Senin, 25 Januari 2016

REVITALISASI NILAI POLITIS DAN EDUKATIF SENI TRADISI KETOPRAK BERBASIS KARAKTER BANYUMAS




Ketoprak Sebagai Seni Tradisi

Kesenian tradisional atau seni tradisi bisa didefinisikan sebagai bentuk kesenian yang lahir dan tumbuh dalam konteks wilayah tertentu yang diteruskan dari satu periode ke periode berikutnya. Setiap wilayah di Nusantara memiliki seni tradisinya masing-masing, baik yang lahir sejak periode pra kolonial maupun di era kolonial serta paska kolonial.

Ketoprak, merupakan salah satu seni tradisi yang berkembang di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah dan berkategori teater rakyat yang memiliki karakteristik narasi bertemakan sejarah klasik (raja-raja), legenda (tokoh maupun asal usul sebuah wilayah), dongeng dan dimainkan oleh sejumlah pemain dengan menggunakan bahasa Jawa mulai dari ngoko hingga kromo inggil dengan diselingi canda dan sindiran. Istilah ketoprak sendiri diyakini berasal dari bunyi alat musik lesung yang menghasilkan bunyi “dung”, “dung”, “prak”, “prak”. 


Ada keragaman pendapat perihal kapan dan dimana pertama kali seni tradisi ketoprak ini mulai dikenal di kalangan masyarakat. Ada yang menjelaskan tahun tahun 1898 sebagai permulaan kehadiran ketoprak dengan menghubungkan nama R.M.T. Wreksodiningrat sebagai penggagas. Ada pula yang mengidentifikasi tahun 1922 di wilayah Mangukenagaran sebagai kelahiran seni tradisi ini.
 
Dalam perjalanannya, ketoprak sendiri mengalami perkembangan sebelum dikenal dalam bentuknya yang sekarang ini. Jika saat ini panggung ketoprak modern penuh dengan pernak pernik pencahayaan dan kemerlap pakaian para pemain serta sound effect yang memikat penonton, tidak demikian saat Ketoprak pertama kali muncul di masyarakat. Hasil Lokakarya Kethoprak tanggal 7-9 April 1974, membagi sejarah perkembangan kethoprak menjadi tiga periode: Periode kethoprak lesung, dari tahun 1887- 1925. Periode kethoprak peralihan, dari tahun 1925- 1927. Periode kethoprak gamelan, tahun 1927 sampai sekarang  (Afendy Widayat, Kethoprak: Seni Pertunjukan dan Seni Sastranya, Media Menuju Konteks Multikultural, Seminar Nasional Pemberdayaan KBJ III di UNY Yogyakarta, 2001).

Ketoprak, layaknya seni tradisi lainnya turut pula mengalami pasang surut ditengah era teknologi informasi yang semakin menjadi etika global dan ditinggalkan para penontonnya. Banyak kelompok kesenian ketoprak yang terpaksa gulung tikar digilas perubahan zaman manakala mereka tidak mampu mengatasi gejolak perubahan yang menuntut berbagai sikap responsif dan adaptif para penyelenggara dan pemainnya.

Melacak Jejak Seni Ketoprak di Gombong

Kabupaten Kebumen pun memiliki group-group seni tradisi termasuk ketoprak. Dalam daftar Dinas Perhubungan Komunikasi & Informasi Kabupaten Kebumen Tahun 2012 diperoleh data jenis kesenian dan jumlah group sbb: Kuda lumping (95 grup), Wayang kulit (80 grup), Campursari (28 grup), Ketophrak (23 grup), Calung (21 grup), Rebana (17 grup), Lengger (11 grup), Jamjaneng (12 grup), Orkes/Dangdut (7 grup), Sanggar seni (4 grup) (M.T. Arifin, Media Penguatan Nilai-nilai Pembentukan Karakter Bangsa: Seni-Tradisi di Kabupaten Kebumen, Sarasehan Budaya di Aula DPRD Kebumen, 16 Oktober 2013). Gombong sebagai salah satu wilayah Kabupaten Kebumen pernah memiliki masa kejayaan ketoprak di periode tahun 1960-an hingga masa surutnya di tahun 90-an.

Pertemuan Minggu Pon (Pegupon) yang digelar rutin oleh Kopong (Komunitas Pusaka Gombong) pada tanggal 24 Januari 2016 di Rumah Martha Tilaar mengambil tema: Ketoprak Riwayatmu Kini memberikan sejumlah informasi penting perihal masa kejayaan ketoprak dan animo serta antusiasme masyarakat yang menyaksikan pertunjukkan tersebut. Melalui pemaparan Bapak Sri Hartanto (putra ibu Sri Tumpuk pimpinan group ketoprak Siswa Budaya) dan Ir. Djoko Waluyo selaku pembicara dalam diskusi tersebut diperoleh keterangan bahwa Gedung Rahayu (lokasi di dalam Pasar Gombong, sekarang sudah roboh dan beralih fungsi) merupakan pusat pementasan pertunjukkan ketoprak. 


Tercatat sejumlah nama group ketoprak terkenal pada periode tahun 1960-an al., Cakra Budaya pimpinan Bapak Ponimin dan Siswa Budaya pimpinan Ibu Sri Tumpuk. Tema-tema yang diusung seperti legenda lokal al., Joko Sangkrip, Ciung Wanara, Joko Kendil, Aladin, Umar Maya, Legenda Sumpiuh, Legenda Gombong. Sejumlah istilah khas dalam ketoprak di Gombong kala itu al., Roll yang artinya pemain utama lalu Ndhapuk yang artinya sutradara. Ketoprak sendiri dikenal dengan nama Bass pada zaman itu. Bapak Djoko Waluyo menambahkan dengan sebuah group ketoprak yang tidak teridentifikasi namanya namun sudah ada sebelum tahun tahun 1960-an yaitu tahun 1955 pimpinan Bapak Sarimin, seorang pensiunan PJKA namun pertunjukkan ketoprak yang diselenggarakan (selain wayang orang, angguk, karawitan) disampaikan pada forum hajatan dan sedekah bumi dan tidak ditampilkan di panggung komersil seperti di Gedung Rahayu.

Jika panggung ketoprak masa kini menggunakan perias profesional untuk merias para pemain dalam lakon ketoprak, tidak demikian pada periode tahun 1960-an. Para pemain harus memiliki kemampuan merias sendiri dengan membeli sejumlah pewarna di pasar dengan harga yang cukup lumayan.

Mengenai struktur pementasan dijelaskan dimulai dengan prolog yang bisa dimulai dengan musik atau tarian lalu muncul sebuah masalah yang kemudian disusul dengan episode penyelesaian masalah lantas diselingi dengan berbagai guyonan khas daerah serta diakhiri dengan epilog.

Antusiasme penonton digambarkan oleh Bapak Sri Hartanto dengan mengisahkan sekelompok orang yang berasal dari pantai Ayah yang berjalan berjam-jam untuk sampai di Gedung Rahayu untuk menyaksikan pertunjukkan ketoprak idamannya. Jika pertunjukkan selesai, mereka tidak langsung pulang melainkan menginap di gedung untuk keesokkan paginya mereka kembali ke rumah dengan berjalan kaki.

Tahun 1980-an tercatat periode menyurutnya pertunjukkan ketoprak di wilayah Gombong yang memuncak di periode tahun 2000-an karena berbagai faktor termasuk perkembangan teknologi informasi yang telah mengalihkan perhatian masyarakat pada bentuk-bentuk kebudayaan modern baik gadget (HP, Lap Top, Komputer) yang menampilkan berbagai tayangan berupa film atau permainan yang menyita perhatian para generasi muda pada umumnya.

Beberapa Catatan Kritis

Dari pemaparan perihal sejarah ketoprak di Gombong yang diselenggarakan Komunitas Pusaka Gombong (Kopong), ada beberapa persoalan yang perlu mendapatkan catatan kritis sbb: Pertama, dalam pemaparan tersebut tidak dilengkapi dengan sejumlah dokumentasi berupa foto-foto pementasan atau para aktor yang memerankan lakon dalam pertunjukkan ketoprak. Dokumentasi berupa foto sangat diperlukan untuk menginventarisasi sejarah sosial budaya yang terjadi di wilayah tertentu. Drs. Soeprapto, SU mengatakan bahwa “foto dapat membekukan suatu situasi pada detik tertentu sehingga dengan demikian memberikan bahan deskriptif yang berlaku pada saat itu” (Metode Penelitian Kualitatif, Universitas Terbuka, 2011:6.29). Kegagalan menghadirkan sejumlah dokumentasi berupa foto inipun terjadi pada pertemuan Pertemuan Minggu Pon Komunitas Pusaka Gombong Tanggal 20 Desember 2015 lalu saat mengulas perihal perkembangan lembaga-lembaga pendidikan di Gombong pada zaman kolonial yang dipresentasikan oleh Bapak Sigit Tri Wibowo selaku Deputi Program Rumah Budaya Martha Tilaar. Dari presentasi tersebut diperoleh data sejumlah gedung yang masih berdiri di wilayah Gombong sejatinya pernah menjadi lokasi sekolahan kolonial maupun etnis Tionghoa namun tidak diiringi dengan foto lokasi tersebut baik di masa silam maupun masa kini. 

Kedua, pemaparan Bapak Djoko Waluyo nampaknya melompati sebuah periode keemasan seni tradisi (khususnya ketoprak) dimana masa keemasan tersebut dihubungkan dengan peran partai-partai politik di era Sukarno untuk menjadikan group-group seni tradisi menjadi media penyampai pesan-pesan politik selain memberdayakan para senimannya untuk memiliki kesadaran politik. Dalam konteks makro partai politik berperan membesarkan seni tradisi termasuk ketoprak. Sebagaimana dikatakan Mahandis Y. Thamrin dalam artikelnya, “Pada 1955-65 kelompok ketoprak telah terbagi dua aliran: PNI (Partai Nasional Indonesia) yang berafiliasi dengan Lembaga Ketoprak Nasional, dan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang berafiliasi LEKRA (Lembaga Kebudajaan Rakjat). BAKOKSI (Badan Kontak Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia)—yang berhalauan komunis—telah menaungi paguyuban ketoprak dari 275 paguyuban pada 1957 menjadi  371 paguyuban pada 1964. Boleh dikata, kesenian ketoprak sangat diperhatikan saat itu, bahkan lakon-lakon ketoprak kerap menjadi alat propaganda politik. Namun, terjerumusnya kesenian ketoprak dalam politik telah membuat pada akhirnya meredup kembali. Pembersihan komunis telah turut menciduk seniman-seniman ketoprak—yang sesungguhnya tidak tahu menahu soal organisasi komunis” (Ketoprak Pernah Dibunuh Dua Kali  -http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/04/ketoprak-jawa-pernah-dibunuh-dua-kali). Hal senada dijelaskan oleh Rudi Hartono sbb: “Pada pertengahan 1950-an, kesenian ketoprak makin populer di hadapan rakyat Indonesia. ketoprak berkembang luas hingga ke desa-desa. Tidak hanya di pula Jawa, tetapi juga mulai menyebar keluar pulau Jawa. Pada kongres I ketoprak di Jogja, tahun 1957, jumlah organisasi ketoprak yang bernaung di bawah Bakoksi mencapai 275. Pada kongres ke II tahun 1964, jumlahnya sudah mencapai 371 organisasi. Sebuah perkembangan yang pesat. Pada masa itu, Bakoksi makin banyak dipengaruhi Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat). Lekra sendiri mengusung panji-panji “Seni untuk Rakyat”. Dengan begitu, ketoprak pun makin berpijak di tanahnya: kesenian rakyat. Lekra punya banyak andil dalam merevolusionerkan ketoprak. Pengaruh Lekra sangat penting dalam menggusur sisa-sisa feodal dalam ketoprak. Di sini, ketoprak tidak sekedar menjadi kesenian yang menghibur rakyat, tetapi sekaligus sebagai alat perjuangan untuk menuntaskan revolusi” (Ketoprak, Seni Drama Rakyat - http://www.berdikarionline.com/ketoprak-seni-drama-yang-merakyat/). Terlepas perbedaan pendapat apakah Lekra merupakan underbow partai komunis atau bukn namun dalam ulasan Tempo dijelaskan, “Nyoto (salah satu pendiri Lekra) pula yang menjaga ‘garis’ Lekra tidak diubah menjadi ‘merah’ oleh PKI. Nyoto tahu tak semua anggota Lekra komunis dan dia ingin tetap mempertahankan posisi Lekra seperti itu” (Tempo: Lekra dan Geger 1965, 2014:19). Jadi masa keemasan seni tradisi pada tahun 1960-an bukan semata-mata antusiasme masyarakat namun secara makro pada masa itu parta-partai politik menggandeng para seniman untuk diberi kesadaran politik sekaligus menyampaikan pesan-pesan politik. Namun sejauh mana para seniman tradisi khususnya ketoprak di Gombong bergabung dalam kegiatan politik pada masa itu, saya belum mendapatkan data yang signifikan. Namun demikian para pembaca harus mengetahui konteks makro masa keemasan seni tradisi termasuk ketoprak memang ada peran-peran eksternal yaitu partai-partai politik yang sedang berkontestasi.

Beberapa Faktor Menurunnya Pamor Seni Tradisi Termasuk Ketoprak

Saya membagi faktor-faktor menurunnya pamor seni tradisi ketoprak menjadi dua yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Mengenai faktor eksternal masih terbagi dalam beberapa kategori. Sebagaimana saya sudah jelaskan perihal konteks makro masa keemasan seni tradisi khususnya ketoprak, maka akan mudah membaca faktor eksternal yang turut mematikan pamor ketoprak yaitu salah satunya adalah depolitisasi ketoprak sebagai akibat reaksi terhadap peristiwa Gerakan 30 September. Keterlibatan sejumlah seniman dalam politik atau dimanfaatkan menjadi corong politik partai politik khususnya partai komunis berbuah reaksi pembekuan partai komunis setelah terjadi pergantian rezim dari Sukarno ke rezim Suharto. Bukan hanya pembekuan partai komunis melainkan diiringi dengan penangkapan, pemenjaraan, pembunuhan secara extra judicial. Demikian pula nasib para seniman dan group seniman ketoprak yang berafiliasi dengan partai komunis mengalami kematian. Namun demikian sekitar tahun 1970-an seni tradisi ketoprak dan seni tradisi lainnya seperti ludruk dihidupkan kembali oleh pemerintahan Orde Baru untuk menyampaikan pesan-pesan politik dan pembangunan (Seniman Ketoprak dalam Pusaran Geger 1965 - http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/09/seniman-ketoprak-dalam-pusaran-geger-1965). Selain depolitisasi dan pelarangan seniman ketoprak akibat dihubungkan dengan aktifitas Lekra dan partai komunis, kategori lainnya yang turut berkontribusi pada menurutnnya pamor seni tradisi ketoprak adalah modernisasi yang bersifat sentralistik di perkotaan sebagaimana dikatakan oleh budayawan dan sejarawan M.T. Arifin, “Namun pada era Orde Baru dimana proses modernisasi dan sentralisasi kehidupan masyarakat terpusatkan ke kota-kota besar di tingkat atas, secara perlahan banyak ragam jenis kesenian budaya daerah yang mengalami kemerosotan, sejalan dengan pola sentralisasi perekonomian nasional. Kegagalan pemerintah membangun daerah selatan Jawa Tengah telah mengakibatkan banyak mengalami ketertinggalan dalam akses pembangunan dan perekonomian rakyat, sehingga diikuti kemerosotan taraf kemampuan ekonomi rakyat yang berimbas pada kehidupan seni budaya setempat, terutama yang berbentuk kesenian rakyat” (Penguatan Seni Budaya Lokal Menghadapi Tantangan Global, Makalah Sarasehan Budaya yang diselenggarakan Sekolah Rakyat Melu Bae di Rumah Martha Tilaar, 4 November 2014, hal 5). Perkembangan teknologi informasi dan globalisasi pun turut berkontribusi terhadap pergeseran budaya masyarakat termasuk dalam meminati kesenian tradisi, sehingga kedudukan seni tradisi menjadi terpinggirkan (Ibid).

Adapun faktor internal yang menyebabkan seni tradisi ketoprak mengalami penurunan pamor sehingga tidak diminati oleh masyarakat khususnya generasi muda tentu saja bersumber dari ketidakmampuan para pelaku seni ketoprak untuk merespon dan beradaptasi dengan perubahan yang begitu cepat. Tanpa memahami anatomi perubahan dan merespon perubahan secara adaptif, maka para seniman ketoprak hanya akan berhenti menyajikan lakon yang bertemakan romantisme masa lalu dan sejarah serta legenda klasik. Buku karya jurnalis The New York Times bernama Thomas L. Friedman dengan judul The World is Flat (Dunia itu Datar) mendeskripsikan kompleksitas kehidupan masa kini yang semakin terkoneksi satu sama lain oleh kekuatan teknologi yang diistilahkan oleh Friedman “dunia sedang didatarkan” (The World is Flat: Sejarah Ringkas Abad 21, 2009: hal 7). Apa yang dimaksudkan dengan “dunia sedang didatarkan?” Friedman tidak memberikan definisi akademis mengenai istilah tersebut namun memberikan sejumlah contoh dari berbagai peristiwa fenomenal yang dia alami di berbagai belahan dunia yang dia kunjungi dimana teknologi informasi telah mengubah pemetaan kehidupan ekonomi, sosial, budaya, politik tiap-tiap negara sehingga dapat terkoneksi dengan begitu cepat secepat cahaya. Berkaitan dengan lemahnya adaptasi terhadap perubahan berskala global akibat teknologi informasi, M.T. Arifin dalam makalah lainnya memaparkan: “Diantara kesulitan yang dihadapi dalam menghadapi arus perubahan yang gencar, adalah akibat lemahnya masyarakat dalam orientasi keterbukaan keluar (outward looking philosophy). Yakni arah kepada perkembangan dunia dan masyarakat luar yang berorientasi pada kualitas dengan dasar teknologi dan kecanggihan tinggi dengan merealisasikan orientasi itu ke dalam bentuk kerja keras, cermat dan tekun, sehingga mendorong daya gerak yang penting dalam produk pemikiran masyarakat dan karya seni tradisi” (Seni Tradisi di Kabupaten Kebumen, disampaikan pada Sarasehan Budaya bertema, Penguatan Jatidiri Daerah Melalui Pengembangan Potensi Kesenian Daerah, diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Daerah, Aula DPRD Kebumen, 16 Oktober 2013).

Masih Relevankah Seni Tradisi Ketoprak?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kembali kepada judul yang saya pilih yaitu Revitalisasi Nilai Politis dan Edukatif Seni Tradisi Ketoprak Berbasis Karakter Banyumas. Kata kunci yang harus digarisbawahi adalah Nilai Politis dan Edukatif. 

Seni tradisi ketoprak masih memiliki relevansi di masa kini karena memiliki nilai politis dan nilai edukasi selain nilai-nilai hiburan. Apa yang dimaksudkan dengan nilai politis? Nilai politis dalam ulasan ini bukan berarti ketoprak harus terlibat politik praktis melainkan kehadiran ketoprak sebagai bagian dari seni tradisi dapat mempertegas identitas lokal sekaligus identitas nasional. Dengan pementasan lakon-lakon kisah sejarah klasik atau ketokohan seseorang dan nilai-nilai positif yang terkandung di dalam pementasan, seseorang terbentuk untuk menghargai identitas lokal dan nasionalnya. Terbangunnya sikap menghargai identitas lokal dan nasional merupakan bagian dari politik identitas kebangsaan agar tidak mudah tergerus oleh politik identitas bangsa lain dengan mempromosikan kebudayaan mereka yang menonjolkan supremasi, hegemoni, superioritas, rasionalisme dan ketergantungan pada peran teknologi.

Sementara nilai edukasi seni tradisi ketoprak dapat terbaca dalam tema-tema lakon yang dipentaskan yaitu sejarah klasik selain legenda dan mitologi. Pertujunjukkan ketoprak merupakan cara orang Timur khususnya Jawa dalam meneruskan pola pembelajaran sejarah. Jika Barat menyampaikan pengetahuan sejarah melalui metodologi analitis maka proses penyampaian pengetahuan sejarah Timur khususnya Jawa melalui kesenian dalam hal ini ketoprak. Melalui proses pementasan lakon maka para penonton dapat dengan cepat mengingat peristiwa historis tertentu. Otak manusia terdiri dari otak kanan dan otak kiri. Otak kanan bersifat imajinatif dan otak kiri bersifat analitik. Otak kanan akan terangsang melalui gambar, bebauan, warna. Sementara otak kiri akan terangsang oleh tindakan menganalisis sesuatu. Proses pembelajaran akan maksimal jika menggabungkan kemampuan otak kanan dan otak kiri. Pembelajaran sejarah dengan metodologi yang sistematik akan semakin menyenangkan dan mudah diingat jika disampaikan dengan metode pementasan seni semacam ketoprak. Saya masih teringat di masa-masa sekolah menengah pertama untuk mementaskan drama kecil di depan kelas bersama teman-teman untuk mengisahkan peristiwa historis tertentu. Dengan mementaskan, diharapkan para siswa lebih mudah mencerna sebuah peristiwa bersejarah. Demikian pula pementasan ketoprak memiliki nilai edukatif sehingga kehadirannya masih tetap relevan untuk menyampaikan kisah-kisah historis sekalipun tidak harus kaku dan diiringi dengan gurauan dan candaan pemainnya.

Revitalisasi Berbasis Karakter Banyumas Sebagai Bentuk Adaptasi

Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa tanpa kemampuan para seniman dan pelaku seni tradisi ketoprak beradaptasi dengan perubahan zaman, maka dapat dipastikan bahwa eksistensi ketoprak hanya akan menjadi sebuah kisah sejarah tinimbang menjadi media penyampai kisah bersejarah. Pentingnya adaptasi terhadap situasi yang terus menerus mengalami perubahan telah diulas oleh Thomas Friedman dalam buku yang saya kutip sebelumnya yaitu The World is Flat: Sejarah Ringkas Abad 21. Selain memetakan arus perubahan yang terjadi secara global dengan faktor-faktor penyebabnya, Friedman pun memberikan sejumlah implikasi sbb: “Akibatnya semua orang sekarang harus bertanya: Dimana posisi dan peluang saya sebagai individu dalam persaingan global saat ini serta bagaimana saya pribadi bekerja sama dengan orang lain secara global pula?” (hal 11) dan pada bagian berikutnya dijelaskan, “Mereka yang terjebak di masa lalu dan menolak perubahan akan menjadi tak lebih dari sekedar barang dagangan (commoditization). Mereka yang mampu menciptakan nilai melalui kepemimpinan, hubungan dan kreatifitas akan mengubah industri ini serta memperkuat jalinan relasi dengan klien mereka” (hal 15). Pesan tersebut diulangi kembali dalam halaman berikutnya, “Itulah sebabnya tantangan terbesar jaman kita adalah bagaimana cara menyerap perubahan ini agar tidak menenggelamkan atau meninggalkan kita. Semua ini tidak akan mudah. Tetapi itulah tugas kita. Ini tidak bisa dielakkan dan tak dapat ditolak. Ambisi buku ini adalah menawarkan kerangka bagaimana menanggapi tugas ini dan menangganinya demi keuntungan maksimum kita” (hal 53). Berkaca pada pendapat dan analisis Friedman maka pelaku seni ketoprak harus memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap perubahan zaman. Tema-tema yang dipilih tidak harus sejarah klasik atau legenda lokal semata-mata melainkan juga mengambil tema-tema yang menjadi isue aktual pada masa kini seperti ketimpangan sosial, kemiskinan struktural, korupsi sistematik, penyimpangan perilaku sosial, penyimpangan perilaku pejabat publik, intervensi dan hegemoni ekonomi asing dll. Mungkin tuntutan ini terlalu ideal bagi generasi tua namun generasi muda terdidik diharapkan lebih mampu mengaktualisasikan tema-tema tersebut dalam pentas ketoprak menjadi sebuah kritik sosial yng bersifat konstruktif. Jadi panggung ketoprak bukan hanya sarana hiburan dan pelestarian romantisme masa silam melainkan sarana melakukan konstruksi sosial terhadap masyarakat dan alat kritik sosial dengan metode seni dan kearifan lokal.

Berbicara mengenai kritik sosial, sudah seharusnya mewarnai penggung ketoprak berkarakter Banyumasan. Mengapa? Karena karakter Banyumas itu terbuka dan egaliter sebagaimana diistilahkan dalam sejumlah ungkapan yaitu Cablaka, Blakasuta, Thokmelong. Secara historis, kebumen merupakan bagian dari sub kebudayaan Banyumas. Tahun 1816 wilayah Banyumas dibagi menjadi dua bagian yitu Kabupaten Banyumas Kasepuhan dan Kabupaten Banyumas Kanoman yang keduanya di bawah kekuasaan Wedono Bupati (DR. Tanto Sukardi, M.Hum., Tanam Paksa di Banyumas: Kajian Mengenai Sistem, Pelaksanaan dan Dampak Sosial Ekonomi, 2014:17-18). Bupati Kabupaten Banyumas Kasepuhan diperintah oleh Adipati Cokronegoro (1816-1831) dengan wilayah kekuasaannya meliputi, Adireja, Adipala, Purwokerto, sebagian Panjer Kebumen, sebagian Banjarnegara. Sementara Bupati Kabupaten Banyumas Kanoman diperintah oleh Raden Adipati Brataningrat (1816-1830) dengan wilayah kekuasaannya meliputi, Sokaraja, sebagian Panjer, sebagian Banjarnegara.

Secara kultural, wilayah Banyumas kerap diibaratkan dengan istilah adoh ratu cedhak watu (jauh dari raja dekat dengan batu) (Budiono Herusatoto, Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak, 2008:128). Pemeo di atas menggambarkan kondisi geografis wilayah Banyumas yang sekalipun subur namun termasuk wilayah pedalaman yang terisolasi oleh pegunungan yang membentang di sepanjang utara dan selatan sehingga tidak strategis (Tanam Paksa di Banyumas: Kajian Mengenai Sistem, Pelaksanaan dan Dampak Sosial Ekonomi, hal 11). Dua jalur mengapit wilayah Banyumas yaitu Pegunungan Serayu Selatan dan Pegunungan Serayu Utara. Pegunungan Serayu Utara merupakan sambungan dari Pegunungan Dieng di timur laut yang membujur ke arah barat. Punjak Pegunungan Serayu Utara adalah Gunung Slamet, Gunung Pojok Telu dan Gunung Parahu. Sementara itu Pegunungan Serayu Selatan merupakan kepanjangan dari pegunungan Sumbing. Perbatasan antara Pegunungan Sumbing dengan Pegunungan Serayu Selatan berupa barisan bukit-bukit terjal di wilayah timur Banyumas. Di antara kedua pegunungan tersebut terletak daerah inti Banyumas yang dialiri Sungai Serayu sehingga menghasilkan kesuburan bagi lahan pertanian dan perkebunan.

Kondisi geografis berupa batuan pegunungan dan bentang alam serta jauhnya wilayah Banyumas dari pusat pemerintahan dan kebudayaan Kraton sangat berpengaruh terhadap perwatakkan dan struktur sosial masyarakat di wilayah Banyumas. Budiono Herusatoto mendeskripsikan perwatakan orang-orang yang tinggal di Banyumas dengan istilah lageyan (sifat seseorang atau komunitas) yang berjumlah delapan yaitu: Cowag (berbicara dengan suara keras), Mbloak (suka ngomong bergaya serius, cablaka dan humoris), Dablongan atau ndablong (seenaknya sendiri kalau mengritik atau berkelakar), Ajiban (reaksi spontan secara verbal jika mendapatkan sesuatu yang memenuhi hasrat kenikmatan. Setara dengan seruan, asyik…), Ndobos (berebut bicara saat mengeluarkan ide), Mbanyol (bergurau), Ndopok (omong-omong mengeluarkan uneg-uneg) (hal 179-180). 

Kondisi masyarakat Banyumas yang jauh dari pusat politik dan pemerintahan Kraton tersebut tentu saja memiliki struktur sosial yang lebih sederhana yang terdiri dari kalangan elit/priyayi yang memiliki peranan sebagai pelaksana kebijakkan Kraton di tingkat kadipaten dan kalangan rakyat petani yang hidup dari pertanian. Berbicara mengenai perwatakan dan karakteristik masyarakat Banyumas, lebih jauh lagi Budiono Herusatoto mengidentifikasi tokoh wayang Bawor. Tokoh Bawor sebagai anak sulung Semar hanya ada dalam pewayangan Gagrag Banyumasan dan Pasundan sementara dalam Gagrag Surakarta hanya dikenal tokoh, Petruk, Gareng dan Bagong. Bawor sendiri diciptakan dari bayangan Semar untuk menemaninya di dalam tugasnya di dunia manusia. Adapun lageyan (sifat seseorang atau komunitas) Bawor meliputi: Sabar lan narima (sabar dan menerima apada adanya dalam kehidupan keseharian), Berjiwa ksatria (jujur, berkepribadian baik, toleran), Cancudan (rajin dan cekatan), Cablaka (lugas dan terbuka tanpa tedeng aling-aling) (hal 202). Pengidentifikasian tokoh pewayangan Bawor dengan orang Banyumas dijelaskan oleh Budiono Herusatoto sbb: “…sifat dan sikap wong banyumasan itu adalah seperti sifat dan sikapnya Bawor, yaitu terbentuk oleh satu hal: adoh ratu cedhak watu (jauh dari raja dekat dengan batu). Artinya, jauh dari tata pergaulan kraton, namun hanya dekat dengan kehidupan alamiah. Bicaranya saja bahasa Jawa kluthuk (bersahaja, asli kuno), sing pating blekuthuk (saling menimpali adu keras seperti suara air mendidih)”(hal 204).

Sejarawan Sugeng Priyadi dalam artikelnya berjudul Cablaka Sebagai Inti Model Karakter Manusia Banyumas menegaskan perihal kandungan makna istilah Cablaka sbb: “Cablaka merupakan pusat atau inti model karakter manusia Banyumas. Cablaka adalah karakter yang dicetuskan secara spontan oleh manusia Banyumas terhadap fenomena yang tampak di depan mata, tanpa ditutu-tutupi. Cablaka sering diartikan sebagai karakter yang mengedepankan keterusterangan manusia Banyumas…Kata cablaka ini dimungkinkan berasal dari kata bocah blaka atau disingkat menjadi cah blaka dan selanjutnya menjadi cahblaka atau dibaca cablaka. Kata walaka yang berarti bocah, anak, kanak-kanak, anak-anak atau muda di atas menunjukkan bahwa cahwalaka atau cawlaka berarti bocah-bocah. Maksudnya, anak-anak yang masih wantah (belaka) atau masih apa adanya dan belum terkontaminasi oleh pengaruh-pengaruh luar” (Jurnal DIKSI Vol 14 No 1 Januari 2007, hal 13-14).

Selain karakter yang diindentifikasi dengan sebutan Cablaka, wilayah Banyumas termasuk Gombong, Kebumen mengenal penggunaan bahasa Ngapak-ngapak yang diyakini oleh sejumlah peneliti bahasa sebagai bahasa paling tua dalam sejarah bahasa Jawa karena bahasa Ngapak selalu mengeja apa yang ditulis dengan apa adanya. Jika ditulis “a” maka tetap dibaca “a”. Misalkan “sega”, “lega”, “padha”, “gawa”, “mangga”, dll (Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak, hal 121-134).

Menilik faktor sejarah dan kultural bahwa masyarakat Kebumen khususnya Gombong sebagai wilayah yang pernah mengalami kejayaan seni tradisi ketoprak, tentu saja tidak boleh menghilangkan kritik sosial sebagai bagian dari Cablaka atau Blakasuta yaitu keterbukaan dan keberanian yang menjadi watak masyarakat Banyumas. Menghilangkan sama sekali kritik sosial dalam seni tradisi maka seni tradisi hanya menjadi sebuah hiburan belaka yang tidak bersangkut paut dengan realita sosial.

Saya bukan pelaku seni atau praktisi seni melainkan orang yang peduli dengan sejarah, kebudayaan dan dinamika sosial kemasyarakatan. Uraian dan analisis saya mungkin terlalu teoritis. Namun para teoritisi diperlukan oleh para praktisi untuk mengurai dan menganatomi sebuah persoalan secara sistematis agar para praktisi dapat menemukan jalan keluar untuk mengatasi sebuah persoalan yang menghambat dunia kesenian. Kiranya apa yang saya tulis merupakan bagian dari peran kecil dalam menjalankan sumbangsih pemikiran yang dapat mengurai persoalan dan membantu memecahkan sejumlah persoalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar