Donga Rama Kawula
Sekar Pucung
Dhuh Ramalun, ingkang mungggweng
suwargagung, mugi asma Tuwan linuhurna sagung jalmi, kraton Tuwan mugi rawuh
mring pra umat.
Ing sakayun Tuwan mugi den pituhu, kadya
neng suwarga, inggih mekatena ugi, aneng bumi dhumateng sagung sujalma.
Mugi ulun sadinte dintenipun Tuwan
paringana, rejekinya diri mami, sarta Tuwan mugi angaksama.
Dhateng sagung dosengong kang mring
pukulun den ulun pan samya ngapunteni dhateng jalmi, ingkang samya kalepatan
dateng amba.
Myang Hyang Agung, ywa ngantya nandukken
ulun, dhumateng panggodha, nanging ingkang mugi-mugi, kauwalaken saking
sagunging piala.
Wit Hyang Agung, ingkang kagungan
karatun, tuwin pamisesa, miwah kamulyan sejati, ingkang ngantyo tumekeng neng
kalanggengan.
Amin sestu, kabula pandonga ulun, amargi sawabnya, Yesus Kristus Gusti mami, kadya ingkang sampun dados prasetyanya
Doa di atas adalah adaptasi Doa Bapa Kami yang diajarkan Yesus
Kristus (Yeshua ha Mashiakh) dan dilantunkan dalam sekar macapat yaitu Pucung oleh seorang tokoh Pekabar Injil
Jawa terkemuka bernama Kiai Sadrach Soeropranoto.
Pewarta Injil Tanah Jawa
Sadrach, hidup di era kolonial pasca
Perang Jawa. Sejumlah koran dan buku berbahasa Belanda mengulas kontroversi
kehadiran dan ajaran Sadrach yang dituding “menyimpang” dari ajaran Kristen
Calvinis yang diwakili Gereformeerde
Kerken dan beberapa aliran gereja lainnya.
Tidak banyak literatur yang mengkaji
kehidupan dan karya Pekabaran Injil Sadrach namun ada dua buku yang cukup
representatif dan ditulis dari perspektif orang Eropa dan perspektif Indonesia
khususnya Jawa. Buku pertama karya C. Guillot, Kiai Sadrach: Riwayat
Kristenisasi di Jawa (Grafiti Pres, 1981) dan buku kedua oleh DR.
Sutarman Soediman Partonadi, Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya:
Suatu Ekspresi Kekristenan Jawa Pada Abad XIX (BPK Gunung Mulia dan
TPK Yogyakarta, 2001). Kedua buku ini dapat menjadi bacaan yang saling
melengkapi sehingga mendapat gambaran komprehensif mengenai kehidupan, karya
pelayanan, ajaran serta pergulatan Sadrach dan jemaatnya menghadapi reaksi dari
Kekristenan Belanda.
Dalam sebuah artikel pendek berjudul Sadrach Gestorven (Kewafatan Sadrach) yang dimuat Koran Algemeen Handelsblad bertanggal 25 Februari 1925 ada ulasan
yang cukup menarik dan berimbang sekalipun dituliskan secara singkat perihal
riwayat hidup dan karya pekabaran Injil yang dilakukannya.
Koran tersebut membuka kalimatnya
dengan, “Den 15 een November 1924 is de
bekende Javaan Sadrach gestorven... Maar Sadrach is: oud geworden, heel oud, ik
meen over de 90 jaar...” (Tanggal 15 November 1924, orang Jawa yang
terkenal yaitu Sadrach meninggal dunia. Tetapi Sadrach telah menjadi tua,
sangat tua, saya pikir dalam usia 90 tahun...). Jika tahun 1924 usia Sadrach 90
tahun maka usia kelahirannya adalah 1834. Empat tahun setelah Perang Jawa
berakhir.
Kepribadian Sadrach digambarkan sbb, “Sadrach is een der merkwaardigste figuren
onder het Javaansche volk van de tweede helft der vorige eeuw, een man van wien
groote invloed in breeden kring is uitgegaan” (Sadrach adalah salah satu
tokoh paling luar biasa yang muncul di antara orang Jawa pada paruh Abad ke-20,
seorang pria yang pengaruhnya besar di komunitas yang lebih luas). Selebihnya
dijelaskan perihal pertemuan awalnya dengan para pekabar Injil di Jawa Timur
baik yang berlatar belakang Jawa (Tunggul Wulung) maupun Belanda (Coolen) namun
yang tetap melestarikan adat istiadat Jawa sekalipun telah menganut agama
Kristen.
Saat di Purworejo berjumpa dengan Nyonya
Philips dan membantu penyebarluasan Injil dengan corak yang khas dan banyak
menarik pengikut baru. Sadrach adalah seorang kiai dan berlatar belakang
pesantren dan guru ngelmu. Melalui metode diskusi dan perdebatan di antara para
guru, Sadrach memperoleh banyak pengikut. Belum lagi berbagai peristiwa yang
menghadapkan kuasa Kristus dengan kuasa kegelapan yang dipraktikkan Sadrach
semakin meningkatkan jumlah pengikut dan murid.
Sadrach mengajarkan kekristenan sebagai
ngelmu sejati dan Yesus Kristus yang bangkit dari kematian diberitakan dalam
bingkai pemahaman Jawa sebagai Ratu Adil dan Juruslamat sebagaimana dikatakan, “De Ratoe Adil, de rechtvaardige heerscher,
is verschenen in Jesus Christus” (Ratoe Adil, penguasa yang saleh, muncul di dalam
Yesus Kristus). Hal mana pemberitaan Sadrach menuai reaksi keras dari seorang
misionaris Belanda bernama Lion Chachet. Bahkan sempat ada tudingan Sadrach
yang mengklaim dirinya sebagai Ratu Adil.
Pendekatan Sadrach dalam pewartaan Injil
dengan menggunakan bingkai kebudayaan Jawa, mengingatkan penulis pada salah
satu tokoh Wali Songo bernama Sunan Kali Jaga yang begitu adaptif membingkai
ajaran agama dan budaya. Itulah penulis tidak sepakat ketika karakteristik
pewartaan Sadrach disebut sebagai model “abangan” (Teguh Hindarto, Apakah
Kiai Sadrach Seorang Pemimpin Kristen Abangan? -
C.Guillot menjelaskan soal
kesalahpahaman ini dengan menuliskan, “Akhirnya,
Sadrach menerima ide Collen, Wilhelm dan Janz untuk mengumumkan bahwa Yesus
adalah Ratu Adil. Namun, muridnya yang mengatakan bahwa Sadrach adalah Ratu
Adil, dipanggil ke Karangjoso untuk ditatar kembali” (1981:193)
Ribuan jemaat Sadrach yang tersebar dari
khususnya di tiga karesidenan yaitu Karesidenan Pekalongan, Karesidenan
Banyumas serta Karesidenan Bagelen saat ini sudah tidak utuh lagi dan banyak
yang bergabung ke Gereja Kristen Jawa
dan Gereja Kerasulan. Namun rumah dan
gedung gereja yang didirikan Sadrach di Desa Karangyoso, Kutoarjo masih berdiri
gagah di tengah owah-owahaning zaman
(perubahan zaman).
Mesjid Agung Gumantung Tanpa Canthelan
Ada yang unik dengan gereja yang
didirikan Kiai Sadrach yang dahulu menamakan dirinya Golongane Wong Kristen Kang Mardika
(sekarang menjadi Gereja Kristen Jawa “Karangyoso”, Kutoarjo). Berdiri di
samping rumah dan pendopo, bangunan ini tidak terlihat seperti sebuah gedung
gereja Kristen pada umumnya.
Orang akan mengasosiasikan dengan
bangunan masjid tinimbang gereja. DR. Soetarman Soedirman Partonadi
mendeskripsikan kondisi “mesjid” Kristen ini sbb, “Gereja ini dibangun pada tahun 1870 dengan gaya mesjid desa
kuno...Sebuah renovasi besar dilakukan pada tanggal 12 Juni 1886...Gereja
tersebut mempunyai tiga tingkat dan sebuah senjata cakra (bentuk cakram bulat
dengan beberapa anak panah yang menjulur) di atas atap sebagai pengganti salib”
(2001:153).
Menurut Bapak Purwanto Nugroho (salah
seorang ahli waris dan kerabat Kiai Sadrach) bangunan tersebut memiliki
filosofi sbb: “Bangunan joglo Jawa dengan
atap susun tiga yang melambangkan Sang Bapa, Sang Putra, Sang Roh Kudus sebagai
Tritunggal Yang Esa. Bangunan berbentuk bujur sangkar seperti bangunan mesjid
dengan ukuran lebar 12 m, panjang 12 m.
melambangkan jumlah murid Yesus Kristus sebanyak 12 orang. Di pucuk atap ada
dua senjata yang dipadukan menjadi berbentuk Salib yg punya filosofi sumber
cinta kasih adalah Yesus yg merupakan cinta kasih yang harus di sebarkan
kesegala penjuru. Salib itu berupa perpaduan antara senjata dewa yaitu panah
Pasopati dan senjata Cakra. Salib Kristus melebur dosa seperti dua pusaka
bersatu” (wawancara, 26 Juli 2019).
Masih menurut penjelasan Bapak Purwanto
Nugroho. Gereja ini didirikan pada lahan yang dulunya sawah yg kedung nya dalam
dan ditempat itu menurut cerita daerah yang wingit (angker). Sehingga orang bila mengerjakan sawah dekat
daerah itu banyak yang sakit atau meninggal. Sehingga banyak janda karena
ditinggal mati. Maka daerah itu disebut sawah perandan (sawah janda).
Pada awal sebelum Kyai Sadrach
Soeropranoto membangun mesjid ini, ada yg meramalkan bahwa pada suatu saat akan
ada mesjid agung yg tergantung tanpa kaitan. Ramalan tersebut didengar oleh
rara Tampa yag kelak akan menjadi istrinya. Dalam “Sejarah Adeging Gerejo Pasamuan ing Karangjoso” ada sebuah
petikkan kalimat, ...”besuk bakal ana
masjid agung gumantung tanpa canthel; iku yen wis kalakon, pratondho wis jaman
akhir” (...nanti akan ada masjid yang berdiri tanpa kaitan. Kalau itu sudah
terwujud, berarti akhir zaman telah tiba). Sejak Kiai Sadrach mendirikannya
pada tahun 1870, namanya tetap disebut masjid. Istilah “masjid tanpa cantelan”
artinya tidak bergantung dari organisasi manapun dalam pembiayaannya, khususnya
Belanda.
Jika kita memasuki ruangan dalam gereja
(dahulunya disebut masjid Kristen), nampaklah pilar-pilar kayu yang menopangnya
sejak tahun 1870. Ada kisah menarik mengenai salah satu pilar kayu gereja ini.
Kayu ini didatangkan dari Desa Duren Sari (Purworejo) dan didirikan sebagai
sokoguru sebanyak empat buah. Saat salah satu dari kayu tersebut hendak
diangkat dan dipindahkan ke gerobak untuk diangkut, terjadi keanehan dimana
kayu tersebut tidak dapat diangkat dan diangkut. Oleh Kiai Sadrach, kayu yang
tidak bisa diangkat supaya dibungkus dengan kain kafan (mori), kemudian dinaiki
penari ledek. Setelah itu dilaksanakan,
maka kayu besar itu bisa diangkat dan terpasang sampai sekarang.
Koran Algemeen Handelsblad mengakhiri
kisah Sadrach dengan menuliskan, "Akan
seperti apa kondisinya setelah Sadrach pergi? .... Jika kepribadian yang
berpengaruh ini tidak lagi membentuk ikatan yang disatukan oleh para pendukungnya,
tidakkah mereka akan melanjutkan ke misi yang baru terbentuk? Atau apakah
jemaat-jemaat ini lebih atau kurangnya bakal jatuh ke dalam keadaan memfosil,
sehingga mereka kemudian lenyap sebagai akibat kepunahan anggota mereka?.."
Pertanyaan ini telah tergenapi sejak
kepergian Sadrach hingga kini. Yang tersisa saat ini hanyalah jejak pemikiran
dan karya pelayanan yang terserak di antara banyak orang Kristen yang kemudian
berpindah ke beberapa organisasi gereja (atau mungkin berpindah agama). Namun
yang tidak berubah adalah bangunan gereja sebagai warisan iman yang sampai hari
ini ada dan dihidupi oleh orang-orang yang beribadah di dalamnya, sekalipun
telah berganti organisasi gereja dan segala peraturannya.
Artikel ini pernah dimuat di Qureta.com (2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar