Jembatan tua sepanjang kurang lebih 170
meter ini tegak berdiri menghubungkan wilayah Kebumen bagian barat dengan
Kebumen bagian timur. Semasa Karanganyar masih menjadi kabupaten sebelum
penghapusan pada tahun 1935 dan penggabungan dengan Kebumen pada tahun 1936
(Teguh Hindarto, Resesi Ekonomi Dunia
Yang Menghantarkan Penghapusan Kabupaten di Jawa - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/02/resesi-ekonomi-dunia-yang-menghantarkan.html)
sungai Luk Ula menjadi batas wilayah masing-masing kabupaten.
Distrik (kawedanan) Pejagoan adalah
wilayah paling timur dari kabupaten Karanganyar pada masa itu. Jembatan Tembana
menjadi jalur penghubung kedua wilayah kabupaten tersebut.
Pelacakan
Tarikh Pembangunan Jembatan
Dalam artikel sebelumnya yang saya
tuliskan di blog pribadi, masih kesulitan untuk menemukan data valid kapan
jembatan ini dibangun dan mengandalkan analisis spekulatif terhadap sebuah
tarikh yang sebagian terhapus di badan jembatan dan melakukan estimasi tarikh
1915 sebagai pembangunan jembatan ini. Sekalipun saya tidak memastikan tahun
ini sebagai tahun pembangunan hanya sekedar melakukan penafsiran angka tahun
yang terhapus di badan jembatan (Teguh Hindarto, Jembatan Tembono dan Sungai Luk Ula Punya Cerita - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/07/jembatan-tembana-dan-sungai-luk-ula.html).
Namun sebagaimana pengetahuan sejarah
tidak pernah statis dan berkembang seiring dengan penemuan-penemuan data baru,
maka dugaan estimasi pembangunan jembatan tahun 1915 dapat ditinjau ulang.
Dalam buku saya yang berjudul, Bukan Kota Tanpa Masa Lalu: Dinamika Sosial
Ekonomi Kebumen Era Arung Binang VII (Deepublish:2000) dikutip sebuah
laporan berjudul, Lijst Der Voornaamste
Lands Werken die in 1871 zijn voltooid, voortgezet of ondernomen (en nog niet
voltooid) atau Daftar Pekerjaan Utama baik yang sudah selesai, dilanjutkan
atau dilakukan pada tahun 1871 (dan yang belum selesai). Dari laporan ini
disebutkan perihal keterangan mengenai pembangunan brug (jembatan) di atas
Sungai Luk Ula disamping pembangunan jembatan lainnya sbb:
“Pembangunan tanggul di rawa Wawar.
Pembangunan jembatan kayu dengan penyangga batu dan pilar di Gentan serta
jembatan lengkung batu dengan 3 lengkungan terbuka di atas (sungai) Luk Ulo (en
van eene steenen boogbrug met 3 openingen over de Loh-oeloe)”
Laporan di atas dikonfirmasi melalui
sebuah berita berjudul Uitbestedingen
(sistem alih daya) di sebuah surat kabar yaitu De Locomotief (6 Maret 1871) dengan keterangan agar sedikit lebih
lengkap meskipun pendek yaitu:
“Oleh insinyur Departemen Pekerjaan Umum
(Burgerlijke Openbare Werken) yang ditugaskan di karesidenan Bagelen pada
tanggal 25 Maret 1871, membangun jembatan lengkung batu di atas Loh-Oeloe,
dekat Keboemen, di jalan utama dari Purworedjo ke Banjoemas”
Menariknya, sebuah artikel yang ditulis
oleh M.M. Purbo-Hadiwidjoyo, seorang Geologiwan dan mantan anggota Sigi Geologi
Indonesia serta pengajar di Institut Teknologi Bandung dengan judul, Tataan Alam Sebagai Pendekatan dan Modal
Belanda Dalam Mengelola Daerah Jawa (http://sejarah.purbo.org/1-9.html)
memberikan keterangan mengenai nama insiyur yang membangun Jembatan Tembana
tersebut yaitu, G. A. Pet, insinyur sipil muda usia (26 tahun) dan baru lulus
dari Sekolah Tinggi Teknik Delft (sekarang Universitas Teknologi Delft) di
Negeri Belanda.
Dengan merujuk pada tulisan insinyur
sipil wanita C. Swaan-Koopman dalam bukunya yang berjudul, Water Over de Sawah (1949) M.M. Purbo-Hadiwidjoyo mengatakan:
“Perjalanan hidup G. A. Pet yang singkat
itu meninggalkan bekas lain. Kita dapat menyaksikan yang ditinggalkannya berupa
sejumlah jembatan yang terbentang di atas sungai di Kedu Selatan, yang
terpanjang di atas Kali Lukula di barat Kebumen. Jembatan itu dikenal sebagai
Jembatan Tembana (tembe ana, baru ada). Dengan terjadinya pergeseran bunyi dari
a ke o, sekarang orang cenderung mengucapkannya Tembono. Tidak mengherankan,
jika sampai sekitar tahun 1920-an nama 'insinyur Gapet', begitu nama G.A. Pet
di mulut penduduk, masih jadi buah bibir di seantero daerah Kedu Selatan”
Batu
Bata Penyusun Jembatan Tembana
Ada sebuah keterangan menarik dari
sebuah artikel dengan judul, Inlandsch
Industrie (industri pribumi) yang dimuat dalam surat kabar De Preanger Bode (28 Januari 1919).
Dalam artikel ini dijelaskan perihal asal-usul industri batu bata dan genting
di Sokka yaitu berkaitan dengan pembangunan jalur kereta api
Yogyakarta-Bandung. Sayangnya tidak disebutkan tahun persisnya. Namun berkaitan
dengan keberadaan Jembatan Tembana disebutkan material penyusun jembatan ini sbb:
“Jembatan besar (grootse brug) di
Tembono di atas sungai Lakoelo (maksudnya Luk Ulo) juga dibangun dari batu ini
pada waktu itu. Jembatan ini adalah contoh yang bisa dibuat dengan batu bata
sederhana (eenvoudige baksteen). Tiga lengkungan (drie boge), masing-masing
lima puluh meter jaraknya, dan bertumpu pada pilar-pilar ubin batu yang
terdapat pula di perbukitan, menopang bangunan atas yang juga terbuat dari batu
bata. Karya ini berkesan kuat karena sederhana, gaya Romawi (Romeinschen
stijl), yang pada masa lalu lebih banyak ditiru oleh orang Belanda di India”
Perbaikan
Ulang Jembatan di Era Kemerdekaan
Pada era perang kemerdekaan di Kebumen
dan saat terjadi agresi Militer ke-2 (1948), jembatan Tembono pernah menjadi
sasaran penghancuran. Dalam sebuah berita singkat di koran De Locomotief (15 Desember 1951) dengan judul, Brugherstel (Perbaikan) disebutkan perihal pembangunan perbaikan
jembatan yang mengalami kerusakkan akibat agresi militer kedua.
Perbaikan sepanjang 34 meter tersebut
melibatkan 600 pekerja dengan biaya Rp. 500.000,- dan ditargetkan pertengahan
Januari 1952 harus sudah selesai. Berita yang sama persis diwartakan oleh De Preanger (19 Desember 1951) dengan
judul, Brug Tembono bijna gereerd (Jembatan
Tembana Segera Diperbaiki).
Kemudian dalam laporan koran De Nieuwsgier bertanggal 29 Mei 1952
dijelaskan perihal peresmian kembali jembatan Tembana. Berita dibuka dengan
pernyataan sbb:
“Pada hari Minggu pembukaan resmi
jembatan di atas Kali Lukulo di desa Tembono berlangsung. Jembatan yang
terletak di antara Kebumen dan Karanganjar, adalah salah satu yang terbesar di
Kedu (is een van the grootste in Kedu). Bedanya, jika laporan koran 1951
menyebutkan anggaran pembiayaan Rp. 500.000,- maka di koran 1952 disebutkan
anggaran Rp. 550.000,-“
Demikianlah sepenggal kisah sebuah
jembatan tua di atas aliran sungai Luk Ula, Kebumen. Kiranya jejak kisah dan
sejarah yang melekati jembatan ini dapat menghantar kita memahami hubungan
antara masa kini dengan masa lalu. Karena masa kini sedikit banyak dibentuk dan
dipengaruhi oleh masa yang sudah berlalu.
Implikasi pemahaman ini adalah saat
jembatan bernilai historis mengalami kerusakan dan perbaikan, hendaklah
perbaikan yang dilakukan tidak menghilangkan jejak sejarah yang terekam dalam
struktur bangunan jembatan.
Artikel ini pernah dimuat di Qureta.com
(2022)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar