Suatu
siang, kembali penulis ingin mengunjungi eks kawasan dan bangunan Kabupaten
Banyumas di era kolonial yang sekarang telah difungsikan sebagai kantor
kecamatan Banyumas.
Bukan
saja kawasan yang terlihat luas namun sarat dengan kisah bersejarah dibalik
tegak tuanya sejumlah bangunan yang telah berdiri sejak era Hindia Belanda.
Sebuah pendopo berdiri di tengah-tengah yang merupakan duplikat pendopo yang
asli yang telah diboyong ke Purwokerto. Nama pendopo yang diboyong ke
Purwokerto tersebut bernama “Si Panji”.
Selain
bangunan bersejarah eks kantor Bupati Banyumas masa Hindia Belanda, saat ini
sejumlah gedung difungsikan sebagai Museum Wayang dan taman sari yang dahulu
sejumlah tanaman diperlihatkan dengan model topyary
alias seni pangkas Eropa.
Suatu siang, kembali penulis ingin mengunjungi eks kawasan dan bangunan Kabupaten Banyumas di era kolonial yang sekarang telah difungsikan sebagai kantor kecamatan Banyumas.
Bukan saja kawasan yang terlihat luas namun sarat dengan kisah bersejarah dibalik tegak tuanya sejumlah bangunan yang telah berdiri sejak era Hindia Belanda. Sebuah pendopo berdiri di tengah-tengah yang merupakan duplikat pendopo yang asli yang telah diboyong ke Purwokerto. Nama pendopo yang diboyong ke Purwokerto tersebut bernama “Si Panji”.
Selain bangunan bersejarah eks kantor Bupati Banyumas masa Hindia Belanda, saat ini sejumlah gedung difungsikan sebagai Museum Wayang dan taman sari yang dahulu sejumlah tanaman diperlihatkan dengan model topyary alias seni pangkas Eropa.
Belum didapatkan kepastian kapan bangunan bercorak khas Eropa (jika sepakat model kolom berpilar Yunani Ionic, Doric, Corinthian yang disebut Indische Empire Style) pada rumah bupati Banyumas ini dibangun. P. Bleeker dalam artikelnya, Fragmenten Eener Reis Over Java yang dimuat dalam Tijdschrift Voor Neerlands Indie (1850:94), hanya mengatakan, "dat Europesche zeden en weelde nog niet in die mate in zijne woning waren doorgedrongen" (bahwa tata krama dan kemewahan Eropa belum memasuki kediamannya sedemikian rupa). Pernyataan ini bisa mengandung makna yang multi interpretasi. Pertama, gaya hidup Eropa belum begitu mempengaruhi pemikiran dan tindakan Bupati Banyumas dan lebih memperlihatkan gaya hidup tradisional Jawa. Kedua, rumah bupati dengan model Eropa belum diminati oleh Bupati Banyumas. Jika interpretasi kedua yang dimaksudkan, maka bangunan rumah bupati ini belum dibangun pada tahun 1850.
Laporan Bleeker mendeskripsikan juga mengenai rumah residen yang disebut jaraknya, "1 paal jauhnya dari kota, di tengah lapangan yang ditumbuhi sawah. Di sini juga terdapat benteng, blok rumah batu (het fort, een steenen blokhuis) dengan 2 bastion, dimana pada tahun 1846 terdapat garnisun dengan 1 perwira infanteri, 1 perwira kesehatan, 13 tentara Eropa dan 45 tentara pribumi".
Bleeker melanjutkan deskripsi rumah Bupati Banyumas, "Paseiban, rumah bupati, barak djaijang-sekar dan pradjoerits dan penjara batu yang luas terletak di antara tempat tinggal orang Eropa dan penduduk pribumi"
Banyumas dan pendopo Si Panji tidak bisa dilepaskan dengan sebuah peristiwa alam yaitu banjir bandang yang pernah melanda dan memporak-porandakan wilayah Kabupaten Banyumas tahun 1861. Menurut laporan Javaasche Courant 2 sampai 6 Maret yang diringkaskan oleh Nieuwe Rotterdamsche Courant (28 April 1861) disebutkan pada malam 22-23 Februari, sungai Serayu sangat meluap sehingga air berada dalam jarak tiga puluh kaki dari jalan utama.
Air
pasang datang begitu tiba-tiba sehingga penduduk harus mengungsi di atap dan di
pepohonan. Beberapa penduduk Eropa telah menghabiskan 36 jam di atap. Mereka
bahkan tidak bisa menyelamatkan pakaian mereka. Pada tanggal 25 Februari air
sudah surut jauh. Rute besar ke pusat kota telah dibersihkan dari air. Hanya
lapisan lumpur yang tersisa (Teguh Hindarto, Kebumen dalam Peristiwa Banjir 1861: Melacak Jejak Banjir Besar Dalam
Dokumen Kolonial –https://www.qureta.com/post/kebumen-dalam-peristiwa-banjir-1861-1
Di
berbagai wilayah kabupaten Banyumas hingga kini peristiwa banjir besar 1861
masih tersimpan dalam memori kolektif masyarakat. Memori kolektif tersebut
tersimpan dalam sejumlah plakat penanda di sebuah bangunan, babad, legenda,
buku harian, buku reportase.
William
Barrington d' Almeida dalam bukunya, Life
in Java: With Sketches of The Javanese Vol II menuliskan perjalanannya ke
Banyumas dan berjumpa dengan Bupati Banyumas Tjakranegara (jika Barrington
berkunjung ke Banyumas tahun 1861 berarti Bupati Banyumas yang memerintah tahun
1832-1864 adalah Raden Adipati Tjakranegara 1).
Dalam
bukunya Barrington menuliskan sbb: “Kami diberitahu olehnya bahwa Banjoemas
baru-baru ini menjadi tempat genangan yang menakutkan, karena sungai Serayu
meluap, meskipun tingginya empat puluh kaki. Penduduk cukup terkejut, air naik
begitu cepat di banyak tempat sehingga mereka harus berenang ke atap rumah,
pohon, dll dan di sana menunggu untuk dijemput oleh tetangga yang lebih
beruntung yang berhasil mendapatkan perahu.
Tiga
ratus nyawa hilang, selain sedikit ternak dan barang dari berbagai macam.
Beberapa orang Eropa, di antaranya adalah residen dan istrinya, terpaksa
mencari tempat persembunyian yang aman di lantai atas rumah mereka, di mana
selama beberapa hari mereka hidup dari sedikit makanan yang mereka sita dalam
pengungsian tergesa mereka ke atap” (1864:236-237).
Demikian
pula naskah Babad Banyumas menyinggung perihal peristiwa yang disebut Blabur Banyumas. Sebuah sasmita yang
pernah diucapkan orang-orang tua sebelum peristiwa banjir bandang adalah
ungkapan, Besuk bakal ana betik mangan
manggar (besok akan ada ikan rawa memakan bunga pohon kelapa).
Bagaimana
mungkin ikan makan manggar di ketinggian? Itu bisa terjadi karena air bah
mencapai pohon kelapa (Ratmini Soedjatmoko Gandasubrata, Sebuah Pendopo di lembah Serayu: Kisah Keluarga Bupati Banyumas Jaka
Kahiman Hingga Gandasubrata, 2009:43)
Kekeramatan
pendopo Si Panji dihubungkan dengan sebuah legenda perihal keajaiban yang
terjadi saat peristiwa banjir besar 1861 di Banyumas. Bupati Banyumas era
kolonial R.A.A. Sudjiman Mertadiredja Gandasubrata menuliskan dalam memoirnya
yang berjudul, Kenangan-Kenangan
1933-1950 Bagian I.
“Katanja
pada waktu air bah membubung tinggi pendopo Si Pandji terlepas dari pondamenja
sehingga orang-orang jang berada di atasnja seakan-akan terapung-apung di atas
air. Kemudian sa’at air bah mulai surut, pendopo itu kembali ke tempat asalnja.
Karena kegaiban ini maka selandjutnya pendopo Si Pandji dipandang sakti oleh
rakjat Banjumas” (1952:27)
Ketika
Kabupaten Purwokerto dihapuskan statusnya sebagai kabupaten (bersama
Karanganyar dan Batang) akibat efisiensi menyikap krisis ekonomi dunia, maka
Purwokerto dijadikan sebagai pusat ibu kota kabupaten Banyumas.
Berkaitan
dengan penghapusan status Kabupaten Purwokerto ada dua hal menarik yang
terjadi. Pertama, pemindahan pusat
ibu kota Banyumas ke Purwokerto. Kedua,
Pendopo Si Panji yang terletak di Banyumas yang sudah berusia ratusan tahun itu
hendak diboyong dan dipindahkan menggantikan pendopo di Purwokerto. Bupati
Banyumas yang memerintah saat itu adalah R.A.A. Soedjiman Mertadiredja
Gandasoebrata yang ditetapkan menjadi Bupati Banyumas sejak tahun 1933 dan
tahun 1936 menjadi Bupati Banyumas yang diperluas yang kelak dipusatkan di
Purwokerto.
Pendopo
Si Panji dibangun sejak tahun 1706 oleh Tumenggung Yudanegara II, Bupati
Banyumas ke-7 (1707 - 1743), setelah memindahkan pusat pemerintahan dari
Kejawar ke Banyumas. Nama Si Panji digunakan untuk mengenang puteranya yang
bernama Panji Gandasubrata (Bagus Kunthing), yang tinggal sejak kecil di
Keraton Kartasura bersama neneknya, Raden Ayu Bendara. Bagus Kunthing sejak
kecil berteman akrab dengan Raden Mas Sudjono (Pangeran Mangkubumi) yang kelak
menjadi raja Yogyakarta bergelar Sultan Hamengku Buwono I.
Adapun pemindahan Pendapa Si Panji baru dilaksanakan tanggal 5 Januari 1937 hingga 5 Maret 1937 yaitu memakan waktu dua bulan (Sugeng Supriyadi, Sejarah Kota Purwakerta 1832-2018, 2019:190). Jadi, sekalipun Kabupaten Banyumas menerima status baru yaitu kabupaten yang diperluas (vergroote regentschap) dan hendak dipindahkan ibu kotanya ke Purwokerto, namun tidak seketika pemindahan terjadi. Membutuhkan waktu kurang lebih 3 tahun.
Dalam
sebuah berita berjudul, Een
Residentswoning van f 60.000 dijelaskan bahwa selain pemindahan pendapa
kabupaten juga akan dibangun gedung baru untuk Residen Banyumas di Purwokerto.
Skema biaya yang diperlukan adalah sebesar f 60.000 dan pada tahun 1936
tersedia anggaran f 20.000 dan tahun 1937 tersedia anggaran f 45.000. Untuk
pembangunan pendopo sendiri dianggarkan sebesar f 5000. Jadi total pembiayaan sebesar
f 65.000, demikian tulis surat kabar Het
Nieuws tanggal 5 Agustus 1936 (Teguh Hindarto, Pendopo Si Panji di
Purwokerto dan Duplikat Si Panji di Banyumas - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2022/01/pendopo-si-panji-di-purwokerto-dan.html
Eks
Kabupaten Banyumas setelah dipindahkan pusat kekuasaannya di Purwokerto menjadi
kawasan terbengkalai. Pasca kemerdekaan bangunan dan kawasan eks Kabupaten
Banyumas dijadikan kantor Kecamatan Banyumas dan duplikat Pendopo Si Panji dibangun
kembali oleh Bupati Banyumas Poedjadi Djaring Bandajoeda pada tahun 1977.
Setelah
berkeliling kawasan dan menyambangi Museum Wayang dan Taman sari serta Sumur
Mas (dalam artikel berikutnya), matahari perlahan bergeser ke barat hendak
mengawali senja. Kami kembali ke kota kami dengan membawa kenangan dan
kisah-kisah lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar