Sumber gambar: Wikipedia.com
Sebuah peristiwa mengerikan terjadi pada
tanggal 21-23 Februari 1861 di Jawa – 161 tahun silam – ketika masih di bawah
kekuasaan Hindia Belanda. Peristiwa mengerikan itu adalah banjir besar yang
melanda sebagian besar wilayah Jawa khususnya Jawa Tengah. Tidak terkecuali
Kabupaten Kebumen yang ketika peristiwa itu terjadi masih berada di bawah
Karesidenan Bagelen.
Anehnya,
peristiwa banjir besar ini tidak terekam dalam memori kolektif masyarakat, baik
berupa monumen, plakat, tulisan babad atau tradisi lisan setempat. Berbeda
dengan di kabupaten Banyumas yang mengenang masa menakutkan itu dengan sebutan Blabur Banyumas dan sejumlah prasasti.
Berdasarkan
ketiadaan memori kolektif masyarakat ataupun penanda peringatan berupa monumen
dsj, maka penulis akan melakukan pelacakan dokumen-dokumen era kolonial
khususnya berita-berita di surat kabar untuk mendapatkan gambaran yang cukup mewakili
dan merepresentasikan mengenai besaran dan dampak kerusakan mengerikan yang
ditimbulkan dari peristiwa banjir besar tahun 1861 tersebut.
Sebuah berita berjudul, Watersnod op Java dua bulan pasca banjir
yang diterbitkan oleh surat kabar De ‘s Gravenhaagsche Nieuwsbode (17
April 1861) memberikan deskripsi sbb:
Sebuah
bencana besar (Een groote ramp) telah melanda sebagian besar pulau Jawa yang
indah, milik utama kita di Hindia Belanda...
Hujan
tiba-tiba (Plotselinge regens) di belahan bumi utara sangat deras, yang dalam
beberapa jam mengangkat sungai dan mengalir deras setinggi sepuluh kaki, tetapi
kemudian dengan kekerasan yang tak tertahankan menyapu dan menghancurkan
segalanya, baru-baru ini telah merusak beberapa provinsi di pulau Jawa
sedemikian rupa...
Puluhan
ribu penduduk pribumi telah kehilangan harta benda....sementara kerugian besar
nyawa manusia, menurut kabar terakhir, bahkan belum dapat dipastikan
Dari laporan tersebut hujan yang sangat
deras menjadi penyebab banjir yang meluluh lantakkan sebagian besar wilayah di Jawa. Wilayah Jawa
manakah yang dimaksudkan dalam berita tersebut?
Jika membaca artikel berjudul Overstrooming op Java yang ditulis surat
kabar Nieuwe Rotterdamsche Courant
(28 April 1861) disebutkan wilayah terdampak banjir di Jawa Tengah adalah
Karesidenan Bagelen meliputi kabupaten Ledok/Wonosobo, Purworejo, Kutoarjo,
Ambal, Kebumen, Karanganyar. Karesidenan Kedu yang meliputi Temanggung dan
Magelang di kawasan yang tinggi terdampak pula. Bahkan di Karesidenan Banyumas yang
meliputi Banyumas, Purwokerto, Cilacap, Banjarnegara, Purbalingga.
Selain itu wilayah kasunanan Surakarta
dan wilayah Kasultanan Yogyakarta turut terdampak hebat. Beberapa wilayah Jawa
Timur seperti Surabaya dan Pacitan dilaporkan terkena banjir hebat. Demikian
pula di Jawa Barat yaitu Krawang.
Dalam laporan surat kabar di atas
ternyata beberapa wilayah di luar Jawa seperti Sumatra, Bengkulu, Riau, Nias mengalami
peristiwa mengerikan pada tanggal 16-17 Februari 1861 yaitu berupa gempa bumi
yang merusak bangunan dan sejumlah infrastruktur lainnya.
Deskripsi
Banjir Besar di Karesidenan Bagelen 1861
Pasca Perang Jawa berakhir (1830)
wilayah Mancanegara Kilen Kasunanan dan Kasultanan jatuh ke tangan pemerintah
Hindia Belanda sebagai ganti pembiayaan memadamkan Perang Jawa dan dijadikan
wilayah karesidenan. Untuk wilayah Bagelen dan Kedu dijadikan Karesidenan
Bagelen dan Karesidenan Kedu.
Sejauh mana banjir besar telah
menghancurkan wilayah Karesidenan Bagelen dan Kedu? Kita akan melihat deskripsi
dan kronologi peristiwa mengerikan ini dengan merujuk laporan dari surat kabar
Java Bode (6 April 1861) mengenai banjir di wilayah Bagelen.
Dilaporkan bahwa sejak tanggal 25
Desember 1861 yang biasanya cuaca berhujan justru dilaporkan situasinya
mengalami kekeringan hebat dan panas yang luar biasa (jaargetijde buitengewone
droogte en hitte). Situasi ini menimbulkan rekahan-rekahan tanah menganga di
sejumlah tempat termasuk di perbukitan yang sangat berbahaya jika hujan deras
turun secara tiba-tiba.
Kekeringan ini berlangsung hingga akhir
Januari dan pada tanggal 19 Februari dilaporkan angin kencang mulai bertiup
dari arah Barat Daya. Pada sore hari tanggal 20 Februari, hembusan angin yang
awalnya terputus-putus berubah menjadi badai yang ganas, disertai dengan hujan
lebat yang semakin meningkat intensitasnya selama 24 jam, membentuk lingkaran
besar, yang titik pusatnya terbentuk kira-kira di Kabupaten Kutoarjo.
Dijelaskan dalam surat kabar tersebut
bahwa di Kabupaten Ambal, Kebumen, Ledok/Wonosobo, dan Purworejo pohon
beringin, kanari, asam, dan jati terbesar ratusan tumbang dan tumbang oleh
kekuatan badai, bahkan ranting tipis semak bambu pun tidak mampu berdiri akibat
menahan hembusan angin yang kencang.
Puncaknya pada tanggal 21-22 Februari
1861, hujan deras terus menerus turun tanpa henti. Pada malam tanggal 22 hingga
23 Februari semua sungai, terutama yang berhulu di dataran tinggi Ledok, mulai
meluap. Peluapan itu begitu tiba-tiba sehingga dalam waktu kurang dari satu jam
ratusan dessa dan ribuan hektar tanah terendam banjir, dan banyak keluarga yang
sedang tidur nyenyak meninggal dalam gelombang.
Di Kabupaten Purworejo air sungai
Bogowonto meluap dan dan luapaan airnya yang menyebabkan kerusakan terbesar di
sana. Air sungai yang disebut sebelumnya di atas, naik ke ketinggian yang belum
pernah terjadi dan membanjiri serangkaian desa makmur, yang membentang
sepanjang dua puluh paal di kedua tepiannya hingga bermuara ke laut.
Pada malam tanggal 22 Februari,
ketinggiannya mencapai 25 kaki di atas ketinggian air (1 kaki=0,3048 x 25=7,62
m). Arus yang mengamuk menyapu ke mana-mana di mana sebuah tikungan memotong
jalannya, menyapu seluruh negeri, menyeret orang, ternak, rumah, dan pohon, bahkan
pohon kelapa di jalurnya.
Jembatan Bogowonto akhirnya runtuh dan
ayu-kayunya hanyut serta ditambah dengan ribuan batang pohon yang tumbang oleh
aliran sungai atau terbawa oleh tanah, dilemparkan dengan kekuatan penghancur
melintasi desa.
Sungai Jali dan Tepus di Kutoarjo
meluap. Balok kayu banyak yang terbawa sampai ke jalan termasuk ke depan rumah
kontrolir di jalan Kenari. Mayat seorang pribumi berjubah imam ditemukan di
dalam sumur di pekarangan rumah sang kontrolir, yang kemudian dikenali sebagai
haji, 8 paal dari desa Loning.
Deskripsi
Banjir Besar di Karesidenan Banyumas 1861
Sebagaimana Bagelen dan Kedu yang
dijadikan karesidenan pasca Perang Jawa berakhir (1831) demikian pula Banyumas. Karesidenan Banyumas meliputi Kabupaten
Banyumas, Cilacap, Purwokerto, Banjarnegara, Purbalingga.
Menurut laporan Javaasche Courant 2 sampai 6 Maret yang diringkaskan oleh Nieuwe Rotterdamsche Courant (28 April
1861) disebutkan pada malam 22-23 Februari, sungai Serayu sangat meluap
sehingga air berada dalam jarak tiga puluh kaki dari jalan utama.
Air pasang datang begitu tiba-tiba
sehingga penduduk harus mengungsi di atap dan di pepohonan. Beberapa penduduk
Eropa telah menghabiskan 36 jam di atap. Mereka bahkan tidak bisa menyelamatkan
pakaian mereka. Pada tanggal 25 Februari air sudah surut jauh. Rute besar ke
pusat kota telah dibersihkan dari air. Hanya lapisan lumpur yang tersisa.
Memori
Kolektif Masyarakat Banyumas Terhadap Banjir Besar 1861
Menariknya, di wilayah kabupaten Banyumas
hingga kini peristiwa banjir besar 1861 masih tersimpan dalam memori kolektif
masyarakat. Memori kolektif tersebut tersimpan dalam sejumlah plakat penanda di
sebuah bangunan, babad, legenda, buku harian, buku reportase.
Terdapat sebuah plakat yang ditempelkan di komplek Pondok Pesantren
GUPPI Banyumas (eks kompleks gedung karesidenan Banyumas) pada tembok bagian
selatan gedung, persis di pintu masuk komplek dengan menggunakan bahasa Belanda
yang berbunyi, Overstrooming te Banjoemas
den 21 tot 23 Februari 1861.
Sejumlah naskah Babad Banyumas menyinggung perihal Blabur Banyumas yang merujuk peristiwa banjir bandang yang meluluhlantakkan Banyumas. Sebuah sasmita yang pernah diucapkan orang-orang tua sebelum peristiwa banjir bandang adalah ungkapan, Besuk bakal ana betik mangan manggar (besok akan ada ikan rawa memakan bunga pohon kelapa).Bagaimana mungkin ikan makan manggar di ketinggian? Itu bisa terjadi karena air bah mencapai pohon kelapa (Ratmini Soedjatmoko Gandasubrata, Sebuah Pendopo di Lembah Serayu: Kisah Keluarga Bupati Banyumas Jaka Kahiman Hingga Gandasubrata, 2009:43)
Kekeramatan pendopo Si Panji dihubungkan
dengan sebuah legenda perihal keajaiban yang terjadi saat peristiwa banjir
besar 1861 di Banyumas. Bupati Banyumas era kolonial R.A.A. Sudjiman
Mertadiredja Gandasubrata menuliskan dalam memoirnya yang berjudul, Kenangan-Kenangan 1933-1950 Bagian I.
Katanja
pada waktu air bah membubung tinggi pendopo Si Pandji terlepas dari pondamenja
sehingga orang-orang jang berada di atasnja seakan-akan terapung-apung di atas
air. Kemudian sa’at air bah mulai surut, pendopo itu kembali ke tempat asalnja.
Karena kegaiban ini maka selandjutnya pendopo Si Pandji dipandang sakti oleh
rakjat Banjumas (1952:27)
William Barrington d' Almeida dalam
bukunya, Life in Java: With Sketches of
The Javanese Vol II menuliskan perjalanannya ke Banyumas dan berjumpa
dengan Bupati Banyumas Tjakranegara (jika Barrington berkunjung ke Banyumas
tahun 1861 berarti Bupati Banyumas yang memerintah tahun 1832-1864 adalah Raden
Adipati Tjakranegara 1).
Dalam bukunya Barrington menuliskan sbb:
Kami
diberitahu olehnya bahwa Banjoemas baru-baru ini menjadi tempat genangan yang
menakutkan, karena sungai Serayu meluap, meskipun tingginya empat puluh kaki.
Penduduk cukup terkejut, air naik begitu cepat di banyak tempat sehingga mereka
harus berenang ke atap rumah, pohon, dll dan di sana menunggu untuk dijemput
oleh tetangga yang lebih beruntung yang berhasil mendapatkan perahu.
Tiga
ratus nyawa hilang, selain sedikit ternak dan barang dari berbagai macam.
Beberapa orang Eropa, di antaranya adalah residendan istrinya, terpaksa mencari
tempat persembunyian yang aman di lantai atas rumah mereka, di mana selama
beberapa hari mereka hidup dari sedikit makanan yang mereka sita dalam
pengungsian tergesa mereka ke atap (1864:236-237)
Wilayah
Kebumen Yang Terdampak Banjir Besar 1861
Kabupaten Kebumen yang berada di wilayah
Karesidenan Bagelen mengalami sejumlah dampak banjir yang mematikan. Beberapa
wilayah yang tercatat dalam surat kabar Java
Bode (6 April 1861) adalah di Jlegi,
bendung Bedegolan, Kutowinangun, Ambal.
Seluruh wilayah Prembun, sebagian besar
Kedungtawon (Kutowinangun) dalam beberapa saat terendam banjir. Seperti halnya
Bogowonto, arus deras yang memotong lekukan di sepanjang tepian sungai,
mengalir deras melalui desa dan ladang 148 dessa menunjukkan pemandangan
kehancuran yang mengerikan setelah air surut.
Di mana arus deras tidak membawa
rumah-rumah, maka sejumlah rumah
tergeletak runtuh dan berserakan di tanah. Di dessa Kedoeg-soemoer, Ketjeme,
Babat dan Tersobo, bahkan pohon kelapa pun tak luput. Di Djlegi, dari 151 jiwa,
hanya 44 yang masih hidup. Semua yang lain binasa dalam gelombang.
Di Kabupaten Ambal, kerusakan di desa
relatif kecil. Namun rawa-rawa besar di sana, meluap jauh melampaui tepiannya,
sehingga airnya menembus ke jalur desa Urut
Sewu dan penduduk harus mengungsi ke tempat bukit pasir yang lebih
tinggi.
Jika dalam laporan surat kabar Java Bode (6 April 1861) disebutkan di
Ambal tidak ada korban barangkali karena belum teridentifikasi dengan baik.
Sementara dalam surat kabar Javaasche
Courant 2 dan 6 Maret 1861 yang dikutip Nieuwe Rotterdamsche Courant (28 April 1861) disebutkan bahwa
orang-orang Ambal telah melarikan diri ke bukit-bukit pasir.
Lebih dari 700 orang telah tewas. Sejak
26 Februari, situasinya membaik. Kabel telegraf telah digali hingga ke
perbatasan Kedu. Sungai-sungai mulai surut pada tanggal itu.
Sementara debit air di Bendung Bedegolan
mencapai ketinggian lebih dari 40 kaki (12,92 m) dan meluap mencapai desa Jlegi
dan menghancurkan areal pesawahan dan rumah warga desa (Band. Teguh Hindarto, Bendung Bedegolan: Saksi Bisu Penataan
Irigasi Era Kolonial - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2022/01/bendung-bedegolan-saksi-bisu-penataan.html)
Apa yang dituliskan ini sebatas apa yang
dilaporkan oleh media surat kabar pada tahun tersebut dan tahun-tahun
selanjutnya. Bisa jadi kerusakan parah terjadi di sejumlah tempat lain di
Kebumen yang tidak dituliskan atau belum ditemukan datanya dalam penulisan
artikel ini.
Surat kabar Java Bode (6 April 1861) sampai mengulangi dua kali pernyataan
bahwa banjir besar ini belum pernah terjadi sebelumnya. Dituliskan: Belum pernah bencana seperti ini menimpa
karesidenan (Nimmer had eene ramp als deze de residentie getroffen)...Namun,
banjir, seperti itu pada malam tanggal 22 dan hari-hari berikutnya, adalah
peristiwa yang tidak dikenal dalam sejarah.
Peristiwa
Banjir Kebumen Pasca 1861
Pasca banjir besar di tahun 1861,
Kebumen mengalami sejumlah banjir yang terdokumentasi dalam surat kabar era
kolonial. Meskipun kedahsyatannya tidak seperti tahun 1861 namun tetap memakan
sejumlah korban yang tidak sedikit dan kerusakan yang cukup parah.
Sebuah penggalan berita dengan judul, Ban'djirs en Aardschuivingen in Kedoe (Banjir
dan Tanah Longsor di Kedu) yang dimuat koran Soerabaiasch Handelsblaad (2 Desember 1904) melaporkan demikian:
“Setelah
mengalami banjir di afdeeling Keboemen, Residen Kedoe menginformasikan tentang
kerusakan yang disebabkan oleh bandjir dan endapan lumpur dan jalan serta
jembatan, berikut ini:
Di
distrik Alian dengan total 4 desa, hamparan seluas 5065 persegi R. R sawah
ditimbun oleh longsoran tanah, sementara jalan umum Sadang - Alian rusak parah
di berbagai tempat, terutama di antara pos 13 dan 16.
Beberapa tahun kemudian yaitu tahun 1928
dilaporkan peristiwa banjir parah di Kebumen oleh harian De Indsiche Courant (14 Desember 1928) sbb:
“A.I.D
melaporkan dari Keboemen bahwa hujan lebat yang terus-menerus menyebabkan
(sungai) Loekolo meluap dan membanjiri bagian barat kota hingga ketinggian 2
meter. Banyak rumah yang runtuh dan terseret, termasuk sejumlah perabotan.
Banyak ternak kecil hilang dan 2000 balok pasar desa terhanyut.
Kerusakan
juga terjadi di Kotawinangoen dan Premboen. Sejumlah jalan desa telah terendam.
Ratusan areal persawahan telah tergenang air Jembatan, pipa, dan pekerjaan desa
lainnya mengalami kehancuran
Dilaporkan
pula dari Alian bahwa sebanyak 6 orang terkejut dan diseret saat sedang tidur
pulas. 3 dari mereka sudah ditemukan. Mayat mereka ditemukan di perbatasan
antara Alian dan Keboemen. Adapun Kehilangan ternak sangat besar”
Satu tahun berikutnya yaitu 1929 sebuah
berita pendek berjudul, Overstroomingen (banjir)
yang dimuat De Locomotief (3 Januari
1929) melaporkan sejumlah kerusakan akibat banjir di Kebumen yaitu:
Di
Kabupaten Kebumen, 697 bahu pekarangan, 60 bahu tegalan, dan 2.117 bahu sawah
terendam banjir. Di kawedanan Alian: 354 bahu pekarangan, 46 bahu tegalan dan
864 bahu sawah; di Kutowinangun 322 bahu pekarangan, 333 gedung tegalan, 1.223 bahu
sawah. Di kawedanan Prembun, 331 bahu pekarangan, 400 bahu sawah. Dari jumlah
tersebut, sejumlah tanaman mengalami kehancuran.
Sejumlah
kehilangan harta benda al., di Kebumen berupa 8 kambing, 130 ayam; di Alian 56
kambing dan 492 ayam; di Kutowinangun 3 kambing, 149 ayam dan 4737 ikan gurami;
di Prembun hanya 101 ayam. Sejumlah rumah roboh di Kebumen 20, di Alian 46, di
Prembun 27 di Kutowinangun 19.
Kerugian
ditaksir untuk Kebumen sebesar f 5135.20, Alian f 10.997.42. Prembun f 4807,
dan Kutowinangun f 8547.50
Dan akhirnya pada tahun 1937 sebuah
berita berjudul, Bandjir Eischt Drie
Menschenlevens (Banjir Memakan Korban Tiga Orang) yang dilaporkan oleh
harian Het Nieuws Van Den Daag Voor NederlandscH Indie (1 Desember 1937) melaporkan sbb:
Pada
Kamis malam, badai ganas terjadi di atas Keboemen dan daerah sekitarnya,
disertai dengan hembusan angin dan hujan yang kuat. Api menyambar dari langit
(kilat) selama satu jam, dan petir membuat rumah berdebam. Beberapa rumah roboh
dalam kegelapan.
Di
kecamatan Alian (Krakal), 15 km dari Keboemen, kali Wonokromo dan kali
Kedongbener mengalami banjir disebabkan
curah hujan yang sangat tinggi. Banjir membawa sejumlah material
sehingga menyebabkan kerusakan serta membunuh seorang pria dan dua anak.
Sepuluh
rumah di pedalaman diseret dengan perabotan serta isinya, demikian pula dengan
lumbung yang diisi padi dari lurah Wonokromo. Rumah bagian belakang lurah juga
mengalami rusak parah, sementara itu dek jembatan desa sepanjang 30 m dekat
Wonokroma lenyap ke dalam genangan air. Sekitar 20 areal perkebunan jagung dan
tembakau rusak parah serta dianggap
hilang. Kerusakan material diperkirakan mencapai 1.200 florin
Dari lintasan peristiwa banjir besar
1861 yang pernah terjadi di karesidenan Bagelen dan Banyumas terkhusus
kabupaten Kebumen serta peristiwa banjir di tahun – tahun berikutnya di era
kolonial bukan untuk membuat menyerah dan pasrah serta menganggap sebagai
takdir yang tidak bisa dihindari.
Sebaliknya, catatan historis perihal
sejumlah peristiwa banjir membuat kita berwaspada jangan sampai betik mangan manggar (ikan rawa makan
bunga pohon kelapa) akibat banjir besar terjadi kembali dengan melakukan
sejumlah antisipasi dan peningkatan teknologi dan sistem drainase untuk
mengatasi kepungan banjir.
Artikel ini pernah dimuat di Qureta.com
(2022)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar