RESENSI DAN NOTASI NOVEL "SILANG SELIMPAT"
Penulis:
Kang
Juki
Penerbit:
Majelis
Kajian Peradaban dan Budaya (MASJIDRAYA)
Tahun:
2015
Tebal:
267
Novel
setebal 267 halaman dengan judul Silang
Selimpat karya Achmad Marzoeki yang akrab dipanggil Kang Juki melalui dua
novel yang telah dihasilkannya (novel pertama berjudul, Pil Anti Bohong), merupakan kisah yang ditulis dengan konteks lokal
yaitu wilayah Kabupaten Kebumen, dimana sang penulis novel berasal dan tinggal
di dalamnya.
Karya
Kang Juki merupakan novel lokal pertama yang mengulas persoalan topik
berlatarbelakangkan konspirasi (persekongkolan) dengan mengambil seeting wilayah Kebumen. Setelah
sebelumnya saya melakukan resensi dan catatan kritis terhadap novel bertema
konspirasi karya Rizky Ridyasmara dengan judul The Jacatra Secret[1]
dan novel karya Ridwan Saidi yang berjudul Anak
Betawi Diburu Intel Yahudi[2],
maka kali ini saya tertarik untuk memberikan resensi dan catatan kritis pada
novel lokal ini.
Judul
Silang Selimpat mengekspresikan
sebuah istilah mengenai kerumitan sebuah persoalan yang dialami Fajar Shodiq
tokoh utama dalam novel ini, “Begitu
rumitnya asal usul dan peredaran foto ini, sudah menyilang masih menyelimpat
pula” (hal 135). Foto? Foto apakah yang dimaksudkan sehingga menimbulkan
silang selimpat dalam novel ini?
Kisah
dimulai dengan sebuah persekongkolan untuk menjatuhkan nama baik dan reputasi
kinerja Bupati Fazar Shadiq yang bertekad menciptakan kultur clean government (pemerintahan yang
bersih) dan good governance (tata
kelola pemerintahan yang baik). Tempat kejadian perkara penjatuhan nama baik
Bupati didesain di desa Condong Campur dengan skenario Bupati Fazar Shadiq
didapati sedang tidur di samping istri Nurbowo, Kades Condong Campur (hal 7-8).
Adapun mengapa Fazar Shodiq bisa ada di desa tersebut dikarenakan kebiasaannya
tiap hari sabtu mengunjungi dan menginap di sejumlah desa untuk meninjau
desa-desa di wilayah pemerintahannya. Bertepatan di desa Condong Campur
dilaksanakan kegiatan Perkampungan Kerja
Pelajar (PKP) yang diselenggarakan oleh Pelajar
Islam Indonesia (PII). Saat Fazar Shadiq terbangun di pagi hari untuk
menjalankan sholat shubuh sebagaimana kebiasaannya, betapa terkejut dirinya
mendapati sedang berada di tempat yang tidak sebagaimana mestinya dia temui
saat bangun, bahkan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya.
Dikarenakan
latar belakang keorganisasian yang pernah digelutinya yaitu Pelajar Islam Indonesia (PII) dimana di
dalam keorganisasian tersebut Fazar Shadiq mendapatkan pelatihan intelejen
khususnya di Brigade PII, maka kepanikkannya berhasil dikendalikan dan dia
menggunakan kamera hand phone-nya
untuk memfoto beberapa tempat tertentu di rumah Kades Condong Campur untuk
kepentingan penyelidikan dan dipergunakan sebagai data-data yang dapat
meloloskan dirinya dari perangkap yang mencemarkan nama dirinya.
Entah
bagaimana, foto Fazar Shodiq yang tidur di samping istri Kades Condong Campur
sudah beredar di dunia maya (facebook) dan menimbulkan sejumlah komentar pro
dan kontra (hal 6). Sejumlah orang yang mengatasnamakan dirinya wartawan namun
dengan perilaku mencurigakan yang telah menerima foto tersebut di waktu subuh
itu berusaha mengejar informasi dan memaksa untuk melihat dan meliput secara
langsung di TKP. Namun saat para wartawan itu merangsek masuk ke kamar Kades
Condong Campur, ternyata Fazar Shodiq sudah tidak berada di lokasi karena telah
bangun di waktu subuh untuk melaksanakan shalat. Anehnya, dengan cepat aparat
kepolisian yang dipimpin Kapolsek pun sudah tiba di lokasi tersebut dan membuat
pernyataan yang menuai kecurigaan warga desa Condong Campur bahwa kehadiran
wartawan dan kepolisian di lokasi tersebut adalah by design (direncanakan sebelumnya) sebagaimana tidurnya Fazar
Shodiq di samping istri Kades Condong Campur.
Alur
narasi mulai bergeser dimana penulis novel ini memperlihatkan sosok Fazar
Shodiq yang berkepribadian kuat dan berhasil mengendalikan situasi melalui
gagalnya konspirasi tersebut dengan mulai berkoordinasi dengan Polda Jateng Irjen
Gatot Santoso yang adalah teman baiknnya semasa masih di SMA dahulu agar turut
menyelidiki kasus penjatuhan nama baik dirinya ini dikarenakan kuatnya aroma
konspirasi yang melibatkan pejabat kapolsek dan kapolres Kebumen (hal 16).
Mulailah perlahan-lahan sejumlah nama muncul sebelum teka-teki besar siapa
dalang konspirasi penjatuhan nama baik Bupati tersebut. Penulis novel ini mampu
mempermaikan pembacanya sehingga muncul rasa penasaran untuk menelusuri siapa
dalang dibalik konspirasi ini. Pembaca akan kerap terkecoh dengan sejumlah nama
yang mulai muncul dengan latar belakang pekerjaan dan peran keterlibatan mereka
dalam konspirasi seolah-olah nama-nama yang muncul adalah dalang utama
konspirasi tersebut.
Nama
Wahyudi, salah satu pegawai Pemkab Kebumen muncul pertama kali sebagai orang
yang pertama kali mengunggah foto tersebut di Facebook (hal 47). Kemudian muncul nama baru dokter Andre yang
dicurigai oleh Fazar Shodiq (hal 62), bidan Ani yang gugup (hal 64), Wartawan
Kebumen Pos bernama Imron yang “tampak dominan” perannya dalam kronologi
keluarnya berita di harian lokal tersebut (hal 69). Fakta mengejutkan saat
menemukan nama Farhan adik Fazar Shodiq sebagai sumber darimana foto tersebut
dapat diunggah di Facebook milik Wahyudi (hal 79). Motif Farhan sang adik
Bupati Fajar Shodiq nekad mengunggah foto yang diterimanya dari seseorang untuk
kemudian diposting melalui akun facebook Wahyudi adalah sakit hati karena tidak
mendapatkan proyek dari sang kakak (hal 99).
Melalui
bantuan anak-anak PII yang sedang mengadakan PKP salah satunya Badrun, sejumlah
nama terus dikejar dan patur dicurigai khususnya di tempat kejadian perkara
untuk mendapatkan jejak siapa yang melakukan pemotretan terhadap bupati.
