Saat
ini di sejumlah ruas jalan di Kabupaten Kebumen banyak mengalami sejumlah
penataan, mulai dari perubahan dua arah menjadi satu arah, pelebaran trotoar
dan penyediaan sejumlah lampu jalan serta tempat duduk (sebagaimana diberlakukan
di Malioboro, Yogyakarta), khususnya di Jalan Sukarno Hatta. Proyek yang memakai
anggaran APBD DAU dengan nilai kurang lebih Rp 10,9 miliar ini meliputi tiga
segmen pekerjaan yakni di Tugu Lawet-Pegadaian, Pegadaian - Bank CIMB Niaga dan
SMPN 5 sampai tugu PKK atau Kantor Pos.
Omong-omong
tentang infrastruktur berupa jalan penghubung dan pengaspalan di Kebumen,
pernahkah terbersit sebuah pertanyaan di pikiran kita, “sejak kapan jalan-jalan
penghubung antar kota dibuka di Kebumen?” dan “sejak kapankah masyarakat Kebumen
mengenal aspalisasi jalan?” Tidak banyak orang terlalu memusingkan untuk
mengetahui masa lalu termasuk mengurusi pertanyaan-pertanyaan semacam di atas.
Bagaimanapun
mengetahui masa lalu itu penting karena tidak ada masa kini tanpa masa lalu dan
apa yang ada di masa kini dalam banyak hal dibentuk dan dilandasi sebelumnya
oleh apa yang sudah dikerjakan di masa lalu. Tidak ada yang ujug-ujug (tiba-tiba) ada begitu saja.
Semua ada asal muasalnya. Ketika kita mengetahui asal muasal sebuah peristiwa
atau bangunan atau jembatan dsj maka kita menjadi terhubung dengan masa lalu.
Keberadaan Jalan Penghubung Antar
Kabupaten dan Karesidenan
Dalam
artikel sebelumnya telah diulas secara singkat kapan pemasangan listrik
memasuki Kabupaten Kebumen (Teguh Hindarto,Kapan jaringan Listrik Masuk
Kebumen? http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2020/12/de-electrische-straatverlichting-lampu.html)
dan kemunculan awal sejumlah kendaraan roda empat yang menggantikan dokar
(Teguh Hindarto, Dari Dokar Hingga
Mobil:Melacak Perkembangan Transportasi di Kebumen - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/03/dari-dokar-hingga-mobil.html).
Lantas kapan pengaspalan jalan dimulai di Kebumen?
Sebelum
kita berbicara mengenai pengaspalan, terlebih dahulu kita menelisik secara
ringkas peta pembangunan infrastruktur di Kebumen. Berbicara mengenai jalan
penghubung di wilayah Kebumen, kita mendapatkan beberapa informasi penting
dengan mendedah sejumlah dokumen kolonial. Salah satunya dalam sebuah artikel
berjudul, Fragmenten Eener Reis Over Java
(Fragmen Perjalanan Melintasi Jawa) yang ditulis oleh Dr. P. Bleeker dalam Tijdschrift voor Nederland's Indiƫ jrg 12,
1850 (2e deel), no 8 menyebutkan mengenai rute di jalur selatan wilayah
Kebumen sbb:
Pada tanggal 16 September kami
berangkat dari Poerworedjo ke Banjoemas. Dua jalan besar melintasi bagian
selatan Bagelen (Twee groote wegen doorloopen de zuidelijke helft van Bagelen),
dari timur ke barat. Paling selatan ini
membentang sejajar dan dekat dengan pantai, melintasi Ambal ke Karang-bolong.
Paling utara melewati tengah dataran
aluvial besar karesidenan, mulai dari Poerworedjo, memotong berturut-turut
kabupaten Koetoardjo, Keboemen, Karang-anjar dan sebagian sempit Ambal,
kemudian memasuki Banjoemas dan mencapai Seraijoe di Banjoemas, setelah itu
Goenoeng-Kalongan mengikuti sepanjang jalan terakhir yang kami ikuti, adalah
ibu kota kabupaten Koetoardjo, Keboemen dan Karang-anjar dan benteng yang masih
dalam pembangunan di Gombong atau Gembung (en het nog in aanbouw zijnde fort te
Gombong of Gemboeng)
Dokumen
di atas memberikan gambaran jalur infrastruktur pasca Perang Jawa berakhir
(1830) di mana wilayah Bagelen (Wonosobo, Kutoarjo, Purworejo, Ambal, Kebumen,
Karanganyar) dan Banyumas (Cilacap, Banyumas, Purwokerto, Banjarnegara,
Purbalingga) menjadi wilayah kekuasaan Belanda melalui sebuah pemerintahan
karesidenan dan telah terhubung melalui jalan yang dibuka di jalur utara
(sekarang jalan nasional mulai dari
Purworejo sampai Banyumas) maupun jalur selatan (sepanjang Urut Sewu sampai
Karangbolong).
Purnawa
Basundoro, sejarawan Universitas Airlangga asal Purbalingga dalam artikelnya
berjudul Sisi Terang Kolonialisme dalam
buku Membedah Sejarah dan Budaya Maritim
Merajut Keindonesiaan: Persembahan Untuk Prof. Dr. A.M. Djuliati Suroyo
memberikan keterangan perihal awal pembangunan infrastruktur penghubung
Karesidenan Bagelen dan Karesidenan Banyumas sbb:
Pada 1843 sampai tahun 1845 dibangun
jalan pos (posf weg) dari Banyumas menuju ke Buntu. Jalan tersebut kemudian
diteruskan ke arah timur (Gombong) dan ke arah barat (Rawalo) (2013: 467)
Sejak tahun 1874, jalan dari
Banyumas ke Adireja pun dikembangkan
lagi dengan memperlebar jalur tersebut. Jalan dari Buntu ke Bagelen yang mulai
dibangun pada 1843 juga diperlebar
(2013: 468)
Sekalipun
jalan penghubung antar kabupaten telah berlangsung sejak tahun 1843 hingga 1874
namun bukan berarti jalan penghubung tersebut telah dilakukan pengaspalan.
Berbagai angkutan transportasi yang melewati jalan tersebut meliputi dokar dan
gerobak sapi yang biasanya mengangkut hasil bumi (tebu, kopi) sebelum akhirnya
kendaraan roda empat.
Pengaspalan Awal di Kebumen
Jika
keberadaan jalan penghubung antar karesidenan dan kabupaten sudah berlangsung
sejak tahun 1843 lantas pertanyaan berikutnya, sejak kapan Regentschap (kabupaten) Kebumen mengalami aspalisasi jalan? Informasi
penting diperoleh dari Surat kabar De
Locomotief (19 Juli 1926) yang melaporkan sbb:
Keboemen bisa membanggakan jalan
beraspal (geasfalteerd) tahun ini. Jalan dari stasiun ke pasar baru kira-kira 1
km sudah diaspal. Saat ini orang-orang sedang sibuk menyediakan jalan dari
pasar baru ke aloon-aloon dengan landasan yang baik (goede onderlaag), kemudian
diaspal
Berita
pendek ini memberikan informasi berharga bahwa awal pengaspalan di Kabupaten
Kebumen adalah tahun 1926 itupun hanya terbatas dari arah stasiun (Station weg, sekarang Jl. Pemuda) ke
pasar baru (Pasar Tumenggungan) serta dari arah pasar mencapai alun-alun.
Sekalipun
pengaspalan jalan telah dimulai tahun 1926, tidak serta merta semua jalan yang
melintasi antar kecamatan dan antar kabupaten serentak dilakukan pengaspalan.
Bahkan dari kurun waktu 1926 sampai 1931 proses pengaspalan baru menyentuh
kawasan tertentu.
Dalam
sebuah berita pendek berjudul, Onderhoud
Wegen (Pemeliharaan Jalan) yang dimuat surat kabar De Locomotief
(27 Maret 1930) disebutkan
mengenai tindakan perbaikan jalan yang dilakukan pemerintah daerah di kawasan
Mirit, Ambal serta Alian yang disebutkan sebagai “hampir terlupakan” (vrijwel vergeten) karena banyaknya badan
jalan rusak bertahun-tahun (al jaren).
Kebumen
disebutkan sebagai “tertinggal jauh” (wel
heel ver achter) dibandingkan kabupaten lainnya dalam perbaikan jalan.
Akibatnya banyaknya beban kendaraan berupa bus dan truk yang melintas, surat
kabar tersebut menyarankan, “pengaspalan jalan sebagai satu-satunya solusi” (Het eenige middel zal dan ook asfalteering
zijn)
Dalam
berita lain berjudul Wegverbetering (Perbaikan
Jalan) yang dimuat De Locomotief (3
Desember 1931) menyebutkan pengaspalan (geasfalteerd)
jalan antara Desa Panjer dan Kuwarisan yang semula kondisi jalan begitu buruk.
Surat kabar yang sama melaporkan kepada pembacanya bahwa kondisi jalan dari Kabupaten
Kebumen menuju Kabupaten Karanganyar masih sangat memprihatinkan (een hopeloozen toestand).
Demikianlah selintas kondisi infrastruktur di wilayah Kebumen era kolonial dan awal pengaspalan di tahun 1926. Tentu saja kita berharap infrastruktur di masa kini lebih baik tinimbang di era kolonial, khususnya yang menjadi penghubung wilayah-wilayah vital antar desa, antar kecamatan serta antar kabupaten (Teguh Hindarto, Ketika Lokidang Menjadi Bagian Regentschap Karanganyar - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2022/08/lokidang-ketika-menjadi-bagian.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar