa dikembangkan lagi untuk meningkatkan dan memaksimalkan pengelolaan wisata di wilayah Kebumen. Promosi kewisataan saja tidak cukup. Apalah artinya kekuatan pencitraan melalui promosi jika elemen-elemen penopang lainnya tidak dipersiapkan baik itu berupa pemberdayaan masyarakat dalam memproduksi cinderamata ataupun infrastruktur yang buruk. Kiranya tulisan ini menjadi suara salah satu masyarakat yang dapat dipertimbangkan demi perbaikan dan pengembangan pariwisata di Kabupaten Kebumen oleh semua pemangku kepentingan dan komunitas-komunitas penggiat kewisataan.
Assalamualaikum wbt saudara Teguh Hindarto, saya ingin bertanya. Memandangkan anda semua berasal dari dan menetap di Kebumen, tahukah anda sejarah silam mendalam Amberwinangun/Ambirwinangun, Kebumen (iaitu tanah pusaka peninggalaan moyang-moyang saya)? Saya ingin menulis buku cetak berkaitannya dalam bahasa Inggeris. Terima kasih.
BalasHapus28 Mac 2016 12.00 malam
Assalamualaikum wbt saudara Teguh Hindarto, saya ingin bertanya. Memandangkan anda semua berasal dari dan menetap di Kebumen, tahukah anda sejarah silam mendalam Amberwinangun/Ambirwinangun, Kebumen (iaitu tanah pusaka peninggalaan moyang-moyang saya)? Saya ingin menulis buku cetak berkaitannya dalam bahasa Inggeris. Terima kasih.
BalasHapus28 Mac 2016 12.00 malam
https://www.smashwords.com/profile/view/Hakimi1973
BalasHapushttp://www.amazon.com/Hakimi-Abdul-Jabar/e/B016X204PE/ref=ntt_dp_epwbk_0
Ambar Binangun adanya di Bantul Pak Hakimi Abdul Jabar. Silahkan Anda periksa di beberapa link sbbL
BalasHapushttp://bantulmedia.com/2013/02/pondok-pemuda-ambarbinangun-warisan-budaya-yang-masih-eksis.html
http://www.krjogja.com/web/news/read/234418/jejak_sejarah_pesanggrahan_ambarbinangun
Thank you very much & Jazakallahu khair Pak Teguh Hindarto for the infgormation. Will do the necessary. Kindly download my latest published book for free on The Srebrenica Genocide from Amazon.com (FREE BOOK PROMOTION) :
BalasHapushttp://www.amazon.com/Srebrenica-Genocide-Abominable-Atrocities-Lifetime-ebook/dp/B01EKJ4GSS/ref=asap_bc?ie=UTF8
Thanks again.
Wassalam.
Assalamualaikum Pak Teguh Hindarto,
BalasHapusAnyway, I've been informed by my paternal cousin a long time ago, that the correct spelling is Amberwinangun and also a long time ago, I was informed by my paternal aunt that the place & ancestral property is in Kebumen.
So, thanks again for your information and endeavours.
Wassalam.