Muncullah nama-nama yang kemudian tidak terbukti keterlibatannya seperti Agus,
pemuda Karang Taruna dan Suwito, calon Kades yang kalah bersaing dengan Kades
terpilih yaitu Nurbowo (hal 121). Penyelidikan berjalan terus, muncul kembali
sejumlah nama-nama yang mengaburkan perhatian pembaca novel ini seperti Purnomo
yang bekerja di bagian pemotretan studio foto Panorama (hal 126) yang memiliki
hubungan yang mulai mendekatkan kepada dalang utama. Kemudian muncul kembali
nama-nama orang yang dipakai untuk melacak saluran peredaran darimana pembuat
foto bupati yang menghebohkan tersebut al., Rustam pemilik foto studio Panorama sekaligus merangkap sebagai
kontraktor proyek-proyek milik swasta (hal 159), nama Joko muncul sebagai
rekanan Rustam yang juga berprofesi sebagai kontraktor untuk proyek-proyek
pemerintah daerah (hal 183). Sadewo, pimpinan PT. Maju Jaya Kontraktor (hal
207-208). Tidak satupun nama-nama tersebut terlibat dalam pembuatan foto bupati
yang menghebohkan tersebut namun nama-nama tersebut menghantarkan lebih dekat
kepada dalang konspirasi jahat ini dimulai dari penangkapan Winarto, salah satu
staf dari Kepala Dinas PU Kabupaten Kebumen (hal 230-231). “Bagi Fajar, ikut tertangkapnya Winarto menjadi indikasi kuat bahwa
dalang dibalik rekayasa ini pastilah orang dekat yang berada di sekitarnya”
(hal 237), demikian penggalan Bab 10 dengan judul Figur Di Balik Konspirasi. Bagian ini menguak tabir siapa dalang
konspirasi jahat yang hendak menjatuhkan Bupati Fajar Shodiq. Dari hasil
penangkapan Purnomo, Imron, Winarto diperoleh informasi tentang pertemuan di
sebuah vila di Magelang. Setelah Fajar Shodiq dan jajarannya serta aparat
kepolisian Polda Jateng berkoordinasi dan melakukan penyergapan, nampaklah di
dalam vila tersebut sejumlah orang dan nama yang sudah familiar di mata Bupati
Fajar Shodiq yaitu Suherman, Asisten II Sekda yang kerap bersebrangan yang
kerap bersebrangan pemikiran dengan kebijakkan Fajar Shodiq (hal 253). Suherman
ternyata masih kakak dari Sadewo (hal 256). Dalam penggerebekan tersebut AKBP
Andang Hartadi selaku Kapolres Kebumen berhasil disergap pula.
Jika
diringkaskan, keseluruhan novel ini hendak menyampaikan motif konspirasi jahat
terhadap Fajar Shodiq yaitu sebagaimana terucap dalam pernyataan Sekda Arif
Budiman pada Bupati Fajar Shodiq, “Konspirasi
ini merupakan persekongkolan barisan sakit hati, orang yang kecewa terhadap Pak
Bupati” (hal 194). Barisan sakit hati tersebut dikomandani Suherman Asisten
II Sekda selaku desainer yang dibantu
oleh AKBP Andang Hartadi selaku Kapolres Kebumen dengan menggunakan pelaksana
di lapangan bernama Purnomo dan Imron serta Wahyudi yang memanfaatkan
keburukkan karakter dan hubungan yang retak antara Farhan dan Fajar Shodiq sang
kakak hingga berhasil diperalat untuk menggungah hasil foto rekayasa Purnomo.
Tujuan konspirasi tersebut diungkapkan Kapolda Jateng Irjen Gatot Santoso, “Rupanya memang ada sebuah rekayasa yang
sistematis untuk menurunkan Bupati dan Wakil Bupati Kebumen secara berurutan.
Sehingga paling lambat setahun sebelum pemilukada berikutnya, Plt Bupati
Kebumen diduduki orang yang berada di belakang konspirasi ini” (hal 194).
Modus operandi penjatuhan nama bupati dilaksanakan saat Bupati Fajar Shodiq
bermalam di desa Condong Campur, di rumah Pak Kades ada Supri ajudan Fajar lalu
pak Kades serta dua pemuda Karang Taruna yang kesemuanya tertidur pulas
dikarenakan pengaruh obat tidur yang dimasukkan dalam gelas-gelas kopi
tersebut. Saat tertidur itulah Fajar Shodiq digotong empat orang dan di
tempatkan di ranjang bu Kades kemudian di foto lalu diunggah di facebook dan
kemudian direkayasa pula melalui kehadiran wartawan-wartawan tidak resmi
sekaligus aparat polsek yang sudah menjadi bagian dari konspirasi jahat
tersebut. Sayangnya konspirasi jahat ini berantakan saat Bupati Fajar Shodiq
terbangun dari ketidaksadarannya karena kebiasaannya bangun pukul 04.00 untuk
melaksanakan Shalat Shubuh sehingga menghindarkannya dari penggerebekan oleh
media dan kepolisian bagian dari konspirator.
Penulis novel Silang Selimpat yaitu Achmad Marzuki
(Kang Juki) adalah anggota Pelajar Islam
Indonesia (PII) angkatan 1986 dan masih aktif dalam organisasi tersebut.
Pelajar
Islam Indonesia
(PII) didirikan di kota perjuangan Yogyakarta pada tanggal 4 Mei 1947. Para
pendirinya adalah Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan
Ibrahim Zarkasji. Salah satu faktor pendorong terbentuknya PII adalah dualisme
sistem pendi-dikan di kalangan umat Islam Indonesia yang merupakan warisan
kolonialisme Belanda, yakni pondok pesantren dan sekolah umum. Masing-masing
dinilai memiliki orientasi yang berbeda[3]. Nampaknya
Achmad Marzoeki, penulis novel sekaligus anggota organisasi PII ingin menuangkan
idealisme dan konsepsinya mengenai clean
government (pemerintahan yang bersih) dan good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) melalui tokoh dan
figur Bupati bernama Fajar Shodiq.
Melalui
novel ini penulisnya memberikan beberapa gambaran potret perilaku sosial dan
kebiasaan masyarakat Kebumen di masa silam di wilayah-wilayah tertentu seperti
Sungai Luk Ula, Jembatan Tembana, Pasar Merta Kanda, Pabrik Genting Sokka
sehingga menolong para pembacanya mengetahui sejumlah perubahan sosial
kebudayaan di wilayah Kebumen (hal 90-91). Bukan hanya memotret perubahan
sosial dan kebudayaan serta perilaku masyarakat namun persoalan-persoalan
aktual yang terjadi di tengah masyarakat seperti konflik pertanahan antara TNI
dan warga Urut Sewu tak luput diulas dengan ringkas (hal 93).
Melalui
pengalamannya di bidang pemerintahan daerah, Kang Juki dapat memetakkan
persoalan-persoalan yang terindikasi menimbulkan tindakan korupsi seperti tarik
menarik mendapatkan proyek khususnya proyek pemerintahan daerah seperti
pembuatan jalan sehingga para pembaca yang awam persoalan-persoalan korupsi di
pemerintahan sedikit banyak tertolong mengendus persoalan-persoalan serius yang
menggerogoti kinerja pemerintahan daerah dan kemakmuran masyarakat Kebumen (hal
221-224 dan hal 252).
Sayangnya
Kang Juki selaku penulis novel kurang melibatkan konteks dan kultur dimana
setting peristiwa ini yaitu Kebumen dimana sebagai wilayah yang dipengaruhi
oleh kebudayaan Banyumas yang kental dengan logat percakapan Ngapak dan corak Cablaka (berterus terang)[4]
dalam berkomunikasi. Percakapan demi percakapan yang terekam dalam novel ini
bersifat serius tanpa akhir dan menguras keingintahuan pembaca untuk membongkar
sebuah konspirasi. Sekalipun menarik keingintahuan pembaca namun secara
sosiologis, bobot kasus yang disajikkan sulit terjadi secara nyata di wilayah
Kabupaten Kebumen selain hanya ada dalam novel belaka. Berbeda saat membaca
novel karya Ridwan Saidi yang berjudul Anak
Betawi Diburu Intel Yahudi, para pembaca bukan hanya diajak bertamasya
sejarah mengenai nama dan peristiwa lampau di balik gedung-gedung modern namun
pembaca mendapatkan pengetahuan mengenai kondisi sosiologis dan kebudayaan
masyarakat yang terekam dalam sejumlah kosa-kata Betawi yang khas yang
disisipkan di dalam tiap-tiap percakapan, sehingga para pembaca menjadi
terlibat dalam suasana yang bersifat Betawi sekalipun membicarakan kasus
konspirasi.
Kekurangan
yang cukup serius dari novel ini adalah editorial
error (kesalahan redaksional) yang berulang berupa pemenggalan kata yang
tidak tepat. Entah faktor sengaja atau tidak sengaja, kekeliruan ini membuat
saya saat meresensi seolah melakukan tugas koreksi dan editing yang belum
lengkap saat naik cetak. Jumlah total kekeliruan redaksional tersebut mencapai
113 kali yang meliputi di halaman-halaman berikut: hal 17, 22,25,30,31,36,37,38
(3 x), 39 (3 x), 42 (2 x), 43, 44, 45, 48, 49, 50, 51 (2), 53, 54, 61, 64, 66,
69 (2 x), 72, 75, 88, 89 (2 x), 90 (2 x), 91, 92, 96, 98, 99, 102, 103, 104,
107, 112 (2 x), 119, 122, 124, 144 (2 x), 146, 152, 153 (2 x), 154, 156, 157,
165, 172, 184, 191, 199, 201, 204, 206, 207, 208 (2 x), 209 (2 x), 210, 211 (3
x), 212 (2 x), 213, 216 (2 x), 218 (2 x), 220, 224 (2 x), 226, 227 (2 x), 228,
230, 231, 234 (2 x), 235, 237, 238, 239 (3 x), 240 (2 x), 241 (3 x), 244 (2),
245, 248, 250, 251, 254, 258, 261, 263. Kiranya penulis novel ini lebih
berhati-hari dalam melakukan proses editing sebelum naik cetak dan dibaca
publik.
Catatan kritis lainnya perlu ditambahkan terkait definisi korupsi. Dalam salah satu percakapan Fajar Shodiq saat menjelaskan pada siswa-siswi PII mengatakan, "Korupsi itu sebenarnya sebuah upaya penghematan biaya, hanya tidak diikuti dengan penghematan anggaran. Hasil penghematan masuk kantong-kantong pribadi" (hal 52). Jika benar demikian logikanya, maka jika ada seseorang yang melakukan keduanya yaitu "penghematan biaya" dan "penghematan anggaran", apakah kemudian orang tersebut dapat disebut telah melakukan korupsi? Menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah:
"Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara". Pada dirinya, istilah dan definisi korupsi sudah jelas merupakan sebuah tindakan melawan hukum maka tidak tepat jika dikatakan bahwa korupsi adalah tindakan "penghematan biaya" dan "penghematan anggaran". Bahkan seandainya kalimat yang terlontar dari mulut Fazar Shodiq adalah bentuk satire (gaya bahasa sindiran), tetap saja tidak tepat dan memenuhi syarat sebuah ungkapan satire.
"Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara". Pada dirinya, istilah dan definisi korupsi sudah jelas merupakan sebuah tindakan melawan hukum maka tidak tepat jika dikatakan bahwa korupsi adalah tindakan "penghematan biaya" dan "penghematan anggaran". Bahkan seandainya kalimat yang terlontar dari mulut Fazar Shodiq adalah bentuk satire (gaya bahasa sindiran), tetap saja tidak tepat dan memenuhi syarat sebuah ungkapan satire.
Sekalipun
ada beberapa kekurangan serius dari segi redaksional, namun tidak menutupi kelebihan
seluruh gagasan yang kuat dalam novel bertema konspirasi lokal ini dan saya merekomendasikan
masyarakat Kebumen yang meminati karya sastra khususnya para pejabat publik dapat
menjadikan novel lokal ini sebagai salah satu daftar bacaan untuk menginspirasi
dan mengingatkan agar menjauhi perilaku-perilaku koruptif demi menciptakan kultur
clean government (pemerintahan yang
bersih) dan good governance (tata
kelola pemerintahan yang baik) di wilayah Kabupaten Kebumen.
[1] Teguh Hindarto,
Resensi The Jacatra Secret: Misteri
Satanic Symbol di Jakarta
http://teguhhindarto.blogspot.com/2013/05/resensi-jacatra-secret-misteri-satanic.html
[2] Teguh Hindarto,
Anak Betawi Diburu Intel Yahudi: Resensi
dan Catatan Kritis
http://teguhhindarto.blogspot.com/2013/12/anak-betawi-diburu-intel-yahudi-resensi.html
[4] Band. Budiono Herusatoto,
Banyumas:
Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak, Yogyakarta: LkiS 2008
Bagus mas..
BalasHapusKalau ada dan bisa, coba ceritanya diangkat dari kisah nyata mas.