Seni tradisional
Cepetan belakangan ini kerap tampil dalam berbagai event di Kebumen. Belum lama ini, seni Cepetan ditampilkan di
Alun-Alun Kebumen saat momentum Car Free
Day dalam rangka memeriahkan Gempita
Borobudur, tanggal 19 Oktober lalu[1].
Apa dan bagaimanakah seni Cepetan tersebut? Kita akan mengenal lebih dekat seni
melalui wawancara kebudayaan bersama Bpk Pekik Sat Siswonirmolo yang merupakan
pendidik di SMP 2 Kutowinangun dan sekaligus Ketua I Dewan Kesenian Daerah,
Kebumen.
Tanya:
Sejak kapan seni Cepetan di kenal di Kebumen?
Pekik
Sat Siswonirmolo: Cepetan berkembang di wilayah utara
Kebumen khususnya Karanggayam sejak Abad XIX di kawasan onderneming (perkebunan luas yang dikuasai Hindia Belanda). Sebagai
bentuk perlawanan non fisik, rakyat di Karanggayam membuat topeng terbuat dari
kayu pule yang mudah dibentuk. Topeng
tersebut dibentuk menjadi sosok yang menakutkan dengan disertai ijug sebagai
rambut. Mulanya topeng-topeng tersebut dipergunakan untuk menakut-nakuti
pemilik onderneming sehingga mereka
tidak kerasan berada di sana dan menyebutnya sebagai wilayah angker. Diharapkan
dengan rasa takut tersebut mereka meninggalkan wilayah onderneming tersebut. Pembuatan topeng sendiri bukan sekedar
mengukir namun melibatkan ritual tertentu dan jenis kayu tertentu di wilayah
tertentu yang diyakini memiliki kekuatan magis.
Tanya:
Atas dasar apa klaim bahwa seni Cepetan adalah asli Kebumen?
Pekik
Sat Siswonirmolo: Bukan terletak pada tariannya
melainkan pada bentuk topeng yang berbeda dengan jenis topeng dari daerah lain.
Wujud topeng yang dilukis dengan ala kadarnya tidak seperti topeng panji yang
lebih menyiratkan kebudayaan priyayi atau keraton dan bentuk pembuatan yang
bersifat kasar menjadi pembuktian bahwa topeng Cepetan dan kesenian ini
merupakan bentuk kebudayaan asli Kebumen.
Tanya:
Begini Pak Pekik, Saya pernah membaca data dari Dinas Perhubungan Komunikasi
& Informasi Kabupaten Kebumen Tahun 2012 bahwa dari 10 jenis kesenian,
tidak ada satupun produk kesenian yang diklaim sebagai kesenian asli Kebumen
(Jemblung, Menthiet, Cepetan) masuk dalam daftar kesenian asli. Sebaliknya
justru hanya jenis kesenian umum saja yang didaftarkan spt Kuda Lumping, Wayang
kulit, Lengger, Rebana dll. Bukankah seni Cepetan adalah asli produk kebudayaan
Kebumen?
Pekik
Sat Siswonirmolo (sambil terkaget): Wah, betul itu. Kenapa
bisa tidak terdaftar ya? Ini bisa menjadi bahan masukan bagi pejabat yang
mengelola hal tersebut.
Tanya:
Apakah ada pengaruh luar Kebumen dalam seni Cepetan?
Di desa-desa di wilayah
Karanggayam khususnya Kajoran, Karangjoho topeng Cepetan dikembangkan menjadi
seni tari tradisional yang diiringi dengan suara kenthongan dan kaleng. Pada
zaman itu disebut dengan kesenian “Dangsak” atau “Tongbreng”. Kegiatan Cepetan
sendiri pada zaman tersebut belum menjadi seni yang ditanggap secara khusus
seperti wayang atau jenis tarian lainnya melainkan sebagai penyerta pada
perayaan-perayaan rakyat atau arak-arakkan seperti “merti desa” (bersih desa). Dalam
berbagai tampilan seni Cepetan tidak bisa dilepaskan dari pelibatan aspek magis
yang dimasukkan dalam diri para penari sehingga menimbulkan situasi “trance”
(ketidaksadaran atau dikuasai eksistensi lain). Fenomena ini menjadi daya tarik
dan pemikat bagi para penonton untuk menonton seni Cepetan karena dalam kondisi
“trance” banyak hal-hal yang dilakukan oleh penari yang di luar kemampuan
manusia normal.
Perkembangan modern
menjadikan Cepetan sebagai seni tari yang mengadopsi banyak elemen baik musik (gamelan,
simbal, bedhug, saron) maupun gerak tari (tari Wasono dll) dan tidak harus
melibatkan aspek magis di dalamnya. Jika dahulu pelaksanaan tari Cepetan hanya
bertelanjang dada, maka sekarang mengunakan kostum-kostum yang menarik dan
beraneka warna.
Tanya:
Apakah makna dan filosofi seni Cepetan?
Pekik
Sat Siswonirmolo: Seni ini pada dasarnya lahir sebagai
bentuk perlawanan non fisik rakyat terhadap keberadaan pegawai Hindia Belanda
di kawasan onderneming
Tanya:
Adakah pelibatan unsur magis dalam seni Cepetan?
Pekik
Sat Siswonirmolo: Ada. Pembuatan topeng sendiri bukan
sekedar mengukir namun melibatkan ritual tertentu dan jenis kayu tertentu yaitu
kayu Pule dan diperoleh di wilayah tertentu yang diyakini memiliki kekuatan
magis. Bahkan unsur magis dilibatkan kepada para penari yang mengalami
kesurupan atau trance.
Tanya:
Apa tujuan pelibatan unsur magis dalam seni Cepetan?
Pekik
Sat Siswonirmolo: Pemanis atau bumbu yang membuat seni
ini agar diminati masyarakat yang menontonnya. Terbukti jika ada pementasan
Cepetan di desa-desa ada tembung, “wis mendhem dhurung penarine? (sudah
kesurupan belum penarinya?) jika adegan kesurupan ini sudah terjadi, masyarakat
lebih berduyun-duyun menonton tarian ini.
Tanya:
Apa pelibatan unsur magis dalam seni Cepetan merupakan keharusan?
Pekik
Sat Siswonirmolo: Tidak harus dan tidak wajib. Apalagi
dalam pementasan Cepetan kontemporer yang ditujukkan untuk kegiatan atau event
Kabupaten.
Tanya:
Bagaimana tanggapan dari aspek keagamaan mengenai pelibatan unsur magis dalam
seni Cepetan?
Pekik
Sat Siswonirmolo: Ya, tergantung dari sudut mana
memandangnya. Ada juga yang menolak penggunaan unsur magis baik dari penonton
maupun kalangan keagamaan. Namun jika kita berkeyakinan bahwa mahluk-mahluk
sedemikian diciptakan untuk menyembah Tuhan juga, maka keterlibatan
mahluk-mahluk halus tentu tidak harus dipersoalkan.
Tanya:
Bagaimana struktur pementasan seni Cepetan?
Pekik
Sat Siswonirmolo: Cepetan sebagai sebuah seni tari yang
mengadopsi banyak unsur gerak dari tarian lainnya memiliki struktur gerakan
yang terdiri dari sbb: Adegan pembukaan dimana semua pemain akan membuat posisi
menyembah ke empat penjuru mata angin untuk menyimbolkan penyembahan pada para
penguasa wilayah juga kepercayaan mengenai “sedhulur papat lima pancer” dalam
rumusan Kejawen. Adegan tarian dengan diiringi alunan musik selama beberapa jam
lamanya. Adegan penutup berupa kesurupan. Dalam event tertentu, adegan terakhir
ini tidak wajib dilakukan sehingga praktis struktur gerakan bisa terdiri dari
pembukaan dan gerak tari namun bisa pula pembukaan, gerak tari, penutup berupa kesurupan
yang dialami pemain. Hal ini tergantung kebutuhan dari pementasan.
Tanya:
Ada berapa group seni Cepetan di Kebumen?
Pekik
Sat Siswonirmolo: Sekitar 10 group atau kelompok di
seluruh wilayah Kebumen
Tanya:
Apa kendala yang dihadapi group seni Cepetan?
Pekik
Sat Siswonirmolo: Persoalan regenerasi ya? Terkadang
dikarenakan kebutuhan ekonomi dan pendidikan, generasi muda melakukan hijrah ke
kota besar sehingga di desa dimana seni ini lahir menjadi kekurangan pemain dan
penerus
Tanya:
Apa harapan group dan pelaku seni Cepetan di Kebumen?
Pekik
Sat Siswonirmolo: Mereka hanya butuh perhatian khususnya
dari pemerintahan daerah. Mereka tidak terlalu memusingkan dengan tarif dan
bayaran yang mereka terima. Bahkan ada salah satu kelompok atau group tari yang
sudah dipesan oleh pejabat daerah untuk pentas dan dia sudah menyiapkan semua ubo rampe yang tidak sedikit
pembiayaannya tapi saat ada pembatalan, thoh dia legowo pentasnya tidak jadi ditampilkan. Bagi mereka yang berasal
dari status sosial menengah ke bawah ini, yang penting eksistensi mereka
sebagai seniman dan hasil keseniannya dapat dipentaskan dan diberi kesempatan
pentas oleh pemerintah sudah gembira, tidak perduli apakah mereka mengalami
kerugian secara tidak langsung dari pembatalan tersebut.
Catatan 2023: Ketika wawancara in ditulis, belum banyak data dan dokumen kolonial (berita surat kabar, jurnal, majalah, buku) yang dikaji oleh penulis (Teguh Hindarto). Dalam perkembangan selanjutnya, penulis lebih memilih pendapat bahwa asal-usul Cepetan lebih kepada peristiwa pagebluk yang pernah dialami penduduk di utara Karanggayam saat terjadi pembukaan hutan. Peristiwa pagebluk dikaitkan dengan kemarahan mahluk halus penunggu hutan sehingga terjadi berbagai peristiwa sakit penyakit. Bandingkan dengan tulisan terbaru: DANGSAK BERGERAK: Sebuah Apresiasi dan Catatan Dari Pementasan “Repertoar Dangsak - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/07/dangsak-bergerak-sebuah-apresiasi-dan.html
[1] Cepetan Alas Meriahkan Car Free Day,
Kebumen Ekspress, 20 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar