Pada
terik siang pukul 12.00 penulis tiba di sebuah kompleks pekuburan Tionghoa (bongpay) di Desa Pejagoan Kecamatan
Pejagoan. Lokasinya terletak di belakang Kolam Renang Gading. Kompleks
pemakaman Tionghoa ini selain berbukit juga sangat luas.
Jika
melihat daftar nama-nama orang yang dikebumikan di sini nampak melintasi
kisaran tahun 1950-an sampai 200-an baik dengan aksara Latin biasa maupun aksara Han yang diterjemahkan. Ada juga yang ditulis dalam aksara Han yang masih
teridentifikasi maupun yang sudah terhapus dimakan zaman. Menyiratkan betapa
usia nisan dan kompleks pemakamaman sudah sangat tua.
Kompleks
bongpay ini sudah ada sejak era
kolonial. Hal ini dibuktikan dalam sebuah laporan berita mengenai penganggaran
tahunan beberapa lokasi yang salah satunya kompleks pemakaman. Sebelum tahun
1936, Pejagoan adalah sebuah district
(kawedanan) di bawah regentschap (kabupaten) yaitu Karanganyar. Dalam berita
berjudul De Regentschapsraad yang
dimuat De Locomotief (14 Maret 1930)
disebutkan sejumlah penganggaran perawatan pemakaman Tionghoa yang ada di
Kabupaten Karanganyar yang meliputi, pemakaman Tionghoa (Chineesche begraafplaats) Karanganayar, Gombong dan Pejagoan.
Bukti
selanjutnya adalah tersebarnya sejumlah nama dengan menggunakan aksara Han yang tidak mudah untuk diterjemahkan mengingat usianya yang cukup tua. Baik di
bawah bukit maupun di atas bukit. Bisa jadi dari periode tahun 1900-an atau
mungkin sebelumnya.
Dari
sekian penampakan makam Tionghoa ada tiga titik lokasi yang menarik yang
penulis temukan saat menjelajahi kompleks bong
pay tersebut. Ada yang terletak di tanah yang lapang dan ada yang tertutupi
semak-semak. Satu hal yang mencolok adalah arsitektur yang mengitari makam
tersebut.
Selain
Mu Bei, yaitu nisan yang memuat tulisan
identitas makam namun ada yang membedakan posisi ketika makam ini dibandingkan
makam yang lain yaitu tidak terdapat Mu
Gui atau Karapas Kura-Kura (gundukan bukit sebagai tempat peti jenazah
disemayamkan). Sebaliknya, terdapat struktur lengkungan dan kolom pilar Yunani
bergaya Doric di kedua sisi Mu Bei dan
tanpa adanya atap bangunan. Seolah hendak menyiratkan makna bahwa yang
terbaring di tanah adalah beratapkan langit. Kesamaan bangunan ini bisa
dimaknai ketiganya memiliki keterhubungan atau bisa jadi menjadi model
arsitektur nisan pada zaman itu.
Entah
milik siapa pemilik nama ketiga bangunan makam kuno tersebut (penulis tidak
memiliki kompetensi membaca teks berkarakter Hanzi). Nampak megah ditimpa cahaya matahari
di atas perbukitan, sekalipun ada yang nampak kusut, kumuh dan menyeramkan
karena tertutupi semak serta tidak terawat.
Adakah nilai penting mengkaji nisan-nisan di pemakaman Tinghoa khususnya yang berada di Pejagoan? Tentu saja ada. Pertama, keberadaan makam Tionghoa (termasuk makam non Tionghoa) bukan sekedar tempat untuk menguburkan
jenazah orang-orang yang sudah meninggal. Sebaliknya, kompleks pekuburan bisa
menjadi sarana kita memahami kompleksitas sosial budaya orang-orang yang
dimakamkan di dalamnya. Keberadaan nisan berbeda abad dan tahun ibarat sebuah
teks yang harus dibaca dan dianalisis.
Sebagaimana
dikatakan Michael C.Keral, "Perhaps of all funerary artifacts, the
cemetery is the most sociological didactic" yang artinya, “Nampaknya, dari
semua artefak penguburan, kuburan adalah yang paling didaktik secara
sosiologis” (Endings: A Sociological of Death
and Dyng:1989:50). Keral melanjutkan, "Pekuburan adalah institusi
budaya (Cultural institution) yang secara simbolis mendramatisir banyak
kepercayaan dan nilai dasar masyarakat tentang masyarakat seperti apa, siapa
anggotanya dan apa yang mereka cita-citakan" (1989:50)
Berangkat
dari perspektif sosiologis di atas kita bisa mempelajari makna-makna simbolik
keyakinan dan kebudayaan masyarakat Tionghoa di dalamnya. Mengapa setiap
kompleks pekuburan selalu dipilih perbukitan, mengapa nisan Tionghoa mengikuti
pola tertentu mulai dari Mu Bei (nisan
yang memuat tulisan identitas makam), Mu
An Qian Kao (bangunan berupa tembok yang mengelilingi makam), Mu An Qian Kao (bangunan berupa tembok
yang mengelilingi makam), Mu Cheng (tembok
pembatas pada sisi luar Mu An Qian Kao), altar di sekitar nisa dll
Kedua, Keberadaan makam Tionghoa di pejagoan khususnya
juga menyediakan informasi berharga mengenai struktur sosial penyangga kota
yang sudah ada sejak era kolonial. Masyarakat Tionghoa baik di Kabupaten
Kebumen dan kabupaten Karanganyar era Hindia Belanda telah menjadi bagian dari
struktur sosial selain masyarakat Jawa (dalam catatan statistik kolonial
disebut dengan “inlander” alias “pribumi”) dan Eropa serta Timur Asing termasuk
masyarakat Tionghoa di dalamnya.
Dalam
sebuah laporan paling awal yang dapat dilacak dari sebuah artikel berjudul Fragmenten Eener Reis Over Java:Reis door de
Binnenlanden van Midden-Java, Van Poerworedjo Naar Banjoemas yang dimuat dalam Tijdschrift voor Nederland’s Indie (1850:84) kita mendapatkan
keterangan berharga mengenai keberadaan etnis Tionghoa di Kebumen sbb: “Keboemen
terletak di Looeloh dan merupakan kota utama dari Asisten residen Keboemen
(yang juga termasuk Kabupaten Karanganjar di dalamnya) dan kabupaten dan kawedanan
yang disebutkan dengan cara yang sama. Keboemen memiliki sedikit yang luar
biasa. Rumah tinggal, kediaman bupati, masjid, gudang dan penjara tidak ada
yang istimewa. Ada 50 Pradjoerits. Kabupaten Keboemen berpenduduk sekitar
37.000 jiwa, termasuk beberapa orang Eropa dan hampir 200 orang Tionghoa”
(Teguh Hindarto, Pecinan Kebumen,
Landskap Ekonomi Masa Kolonial dalam Pengembangan City Planning dan Cultural
Tourism - https://suarabaru.id/2021/05/20/pecinan-kebumen-sebagai-landskap-ekonom-masa-kolonial-dalam-pengembangan-city-building-dan-cultural-tourism)
Ketiga, keberadaan makam Tionghoa di Pejagoan memperlihatkan status sosial seseorang. Keberadaan tiga makam Tionghoa dengan nisan beraksara Han dan tembok dengan kolom pilar Yunani bergaya Doric yang disinggung diawal tulisan ini tentu mencerminkan strata sosial mereka yang dimakamkan di sini. Bisa jadi seorang pengusaha (Teguh Hindarto, Eng Siang: Melacak Industri Rokok Klembak Menyan Kebumen Era Kolonial - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/05/eng-siang-melacak-industri-rokok.html) atau seorang pejabat publik di masa lalu.
Karena etnis Tionghoa tidak semua
berwirausaha. Sebagai contoh, etnis Tionghoa di tingkat kabupaten ada yang
ditunjuk menjadi wakil etnisnya. Misalnya tercatat nama Khoe Ko Hoan sebagai
Letnan Tionghoa di Kebumen dan Tiam Liang Tjoe Wikjmeester Tionghoa di Kebumen.
Sementara Oeij Kong Tjien selaku Letnan Tionghoa di Karanganyar serta Tan Boen
Joe selaku Wikjmeester Tionghoa di
Gombong (Regeerings Almanak voor
nederlandsch Indie 1890)
Hari
semakin terik dan keringat sebesar biji jagung mulai menetes di kening dan
lengan penulis ketika mencapai ketinggian bukit dan memasuki nisan tua dengan
pilar Yunani yang mulai digerogoti zaman.
Sekalipun
belum berhasil menuliskan kisah-kisah pemilik nisan (dikarenakan keterbatasan
kemampuan bahasa), setidaknya memberikan sketsa struktur sosial penyangga
kehidupan sosial dan ekonomi kota pada suatu masa. Tulisan ini hanyalah sebuah pendahuluan untuk memahami keberadaan kompleks pemakaman sebagai sebuan teks historis yang harus dianalisis dengan perangkat yang relevan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar