Raden Said mungkin samar terdengar dan
hanya diketahui beberapa generasi lanjut usia di Kebumen serta lingkaran
keluarga tertentu. Namun figur satu ini menjadi salah satu dari sekian banyak saksi
bagaimana pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang berakhir dan pemerintahan baru
lahir yaitu Republik Indonesia.
Dari Bupati Zaman Hindia Belanda Menjadi Bupati Zaman Indonesia
Selain menjadi saksi perpindahan zaman,
Raden Said juga menjadi bagian dari struktur pemerintahan yang baru terbentuk
di daerah yaitu Kabupaten Kebumen. Beliau tercatat sebagai Bupati Kebumen
pertama di era pasca kemerdekaan 1945.
Dalam buku Gelegar di Bagelen: Perjuangan Resimen XX Kedu Selatan 1945-1949 Dan
Pengabdian Lanjutannya, kita melihat sebuah fragmen peran Raden Said dalam
struktur pemerintahan Republik Indonesia di Kabupaten Kebumen sbb:
“Bupati Kebumen Said Prawirosastro, yang
juga berasal dari Kebumen sungguh-sungguh memperhatiakan terbentuk BKR di
Kebumen. Eks Shodancho Chanafie yang ditunjuk menjabat sebagai Perwira Logistik
BKR Kebumen, menjelaskan bahwa Bupati Kebumen menyerahkan uang Jepang yang
waktu itu masih berlaku sebanyak satu koper (tidak disebutkan jumlahnya) untuk
membiayai BKR di Kebumen” (2003:32). Uang satu koper tentu bukan jumlah yang
kecil dan uang tersebut dipergunakan untuk pembiayaan operasional terbentuknya
Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kelak akan menjadi bagian dari Tentara
Nasional Indonesia (TNI).
Tentu tidak mudah mengambil bagian dari
sebuah struktur pemerintahan baru sementara dirinya telah bertahun-tahun
menjadi bagian dari struktur pemerintahan kolonial. Posisi Raden Said
mengingatkan saya pada posisi Gubernur Jendral Hindia Belanda terakhir sebelum
digantikan oleh imperium Jepang yaitu Tjarda Starkenborgh Stachouwer.
Di era kepemimpinannya, Tjarda seolah
menjadi sebuah medan “badai konflik internasional” di mana seluruh kekuatan
berkontestasi mulai dari kalangan konservatif, etis, liberal, fasis (Christopher
Reinhart, Mempertahankan Imperium:
Gubernur Tjarda Starkenborgh Stachouwer dan Akhir Hindia Belanda, 2021:107).
Sekalipun tidak mengambil posisi yang
sama persis dengan Tjarda namun Raden Said tentu mengalami situasi yang hampir
sama dengan Tjarda sebagai bagian dari birokrasi kolonial di mana beliau
melihat senjakala pemerintahan lama berakhir dan sebuah pemerintahan baru
lahir. Bedanya, Tjarda tidak mengambil bagian dari struktur pemerintahan baru
sementara Raden Said mengambil bagian dari pemerintahan baru pasca kolonial.
Kisah dan Kiprah Serta Pandangan Hidup Raden Said Dalam Pemerintahan
Jika pada awal tulisan ini dikatakan bahwa
Raden Said sebelum menjadi bagian dari struktur pemerintahan republik Indonesia
di daerah adalah bagian dari struktur birokrasi pemerintahan kolonial, jabatan
apakah yang beliau emban selama bertahun-tahun karirnya? Jika kita meneliti
sejumlah laporan berita surat kabar berbahasa Belanda dan berbagai dokumen
almanak pemerintahan Hindia Belanda, kita akan menemukan sejumlah informasi
berharga yang memperlihatkan kisah dan kiprah Raden Said sebagai seorang
pejabat pemerintah daerah.
Jabatan terakhir beliau di era
pemerintahan Hindia Belanda adalah Bupati Magelang (1939-1942). Beliau adalah
bupati Magelang keenam saat ditetapkan pada tanggal 6 November 1939. Bupati
Magelang sebelumnya adalah Raden Tumenggung Danuningrat I, Raden Tumenggung
Danuningrat II, Raden Tumenggung Danuningrat III, Raden Ario Danoekoesoemo,
Raden Adipati Ario Danoesoegondo.
Dalam sebuah berita saat pelantikan
beliau sebagai bupati Magelang yang dimuat surat kabar De Indische Courant (9 November 1939) diperoleh
keterangan sbb: Raden Said dilahirkan di Kebumen dan putra seorang asisten
wedana. Setelah menyelesaikan Europeesche
Lagere School (sekolah dasar Eropa) Said melanjutkan studi di OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren
- Sekolah Pendidikan Pribumi untuk Pegawai Negeri Sipil) sampai tahun 1914. Surat kabar Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië (8 November 1939)
menambahkan keterangan bahwa ayahanda raden Said adalah asisten wedono
Magelang.
Namun jika merujuk pada daftar silsilah
keluarga yang disusun oleh Raden Said bertanggal 3 Februari 1937, saat masih
menjabat sebagai Patih di Tuban, ayahanda Raden Said yang bernama Raden
Prawirosastro adalah Asisten Wedono dari Kretek, Kawedanan Rowokele, Kabupaten
Karanganyar (saat itu Karanganyar masih berstatus kabupaten dan belum
digabungkan dengan Kebumen). Dan jika ditarik terus ke atas, Raden Said masih
keturunan Demang Setjogati, yaitu Demang Sewu di Kartosura yang ditempatkan di
Tanjung, Kebumen. Naskah silsilah ini saya dapatkan dari Bapak Hartono, eks
anggota DPRD Kebumen dari Partai PAN dan masih berkerabat dengan Raden Said.
Setelah melalui jenjang yang berbeda,
pertama di Jawa Tengah dan kemudian di Jawa Timur, ia masuk Bestuursschool (Sekolah Administrasi) di
Batavia pada tahun 1929, di mana ia menyelesaikan studinya pada tahun 1931.
Karir pekerjaannya dimulai sebagai wedono di Jawa Timur, di Sidoardjo dan Pare,
setelah itu diangkat menjadi patih di Tuban, kemudian dipindahkan ke Magetan.
Sebagai patih di Magetan, beliau juga menjadi pejabat bupati di sana selama
satu tahun, hingga mendapatkan penghargaan dari pemerintah Belanda.
Surat kabar ini memberikan keterangan
pendek diakhir berita sbb: “Selama seluruh masa jabatannya. R. Said Prawirosastro
membuat dirinya dikenal sebagai pegawai negeri yang cakap dan rajin, dan tentu
saja jasa-jasa besar inilah yang akhirnya membawa pada keputusan Pemerintah
untuk mempercayakannya pada jabatan tinggi Bupati Magelang”.
Dalam sebuah laporan berita yang cukup
panjang dengan judul, Magelangs Nieuwe
Regent: Heden Door Gouverneur Bertsch Geinstalleerd (Bupati Magelang Baru:
Dilantik Hari Ini Oleh Gubernur Bertsch) yang dimuat De Locomotief (9
September 1939) kita mendapatkan sejumlah informasi cukup menarik yang
menggambarkan kemampuan birokrasi dan pola kepemimpinan Raden Said.
Isi berita ini bukan hanya melaporkan
suasana pelantikan Raden Said yang meriah di pendopo kabupaten Magelang dimana
terjadi pertemuan kebudayaan yang disatukan dalam musik tradisional berupa
gamelan Jawa dengan irama monggang dan lagu kebangsaan Belanda yaitu Wilhelmus.
Di dalamnya kita bisa membaca isi pidato Gubernur Jawa Tengah, Residen Kedu,
Asisten Residen Kedu serta pidato Raden Said menjawab sambutan-sambutan
sebelumnya.
Diantara sambutan dan tanggapan Bupati
Magelang, Raden Said yang ditujukan kepada Gubernur Jawa Tengah dan Residen
setelah dilantik, ada beberapa pernyataan yang dapat menggambarkan prinsip
kepemimpinan dan manajemen pengelolaan wilayah yang dipercayakan kepadanya.
Pernyataan ini disampaikan sebagai sebuah janji (beloofte) semasa menjabat. Berikut kutipan pernyataannya:
Saya
akan memastikan bahwa pejabat bawahan saya mengambil posisi yang tepat dan
bahwa mereka juga berusaha untuk kerjasama yang bermanfaat dengan penghapusan
kecemburuan kekanak-kanakan. Tugas rangkap ketua Regentschapraad dan Dewan
Komisaris juga akan saya laksanakan dengan sepengetahuan dan kekuatan saya.
Tidak
diragukan lagi, Tuan Gubernur, bahwa banyak, mungkin sangat banyak kesulitan
yang menunggu saya, tetapi kesulitan ada untuk diatasi, bukan untuk dihindari
(maar de moeilijkheden zijn er om overwonnen te worden, niet om ze uit den weg
te gaan)
Dalam
menerapkan kekuasaan yang diberikan kepada saya, saya akan mencoba, dengan
pertimbangan dan kebijakan yang tenang, untuk mempertimbangkan berbagai
kepentingan yang terkadang bertentangan satu sama lain dan, jika mungkin,
menyatukannya.
Bagaimanapun
moral Jawa (de Javaansche zedeleer) mengatur agar dalam pemerintahan dan
pemerintahan selalu memperhatikan dan memperjuangkan cita-cita: gemah ripah,
toto, tentrem dan kerto rahardjo, sedangkan untuk pelaksanaan yang benar harus
memperhatikan resep: empan papan, duga duga lawan prajoga, ngoembar wahjaning
mongso kala
Menarik membaca prinsip kerja Raden Said
dalam mengatasi sejumlah masalah yaitu, tetapi
kesulitan ada untuk diatasi, bukan untuk dihindari (maar de moeilijkheden zijn
er om overwonnen te worden, niet om ze uit den weg te gaan). Kalimat ini
bukan hanya mencerminkan pengalaman seseorang yang sudah matang ditempa
persoalan namun juga sebuah mentalitas petarung dan pekerja yang bertekad
mengatasi persoalan sampai tuntas dan
tidak mudah menyerah serta mencari jalan pintas.
Raden Said sebagai seorang yang
dilahirkan dari keturunan priyayi Jawa tentu mewarisi sejumlah nilai dan norma
serta moralitas Jawa yang telah diterimanya bukan di sekolah formal melainkan
dalam pendidikan keluarga. Tanpa kerendahan diri, beliau menerjemahkan
moralitas Jawa yang terkandung dalam sejumlah ungkapan khas dalam bidang
pemerintahan dan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya untuk kepentingan
rakyat yang dipimpinnya.
Prinsip-prinsip kepemimpinan tersebut
masih bergema dalam kesadaran keturunan beliau. Ketika saya menemui salah satu cucu
beliau yang bernama Bapak Tony (putra Bapak Noer Ari. Bapak Noer Ari putra ke-6
Raden Said) beliaupun pernah mendapatkan nasihat yang masih diingat dari kakeknya
tersebut bahwa, “Nek dadi pejabat kudu wani mlarat lan aja nganti kalungan kala”.
Inti pesan ini adalah menjadi pejabat publik bukan untuk mencari kekayaan
pribadi semata dan jangan sampai terjerat masalah yang diakibatkan tindakan
yang tidak hati-hati.
Hari Tua dan Kewafatan
Demikianlah kisah dan kiprah Raden Said
semasa masih menjadi bagian dari struktur pemerintahan Hindia Belanda dan
akhirnya menjadi bagian dari struktur pemerintahan pasca kolonial di kabupaten
Kebumen, Jawa Tengah, Indonesia. Beliau menghabiskan masa tuanya di Purwokerto
setelah menjabat sebagai bupati pertama di Kebumen dari tahun 1945-1947. Pada
tahun 1973 beliau menghadap Sang Khalik pada usia 84 tahun.
Raden Said dikebumikan di pemakaman
Nyimban di Karangasem, Karangsari, Kebumen. Di pusaranya tertulis angka
kelahirannya yaitu 3 Februari 1896 dan wafat pada 25 januari 1973 di
Purwokerto. Di sebelah utara pemakaman yang dipisahkan oleh sebuah jalan kecil
yang membujur arah barat dan timur ini, terbaring juga leluhur Raden Said yaitu
Demang Setjogati. Pusaranya terlihat kuno dan dipenuhi dengan unur atau rumah semut.
Selain makam trah Kolopaking (masa
pemerintahan Panjer sebelum Kebumen) dan makam trah Aroengbinang (masa
pemerintahan Kebumen pasca Perang Jawa), makam Raden Said sebagai bupati
Kebumen pertama pasca kemerdekaan selayaknya menjadi tempat yang dikunjungi dan
diperingati oleh para pejabat pemerintahan baik di saat Hari Kemerdekaan maupun
Hari Jadi Kabupaten.
Kiranya semangat pengabdian dan
pelayanan masyarakat yang dimiliki Raden Said memberikan inspirasi dan
keteladanan bagi kita semua, terkhusus para pemangku kepentingan politik dan
pemerintahan.
Artikel ini pernah dimuat di Qureta.com
(2022)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar