Kebumen
memiliki sebuah lokasi penting bagi studi Geologi yaitu Karang Sambung. Terletak
kurang lebih 20 km dari kota Kebumen, sepanjang jalan menuju wilayah Karang
Sambung, kita akan diberi sajian pesona alam yang indah. Bukan semata-mata
pemandangan bentangan sawah atau rindang pepohonan pinus ketika perjalanan
semakin meninggi ke utara, namun pesona khusus berupa batu-batuan alam yang
besar dan membentang baik di sekitar jalanan yang dilalui atau di kelokan
sungai di sebelah kiri atau kanan jalanan serta bebukitan.
Batu-batuan
yang berada di wilayah Karang Sambung bukan batuan biasa atau batuan hasil
lemparan material pegunungan. Batu-batuan yang tersedia di sejumlah tempat
(areal pesawahan, tepi jalan, bebukitan, tepi sungai) merupakan batuan hasil
pertemuan samudra dan benua yang diprediksi para geolog sekitar 65-120 juta
tahun lalu.
Sejumlah peneliti mengatakan bahwa kawasan
Karang Sambung sebagai “kotak hitam (black box) bagi segala proses alam semesta”[1]. Sebagian geolog lain
mengatakan lokasi ini seperti ”Yellowstone National Park”-nya Indonesia”[2] serta ada pula yang
mengungkapkan sebagai “Text Book Geologi[3]
Mengapa para peneliti tersebut mengatakan demikian? Mengutip penjelasan
dalam sebuah laman sbb:
“Kepala Bagian
Tata Usaha Unit Pelaksana Teknis Balai Informasi dan Konservasi Kebumian
Karangsambung LIPI, Suyamto mengatakan, beberapa situs bisa dipelajari untuk mengetahui
sejarah Bumi, khususnya proses evolusi lempeng Asia bagian tenggara.
Misalnya, situs batuan metamorf
serpentinit di Pucangan. Batuan ini berwarna kehijauan dan berasal dari perut
Bumi di bawah lantai samudra. Batu ini merupakan batu ultrabasa hasil pembekuan
magma pada kerak samudra. Formasi batu ini berubah saat bersentuhan dengan air
laut dan berubah lagi ketika masuk zona tunjaman dan terangkat ke permukaan
Bumi.
Salah satu kekayaan utama cagar alam
geologi ini adalah batuan metamorf sekis mika di Kali Brengkok. Di sini
pengunjung bisa menyentuh langsung batuan mineral mika yang berkilau kala
tertimpa sinar Matahari. Batuan tertua ini tersingkap dan menjadi pembentuk
fondasi Pulau Jawa. Pengukuran dengan radioaktif menunjukkan batuan ini berumur
121 juta tahun, dari zaman kapur.
Batuan alas Pulau Jawa ini memiliki nilai
ilmiah tinggi karena membuktikan bahwa sejak zaman itu telah terjadi tumbukan
lempeng samudra dengan lempeng benua di kawasan Karangsambung. Batuan ini
berasal dari pasir yang mengandung mineral asam dari lempeng benua yang masuk
ke zona subduksi dan berubah jadi sekis mika.
Fenomena geologi lain yang tersingkap di
kawasan yang secara geografis membentang di Kebumen, Banjarnegara, dan Wonosobo
adalah situs batu rijang dan lava basal berbentuk bantal di Kali Muncar. Batuan
sedimen ini terbentuk di dasar samudra purba 80 juta tahun lampau. Batu ini
memberi fakta kuat bahwa dahulu Karangsambung adalah dasar samudra yang
terangkat oleh proses geologi.
Batuan sedimen berwarna merah memanjang
sekitar 100 meter pada dinding Kali Muncar itu ibarat layar pertunjukan wayang
kulit atau kelir dalam bahasa Jawa. Ini membuat warga setempat menamainya Watu
Kelir. Terlebih, di bagian atasnya terdapat batuan beku yang bentuknya mirip
kenong dan gong (alat musik Jawa)”[4]
Tidak heran jika pada tahun 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
meresmikan wilayah Karang Sambung sebagai cagar alam geologi di Indonesia. Hingga
kini, wilayah Karang Sambung menjadi tujuan penelitian para mahasiswa geologi
dari beberapa universitas ternama di Indonesia.
Dan tidak mengherankan pula jika beberapa pihak peneliti menghubung-hubungkan situs geologi Karang Sambung dengan benua Atlantis yang hilang. Salah satunya adalah upaya yang dilakukan Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Doktor Waryani Fajar Riyanto (32)[5]. Penelitiannya didasarkan sebuah buku karya (Alm) Prof. Ario Santos berjudul, “Atlantis the Lost Continents Finally Found”. Dalam buku yang ditulis Ario santos yang juga seorang ahli nuklir, geologi dan fisika itu menyebutkan, Atlantik berada di pertemuan tiga lempeng benua yakni Australia, Eurasia dan Asia.
Namun tidak sedikit ahli yang meragukan dan menyanggah penelitian 30 tahun oleh Ario Santos sebagai “pseudo science” sebagaimana diungkapkan Thomas Djamaludin[6]
Budi Brahmantyo dalam salah satu argumen sanggahannya bahwa Indonesia bukanlah lokasi Atlantis yang hilang mengatakan sbb, “Tadinya saya pikir Prof. Santos akan berargumen dengan temuan-temuan baru geologis dan arkeologis di Indonesia. Namun alasannya rupanya lebih didasarkan argumen-argumen mitologi dan kebetulan-kebetulan atau kesamaan linguistik. Peta-peta dan buku-buku kuno Ramayana, Mahabarata, Iliad, dll. serta dongeng-dongeng yang tersebar di seantero dunia dari tradisi Yahudi Kuno, Kristiani Awal, kepercayaan-kepercayaan pagan yang menyembah berhala, adalah referensi untuk menyatakan argumennya bahwa akhirnya benua Atlantis yang hilang telah ditemukan (di Indonesia), seperti judul bukunya”[7]
Saya tertarik dengan sejumlah informasi mengenai Karang Sambung dan
sekalipun pernah melewatinya dalam beberapa kesempatan namun saya bersama
rombongan ingin membuktikan telaah dan kekaguman para ahli baik dalam negeri
dan luar negeri dengan mencoba berinteraksi dan bersentuhan langsung dengan
alam dan bebatuan Karang Sambung.
Sayangnya, akibat kekurangan informasi, saya dan rombongan harus menahan
kecewa karena saat mendatangi kantor LIPI ternyata pada hari Minggu tutup dan
tidak melayani tour guide sehingga saya dan rombongan berusaha untuk
mencari-cari sendiri lokasi-lokasi geologis yang diulas dalam beberapa situs
dan laman di internet.
Pencarian sungguh mengecewakan karena kami harus mencari dengan minim
informasi sehingga perjalanan setengah hari sampai jauh ke utara hingga
mendekati wilayah Wonosobo, tidak membuahkan hasil. Kami harus berulang kali
bertanya, turun dari mobil, berjalan kaki beberapa ratus meter di jalanan desa
dengan bekal bertanya mengenai sejumlah lokasi penting yang dituliskan beberapa
penulis dan peneliti sebelumnya. Hasilnya bukan saja nihil namun mengecewakan.
Betapa tidak, informasi penduduk antara satu dengan yang lain (dalam satu desa
atau lain desa) sungguh membingungkan. Ketika saya bertanya mengenai dimana
lokasi Watu Kelir, ada menunjuk arah tertentu namun ketika diikuti justru
mengarah pada arah yang keliru dan ketika meminta konfirmasi masyarakat dimana
kami bertanya justru kami mendapatkan informasi yang berlawanan, demikian
seterusnya.
Saya berkesimpulan bahwa minimnya informasi dan simpang siurnya informasi
penduduk di sekitar Karang Sambung dikarenakan beberapa hal. Pertama, lokasi geowisata Karang Sambung
masih hanya menjadi konsumsi wisatawan kalangan terbatas, dalam hal ini
akademisi dan para mahasiswa yang berkepentingan dengan situs geologi Karang
Sambung sehingga belum menjadi minat wisatawan non akademis yang
menimbulkan gairah membuka usaha semacam
warung atau toko cinderamata selain di kantor LIPI. Terbukti di wilayah-wilayah
yang kami datangi tidak ditemukan sejumlah warung bagi wisatawan. Kedua, masyarakat belum merasa memiliki
sehingga kepedulian memberikan informasi penting yang seharusnya disampaikan
ketika ada pengunjung, tidak dapat secara maksimal disampaikan selain
didasarkan dugaan-dugaan belaka.
Kesimpulan saya di atas ternyata pernah dikeluhkan oleh sejumlah pengunjung
saat mereka melaksanakan kegiatan di wilayah Karang Sambung sebagaimana saya
kutipkan laporan Komper Wardopo, “Namun sayang, selama
ini fasilitas pendukung masih sangat minim. Misalnya, akses jalan yang belum
memadai. Meski jalan Mertokondo - Karangsambung kini sudah mulus, namun dari
kantor BIKK ke daerah Sadang, jalan masih rusak parah. Fasilitas penunjang lain
juga belum ada, seperti warung makan dan penjual suvenir/kerajinan. Tentu saja
hal itu memerlukan adanya kerja sama yang baik antara masyarakat setempat
dengan Pemkab Kebumen, dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan”[8]
Ada peristiwa menarik dan menggelikan saat kami “blusukan” pada jalur yang
salah lalu kami menemukan seorang bocah cilik yang ketika ditanya mengenai
lokasi “Watu Kelir”, dia tanpa banyak bicara langsung mengajak kami mengikuti
langkah kakinya yang cepat. Namun ketika saya mendapati arah langkah dia menuju
jalanan desa yang semakin sempit dan tidak dilalui oleh kebanyakan orang, saya
menghentikan langkahnya dan bertanya padanya, “kamu benar-benar tahu lokasinya
dik?” Dengan lugu dia menjawab, “tahu....tapi di sana (Watu Kelir) banyak
hantunya?” “Apa?” teriak saya. Bukan takut pada hantu hanya aneh dan penasaran
saja dengan ucapan yang baru saya dengar tersebut.
“Memangnya hantunya seperti apa?” tanya saya. Dia menjawab, “Anu..hantunya
macan....munculnya setiap hari sabtu dan minggu”. Sambil tertawa dan terkejut
saya menegur dia, “kalau tahu ada hantunya, kenapa kamu membiarkan kita ke sana
dan kamu berani mengantar?” dengan datar dia menjawa, “Anu....saya hanya
mengantar sampai ke jalan menuju lokasinya setelah itu bapak aja yang ke sana
sendiri.....”
Akhirnya saya memberi uang jajan pada anak itu dan membatalkan perjalanan
yang entah menuju tempat yang benar atau menuju tempat yang salah tersebut dan
pulang dengan rasa kecewa.
Namun dalam perjalanan pulang, sempat kami terhambat beberapa jam karena
ban mobil meletus tiba-tiba. Setelah mobil dapat berjalan kembali, sisa waktu
yang tersedia sore itu, kami menemukan beberapa lokasi menarik berupa bukit
bebatuan yang menjulang dan membentang di sejumlah lokasi tertentu. Sayang,
saya tidak bisa memberikan penjelasan dan keterangan dalam blog ini mengingat
saya dan rombongan berangkat tanpa pendampingan dari petugas LIPI Karang
Sambung.
Namun ada beberapa catatan yang menjadi keprihatinan saya terhadap situs
geologi Karang Sambung. Di sejumlah situs bebatuan, ditemui bongkahan-bongkahan
kecil bebatuan yang telah ditumbuk dengan menggunakan alat penghancur sementara
di wilayah situs tersebut ditulis “Tanah Negara” dan ada larangan untuk
melakukan penggalian atau pengambilan bebatuan di areal tersebut. Jika
situs-situs bebatuan Karang Sambung adalah cagar alam yang dilindungi namun
kegiatan-kegiatan penghancuran bebatuan alam tersebut dibiarkan terus terjadi,
bukankah tindakan tersebut akan merusak bentang alam yang ada dan mengubah
struktur dan kontur wilayah yang pada akhirnya akan menghilangkan situs
geologis tertentu dalam jangka panjang?
Belum lagi aktifitas penambang pasir (yang dalam batas tertentu memang
diperlukan untuk membuang pendangkalan air sungai) dengan menggunakan alat-alat yang dapat menyedot
kandungan bebatuan mulia di dalam pasir, mengingat sepanjang Kali Luk Ula
dipenuhi dengan situs bebatuan geologis penting. Dalam salah satu situs dikeluhkan
mengenai ulah penambang pasir sbb, “Mencari
bahan dasar berupa batuan untuk dijadikan akik di sungai luk Ula sangat sulit.
Hal ini disebabkan oleh kegiatan eksplorasi pasir secara besar – besaran yang
telah berlangsung lebih dari 25 tahun ini dengan menggunakan mesin sedot,
sehingga batuan – batuan mulia ikut tesedot dan terbawa oleh truk pasir ke
tempat – tempat konsumen pasir, tidak hanya di dalam kabupaten Kebumen saja,
tetapi sampai ke luar kabupaten, dikarenakan kualitas pasir Luk Ula yang
dikenal unggul sejak dahulu. Selain aktivitas penambangan pasir, hal lain yang
menyebabkan langkanya batuan Luk Ula adalah banyaknya kolektor dari luar kota
bahkan macanegara seperti Jepang, Korea, Cina, dan lain – lain yang membeli dan
mengangkut bongkahan – bongkahan batuan berkualitas Luk Ula Karangsambung yang
tidak jarang menggunakan kendaraan berat. Batuan berupa bongkahan besar
tersebut dijadikan hiasan taman bernilai tinggi. Keadaan ini sangat sulit
dicegah sebab batuan – batuan ini tidak hanya tersebar di tanah milik LIPI
saja, akan tetapi lebih banyak dan beragam di tanah milik warga. Kondisi
ekonomi warga yang pas – pasan dan medan pegunungan menjadikan batuan – batuan
ini sebagai sumber mata pencaharian warga. Harga murah untuk batu berkualitas
tinggi ini tidak menjadi masalah bagi warga yang sehari – harinya mayoritas
bergantung pada alam Luk Ula dan Karangsambung. Efek kelangkaan seperti yang
terjadi sekarang ini pun tidak dihiraukan warga”[9].
Tidak mengherankan jika akhir-akhir ini ada sejumlah protes masyarakat
Karang Sambung terhadap aktifitas penambangan pasir yang menyalahi aturan.
Dalam sebuah pernyataan, Sekretaris Daerah (Sekda) Kebumen, H. Adi Pandoyo,
SH., Msi berharap agar masyarakat tidak berbuat anarkis dalam menyikapi
penambangan pasir di sepanjang sungai Luk Ulo. Sebab, Pemkab Kebumen telah
membentuk tim terpadu guna menyelesaikan masalah penambangan pasir yang sudah
membuat resah warga karena merusak lingkungan dan fasilitas umum seperti jalan[10]. Memang demikian
memprihatikan kondisi jalan di sepanjang Kali Luk Ulo menuju Karang Sambung.
Selian berlubang dan rusak, juga mengalami gogos di beberapa ruas jalan yang
dapat membahayakan pengendara mobil dan motor.
Belum lagi tingkat pemahaman masyarakat yang masih rendah terhadap nilai
batuan yang dijual di sekitar rumah mereka terhadap pembeli dan kolektor batu
mulia masih menjadi kendala tersendiri sebagai dikeluhkan Rahmat Dianto dalam
komentarnya, “Fenomena dan pemahaman
masyarakat awam terhadap tingginya harga dan klas dari batu luar menjadikan
kesenangan bagi para kolektor batu baik dalam negeri maupun luar negeri seperti
China, Jepang Korea dan lain – lain yang dengan mudah dan murahnya membeli dan
mengangkut bongkahan – bongkahan besar batuan Luk Ula ke tempat mereka,
sementara masyarakat umum dikondisikan untuk berburu batu luar negeri atau luar
pulau. Kecerobohan juga terjadi di beberapa daerah dimana para pecinta akik
membeli batu – batu Luk Ula yang khas tersebut kemudian diatasnamakan batuan
dari daerah mereka. Tentunya mereka tidak memperhitungkan sisi geologis bahwa
batuan Luk Ula adalah jenis batuan dengan ciri khusus yang tidak dimiliki oleh
daerah di belahan bumi manapun”[11]
Menjadi tugas Pemda dan Instansi terkait serta masyarakat untuk secara
sinergis menjaga kelestarian dan kesinambungan alam Karang Sambung yang menjadi
salah situs geologis penting di Asia Tenggara. Kenyamanan jalan, ketertiban
penambang pasir, pembelajaran masyarakat terhadap potensi alam kebumian Karang
Sambung harus menjadi pekerjaan rumah dan perhatian khusus pihak-pihak terkait
agar ke depan kelak, potensi alam dan kebumian serta situs geologis Karang
Sambung menjadi situs yang dikelola lebih profesional.
Salah satu langkah mendekatkan dan penyadaran masyarakat terhadap keutamaan
situs geologi Karang Sambung sejak dini adalah melalui wacana menjadikan
potensi kebumian Karang Sambung sevagai bagian kurikulum sekolah. Upaya itu
ditempuh melalui Seminar Sehari Materi Kebumian Untuk Bahan Ajar dengan tujuan
untuk menggali lebih dalam potensi alam di Kebumen. Kegiatan ini diikuti oleh puluhan guru IPS dan
Geografi tingkat SMP/MTs, SMA/MA dan SMK di Auditorium Graha
Grafika,Gombong,baru-baru ini. Ketua Panitia Kegiatan, Drs Agus Eko Purnomo SPd mengatakan “dua kawasan cagar alam tersebut merupakan
fakta ilmiah yang harus digalim dan dipelajari untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya pelajar di Kebumen...Idealnya guru harus memiliki
referensi yang banyak terkait fakta ilmiah pengetahuan geografi/IPS di sekitar
Kebumen”[12].
Upaya di atas tidak berlebihan mengingat usia bebatuan yang diperkirakan
65-120 juta tahun. Lebih tua dari situs Stonehenge di Wiltshire Inggris yang
diperkirakan dari tahun 2400-2200 sM. Apa Stonehenge itu?
Stonehenge adalah monumen prasejarah di daerah Wiltshire Inggris, sekitar 2
mil (3,2 km) barat Amesbury dan 8 mil (13 km) utara Salisbury. Sebagai salah
satu situs paling terkenal di dunia, Stonehenge adalah sisa-sisa sebuah cincin
batu berdiri yang diatur dalam sebuah urugan batu. Keberadaannya di
tengah-tengah kompleks monumen yang paling padat dari zaman Neolitik dan Zaman
Perunggu di Inggris, termasuk beberapa ratus gundukan pemakaman. Arkeolog
percaya Stonehenge dibangun sekitar 3000 - 2000 sM,. Penanggalan radiokarbon
pada tahun 2008 menyatakan bahwa batu pertama muncul antara 2400 dan 2200 sM, sementara
teori lain menunjukkan bahwa bluestones mungkin telah didirikan paling dini 3000
sM. Beberapa ahli menetapkan kedudukan bebatuan aneh tersebut berfungsi sebagai
pemakaman kuno dikarenakan temuan tulang manusia berusia paling dini 3000 sM[13]
Kiranya para pejabat pemerintahan Kebumen dan Kecamatan Karang Sambung
serta aparat terkait juga masyarakat dapat mengenai kepentingan dan potensi
situs geologi dan dan menjaga keberlangsungannya secara terpadu
[1] Gregorius Magnus Fineso, Memahami Semesta Karang Sambung
http://travel.kompas.com/read/2012/11/12/10230463/Memahami.Semesta.di.Karangsambung
[2] Ibid.,
[3] Melihat Laboratorium Alam Geologi Terlengkap di Dunia
http://www.sainsindonesia.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=72:melihat-laboratorium-alam-geologi-terlengkap-di-dunia&catid=17&Itemid=116
[4] Op.Cit., Memahami Semesta Karang Sambung
[5] Kota Atlantik di Kebumen di Teliti
http://kebumen2013.com/kota-atlantik-di-kebumen-diteliti/
[6] Ilmuwan Indonesia: Atlantis itu Pseudo Science
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/100793ilmuwan_indonesia__atlantis_itu_pseudoscience
[7] Budi Brahmantyo, Mitos Modern Prof Santos: Atlantis Adalah Indonesia
http://blog.fitb.itb.ac.id/BBrahmantyo/?p=418
[8] Komper Wardopo, Geopark Terlengkap yang Masih Minim Fasilitas
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/05/29/148047/Geopark-Terlengkap-yang-Masih-Minim-Fasilitas-
[9] Batuan Luk Ula dan Daya Energinya
http://batumulialukula.wordpress.com/2012/04/13/batuan-luk-ula-dan-daya-energinya/
[10] Warga Diminta Tidak Anarkis, Kebumen Ekspress, 25 Februari 2013, hal 1
[11] Batuan Dari Daerah Karang Sambung, Kebumen
http://diantorachmat19.blogspot.com/2012/12/batuan-dari-daerah-kebumen.html
[12] Materi Kebumian Didorong Untuk Bahan Ajar
http://www.kebumenkab.go.id/index.php/public/news/detail/958
[13] Stonehenge
http://en.wikipedia.org/wiki/Stonehenge
mbok yao, masyarakat Kebumen membuat KEMASAN WISATA sekalian Biro Promosi dan Perjalanan Wisata, Insyaallah kedepan nya pasti lebih maju dengan aset wisata yang demikian apiknya....
BalasHapusSaya prihatin pak baca tulisan ini.. Ayo Berjuang semuanya untuk KEBUMEN...
BalasHapuswaduh,,watu kelir aja gak pada tau,,,watu kelir terletak di kampung saya om masih karang sambung jg pasnya di desa pesanggrahan ,,gak jauh dr kantor lipi,,dr kantor lipi jg nampak tuh watu kelirnya ,arah barat kantor lipi skitar 300 m ,,kan nampk sungai di situlah berada,,kl om nanya watu kelir lewat dr desa karang sambung kayaknya pd gak ngerti,,,apa lg ampe sadang ,,dah jauh kali,,mana ada yg tau,,hihikhik,,syg sy dah jauh di aceh,dah 12 thn domisili aceh,,,kl sy di kampung bs sy pandu om,,kl mu hub sy jg bs ,,BB,,7FC99100,/FB Gazak,hp 085297909793,,
Hapuswaktu kecil ,tiap hari mandinya jg di watu kelir,,watunya lebar pas di tengah2 sungai,,n sekitarnya bnyk batu2 wadas,,,syng dah 5 thn blm pulkam,,jd kurng monitor keaadan kampung,,,
BalasHapusBuruan pulang...sekarang batumu pada dijioti tukang akik. Digosok dijadiin hiasan jari. Entek loh lama lama tuh batuan karang sambung.
BalasHapusBuruan pulang...sekarang batumu pada dijioti tukang akik. Digosok dijadiin hiasan jari. Entek loh lama lama tuh batuan karang sambung.
BalasHapusmantap mas bro
BalasHapuscinta sejarah,sama seperti aku
BalasHapusLengkap sekali artikelnya mengenai Pengertian Geologi
BalasHapus