Adalah Haji Aboengamar, seorang
pengusaha genteng di Sokka Kebumen (sebelum tahun 1936 masuk wilayah kabupaten
Karanganyar) yang sangat terkenal produk genting dan batu batanya ke berbagai
pelosok Jawa bahkan luar negeri.
Kisahnya telah saya tuliskan dalam blog
pribadi penulis dan dituangkan menjadi bagian salah satu bab dalam kedua buku
penulis yang masing-masing berjudul, Bukan
Kota Tanpa Masa Lalu: Dinamika Sosial Ekonomi Kebumen Era Arung Binang VII
(2020) dan Wetan Kali Kulon Kali:
Mengenang Kabupaten Karanganyar Hingga Penggabungan dengan Kabupaten Kebumen
1936 (2021). Artikel terbaru terkait genteng Aboengamar saya tuangkan dalam
artikel berjudul, Genting Aboengamar di
Sokka dan Tichelwerken di Keboeloesan - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/07/genting-aboengamar-di-sokka-dan.html
Teka-Teki
Beberapa Foto di Rumah Alm. Haji Aboengamar
Tahun 2019 lalu saat penulis ingin
mengetahui lebih banyak tokoh bernama Aboengamar yang rumah tinggalnya di
Pejagoan, Kebumen. Saat melihat-lihat isi rumah beliau selain terdapat sejumlah
perabotan lama di era kolonial, mata tertuju pada deretan buku tebal-tebal dan
lawas berdebu (dalam bahasa Belanda) serta beberapa album foto hitam putih yang
menarik perhatian.
Foto-foto ini bukan mengenai Aboengamar
melainkan aktifitas seseorang yang di mata penulis pastilah orang ini sangat
penting di zamannya karena di dalamnya orang tersebut terkadang berfoto di
sebuah bangunan uniivesitas, bepergian keluar negeri, bersama pejabat
pemerintahan dll. Tidak ada yang bisa menjelaskan dengan rinci pemilik foto
tersebut karena pada waktu itu rumah tidak dihuni oleh anggota keluarga. Hanya
informasi bahwa beliau adalah putra Haji Aboengamar.
Pada bulan Juli tahun 2021, saat seorang
kawan bernama Ario Sano memperlihatkan sebuah buku dengan judul, Lurus Tulus: Prof. H. Soenardjo 1916-1996
(1997) maka penulis segera mencari buku tersebut di media on line. Syukurlah ternyata masih ada yang menjual. Buku ini
diterbitkan sebagai memoir keluarga untuk memperingati 1 tahun kewafatan beliau
pada tahun 1996.
Setelah melihat foto dan isi buku
tersebut, terjawab sudah apa yang menjadi pertanyaan penulis yang diendapkan 2
tahun silam bahwa pemilik foto-foto hitam putih ini ternyata seorang yang
ternama dan penting di zamannya. Beliau ternyata seorang Menteri Perdagangan di
era pemerintahan Sukarno tepatnya Zaken Kabinet atau Kabinet Karya atau Kabinet
Ahli (1957-1958).
Pada tahun ini juga penulis
berkesempatan bertemu dengan anak keenam almarhum yaitu ibu Endah Sekarsari
yang menempati rumah alm. Aboengamar di Pejagoan. Penulis sempat berbincang dan
mendapat sejumlah keterangan yang menarik mengenai sosok Aboengamar dan Prof.
Soenardjo dari sudut pandang keluarga.
Kisah
dan Karya Prof Soenardjo di Era Orde Lama dan Orde Baru
Apa yang bisa kita ketahui mengenai
sosok Prof. Soenardjo? Beberapa surat kabar berbahasa Belanda memberikan
sejumlah laporan saat Zaken Kabinet
dibentuk pada tahun 1957-1958. Dalam sebuah berita berjudul Wie Zijn de Nieuwe Ministers Geworden? (Siapa
Saja Yang Menjadi Menteri Baru?) yang diterbitkan oleh Het Nieuwsblad voor Sumatra (11 April 1957) memberikan sejumlah
nama dan biografi singkat termasuk di dalamnya nama profil Prof Soenardjo sbb:
Menteri
Perdagangan Prof. Soenardjo lahir pada tanggal 15 Agustus 1916 di Kebumen (Jawa
Tengah). Setelah menyelesaikan studinya di perguruan tinggi perdagangan di
Rotterdam, ia tinggal di Belanda selama beberapa tahun. Dari 5 Mei 1945 hingga
1 Desember 1948, ia bekerja di Nederlandse Overzeese Instituut, Departemen
Riset Geografis Ekonomi di Rotterdam.
Sementara
itu ia bekerja dari 1 Juli 1947 hingga 1 Februari 1948 di sebuah perusahaan
impor dan ekspor di Rotterdam dan dari 1 Februari 1948 hingga 1 September 1948
di lembaga perbankan R. Mees en Zonen.
Ia
kembali ke Indonesia sejak 1 Februari 1949 hingga Desember 1949, sebagai guru
di lembaga pendidikan swasta Drs. A. Bachtiar di Jakarta. Dari Desember 1949
hingga akhir Oktober 1950 ia menjadi pejabat utama yang diangkat oleh bendahara
jenderal. Dari November 1950 hingga akhir Juni 1951 ia bekerja di departemen
perbendaharaan nasional urusan uang.
Pada
tanggal 30 Juni 1951, ia diberhentikan dengan hormat. Ia kemudian menjadi dosen
luar biasa di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Pengangkatannya sebagai
guru besar di universitas itu terjadi pada 1 Oktober 1954. Menteri perdagangan ini
adalah anggota Nahdlatul Ulama (NU)
Namanya muncul kembali di media
berbahasa Belanda dalam sebuah berita berjudul, Catastrofale Ontwikkeling van IndonesiĆ«’s FinanciĆ«n (Perkembangan Bencana
Keuangan Indonesia) yang dimuat surat kabar Het Vaderland (31 Juli 1957).
Pasca kemerdekaan, Indonesia mengalami
sejumlah badai krisis keuangan yang cukup akut. Menteri Keuangan DR. Soetikno
Slamet mengambil sejumlah kebijakan sementara
Prof. Soenardjo selaku Menteri
Perdagangan memperkirakan harga beberapa produk secara bertahap akan kembali
normal, asalkan produksi dinaikkan. Demikian kutipan surat kabar tersebut.
Beberapa bulan kemudian namanya muncul
kembali dalam sebuah berita berjudul, Soenardjo
Over Handel in Indonesische Produkten (Soenardjo, Tentang Perdagangan
Produk Indonesia) di harian Algemeen
Handelsblad (27 November 1957) saat dirinya berada di Jerman Barat untuk
mewakili pemerintahan Indonesia yang menjajagi kemungkinan membangun
perdagangan setelah memutus perdagangan dengan Belanda.
Masa
Kecil dan Pendidikan Serta Kontribusinya Dibidang Pemerintahan
Dalam buku memoir keluarga yang
berjudul, Lurus Tulus: Prof. H.
Soenardjo 1916-1996 (1997) sangat
membantu untuk mengisi keterangan yang kosong dalam biografi singkat yang
dituliskan oleh sejumlah media masa kala itu. Termasuk masa kecil dan proses
pendakian karir sepanjang hidupnya. Dalam tulisan ini kita tidak akan
menuangkan secara panjang lebar kisah kehidupan beliau melainkan secara garis
besarnya saja sebagai sebuah tulisan awal untuk memperkenalkan kembali pada
publik.
Dilahirkan pada tanggal 17 Agustus 1916,
Kamis Wage di desa Pejagoan, Kebumen, Jawa Tengah. Sebagaimana pengakuan beliau
dalam buku memor keluarga bahwa dirinya sebenarnya “Anak keenam dari pasangan
Bapak H. Abu Ngusman dan Ibu Rr. Soedjirin. Konon ceritanya sebelum saya lahir
sudah diminta oleh Bapak H. Abu Ngamar yang tidak lain merupakan paman saya
sendiri, yang tidak mempunyai putrra satu pun” (1997:23)
Adapun latar belakang pengambilan
sebagai anak beliau mengatakan, “Kebetulan hari Kamis Wage adalah juga weton (wiyosan=hari kelahiran) Bapak saya H. Abu Ngusman,menurut
kepercayaan Jawa, weton yang sama antar orang tua dengan anak bila tinggal
serumah berpengaruh kurang baik bagi keduanya. Dengan diserahkannya saya ke
adik kandung bapak, H. Abu Ngamar, maka jadilah saya putera dari pasangan H.
Abu Ngamar dengan Soebingah” (1997:23)
Prof. Soenardjo menghabiskan masa kecil
dan pendidikannya di Kebumen dan Purwokerto. Di Kebumen menempuh jenjang
pendidikan Hollandsch Inlandsche School
(HIS) dan Europeesche Lagere School (ELS).
Keberadaannya di sekolah ELS tentu dikaitkan dengan status sosial ekonomi H.
Aboengamar sebagai pengusaha dan orang terkaya di Kebumen serta memiliki garis
keluarga dengan Bupati Arung Binang VII (1997:24). Di Purwokerto dan Yogya kemudian
melanjutkan studi di Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs (MULO) dan akhirnya studi Algemeene Middelbare School (AMS) di Jakarta.
Tahun 1937 melanjutkan studi ke
perguruan tinggi di Rotterdam dan pada tahun 1938 berkuliah di Nederlands Economische Hoogeschool yang
merupakan almamater Soemitro dan Moh. Hatta. Di Rotterdam aktif dalam
Perhimpunan Indonesia (PI). Sebelum kembali ke tanah air sempat bekerja di Nederlandse Overzeese Instituut dan Import
en Export Onderneming M. Walg
serta sebuah bank bernama R.Mees &
Zoonen
Tahun 1948 kembali ke tanah air dan
mulai bekerja sebagai seorang guru SMA swasta milik Drs. Adam Bachtiar.
Kemudian bekerja sebagai pegawai di Kementrian Keuangan RI di Yogyakarta dengan
jabatan Kepala Urusan Keuangan, Kredit dan Perbankan.
Tahun 1950-1957 mengajar di UGM. Semula
mengajar di Fakultas Hukum, Ekonomi, Sosial Politik Universitas gajah Mada.
Beliau menjadi pendiri Fakultas Ekonomi UGM dan menyandang gelar profesor pada
usia 39 tahun, sekalipun”tanpa pidato pengukuhan dan tanpa prosedur akademik
lainnya” (1997:29). Selain di UGM, Prof Soenardjo mengajar juga di Sekolah
Tinggi Islam (embrio UII) dan duduk sebagai Ketua Badan Perbendaharaan Badan
Wakaf.
Pada tahun 1957-1958 menjadi wakil NU
dan menerima jabatan sebagai Menteri Perdagangan dalam Zaken Kabinet yang
dipimpin Ir. H. Djuanda. Di masa dirinya menjabat justru terjadi kenaikan harga
beberapa kebutuhan pokok seperti beras dan gula.
Nampaknya selama menjabat Menteri
Keuangan beliau merasa kurang nyaman sebagaimana pengakuannya, “Menjadi Menteri
Perdagangan merupakan beban tersendiri bagi saya” (1997:5). Melalui sebuah
surat yang dikirim kepada presiden berisi sebuah tuduhan yang tidak pernah merasa
dilakukan Prof. Soenardjo, akhirnya beliau diberhentikan sebagai Menteri
Perdagangan.
Pada tahun 1958-1961 setelah tidak
menjabat menjadi Menteri Perdagangan, Prof Soenardjo ditugaskan ke Brazil
sebagai Duta Besar. Sepulang dari Brazil menganggur selama dua tahun kemudian
tahun 1963 diminta mengajar di IAIN Syarif Hidayatullah.
Pada 18 Maret 1963 menerima jabatan
sebagai Rektor IAIN. Sayang sekali, sekalipun telah berkontribusi pemikiran dan
pendanaan, pemberhentian dirinya sebagai rektor berjalan yang “tanpa
pendahuluan yang lazim dalam pergantian pimpinan tertinggi di lingkungan
perguruan tinggi” (1997:10). Jabatannya diambil alih begitu saja oleh sebuah
presidium beranggotakan empat orang. Pemberhentian ini terjadi tahun 1969.
Ketika Partai Komunis Indonesia (PKI)
memiliki pengaruh yang kuat di berbagai daerah di Indonesia dan sebelum
terjadinya peristiwa Gerakan 30 September, Prof Soenardjo yang masih menjadi
Rektor IAIN Syarif Hidayatullah pernah menginisiasi sebuah simposium yang
membuat gerah Presiden Sukarno.
Simposium ini berjudul, “Mengamankan
Sila Ketuhanan YME” pada tahun 1965 namun kemudian diundur menjadi tahun 1966.
Sebagaimana pengakuannya, “Secara formal kelembagaan, pernyataan sikap kelompok
IAIN Jakarta menentang PKI termasuk awal pada masa itu” (1997:13). Simposium
ini menghasilkan sebuah resolusi yang ditujukkan kepada presiden agar melarang
berbagai penerbitan yang mengandung unsur atheisme dan klenikisme yang dikarang
oleh sejumlah oknum yang terlibat Gestapu/PKI.
Demikianlah sekelumit kisah Prof.
Soenardjo putra Aboengamar dari Pejagoan, Kebumen yang pernah menjabat sebagai
Menteri Perdagangan (1957-1958) di era pemerintahan Presiden Soekarno. Beliau
wafat pada 1 April 1966. Jazadnya terbaring di rahim bumi Pejagoan bersama
keluarga besarnya. Beberapa ratus meter dari pemakamannya terletak pemakaman
Tionghoa.
Tulisan ini sekedar mengajak kita –
khususnya publik Kebumen – untuk mengenang kembali seorang tokoh yang lahir
dari bumi Pejagoan, Kebumen yang terlupakan namun pernah memiliki kontribusi
yang tidak sedikit dalam dunia pendidikan maupun pemerintahan saat republik ini
belum lama dilahirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar