Mengapa judul artikel ini “Mencari Dr. Goelarso Astrokoesoemo?” Bermula dari sebuah kegelisahan saat membaca sejarah RSUD Dr. Soedirman Kebumen yang memberikan keterangan sbb: “Namun kondisi ini sudah tidak strategis lagi dimasa sekarang, dan efektif sejak 1 maret 2015 Operasional RSUD Kebumen pindah secara keseluruhan ke gedung baru yang beralamat di Jalan Lingkar Selatan Desa Muktisari Kecamatan Kebumen.
Bersamaan
dengan kepindahan tersebut, RSUD Kabupaten Kebumen resmi mempergunakan nama
RSUD dr. Soedirman Kebumen, dengan ditetapkannya Peraturan Bupati Nomor 18
Tahun tahun 2014 tentang Pola Tata
Kelola pada RSUD dr. Soedirman Kebumen. Dr. Soedirman adalah direktur ke-2
setelah dr. Goelarso. Dikarenakan tidak dapat dilacaknya ahli waris dr.
Goelarso maka dipilihlah nama dr. Soedirman yang memenuhi persyaratan perijinan
ahli waris” (https://rsuddrsoedirman.kebumenkab.go.id/index.php/web/post/53/sejarah-rumah-sakit-umum-daerah--dr.-soedirman).
Penamaan rumah sakit daerah yang baru
setelah meninggalkan lokasi gedung lama pada tahun 2014 menjadi RSUD Dr.
Soedirman (RSUD lama sebelumnya bernama Zending
Ziekenhuis Pandjoeroeng - https://www.youtube.com/watch?v=VBhzIoQtMoE)
dikarenakan nama yang semula hendak diajukan yaitu Dr. Goelarso tidak berhasil
ditemukan ahli warisnya.
Kekosongan kisah mengenai siapa Dr.
Goelarso dan ketidakberhasilan menemukan ahli waris mendorong penulis untuk
meluangkan waktu melakukan pelacakan berbagai dokumen di era kolonial. Hampir
tidak buku yang dapat memberikan petunjuk mengenai siapa sosok bernama Dr.
Goelarso. Penyelidikan penulis sampai pada dua buah buku penting dan langka berjudul Orang Indonesia Jang Terkemoeka di Djawa (Gunseikanbu,
1944) dan Gedenkboek Jong Java 1915-1930
(Pedoman Besar Jong Java, 1930). Meskipun tidak ada catatan mendalam mengenai
Dr. Goelarso Astrokoesoemo namun sejumlah keterangan pendek yang dituliskan
cukup memberikan informasi berharga mengenai siapa dan bagaimana Dr. Goelarso.
Selain keberadaan dua buku langka di
atas, sejumlah surat kabar berbahasa Belanda yang menuliskan berita seputar
kegiatan Dr. Goelarso di kurun waktu 1935-an menjadi data berharga untuk
melengkapi dan merekonstruksi sosok bernama Dr. Goelarso Astrokoesoemo
Dokter
di Rumah Sakit Nirmolo, Karanganyar dan Rumah Sakit Pandjoeroeng, Kebumen
Siapakah dr Goelarso? Dalam buku yang
diterbitkan di era Jepang dengan judul Orang Indonesia Jang Terkemoeka di Djawa (Gunseikanbu
1944:305) diperoleh keterangan penting mengenai aktifitas dr Goelarso sbb: Nama
lengkapnya Goelarso Astrohadikoesoemo. Lahir di Pati pada tahun 2564 (1904).
Mengenyam pendidikan di Hollandsch-Inlandsche
School (HIS) pada tahun 2578 (1918) dan Middelbare
Landbouw School (MLS), serta STOVIA (Indlandsch
Arts pada tahun 2589 (1929).
Pernah bekerja di Centraal Burgerlijke Ziekenhuis (CBZ), Jakarta kemudian pindah ke
CBZ Semarang. Pada tahun 2590 (1930)
ditugaskan di Wonosobo dan Kroya. Bertugas di Bulungan dan Tanjung Selor,
Kalimantan Utara pada tahun 2590-2595 (1930-1935). Pada tahun 2595-2597
(1935-1937) menjadi dokter bagian Medisch
Hygienische Propaganda di Karanganjar kemudian pada tahun 2597-2598
(1937-1938) menjadi dokter di Kebumen. Kemudian pada tanggal 1 Desember 2602
(1942) menjadi wakil kepala Rumah Sakit Kebumen.
Pernah duduk dalam keanggotaan Adviescommisie Inheemsche Geneeskracbtige
Kruiden. Sejumlah karya ilmiah yang pernah dipublikasikan al., Larven en Muskietenvangsten ini Onderafdeelingen. Boeloengan (2594/1934).
Organisasi yang pernah diikutinya adalah Jong
Java dan menjabat sebagai ketua.
Nama dr Goelarso beberapa kali terlacak
dalam dalam surat kabar berbahasa Belanda antara tahun 1935-1938. Sebuah
kemeriahan pembentukan ASIB (Algemeen Steundfonds voor Inhemsche
Behoftigen - Dana Sokongan Umum Untuk Penduduk Pribumi Miskin) di
Karanganyar ditandai salah satunya dengan berbagai kegiatan perlombaan.
Pembukaan dirayakan dengan meriah dengan
dibukanya berupa pasar malam selama 8
hari di alun-alun dan sejumlah perlombaan selama beberapa hari al., sepak bola,
panahan, tenis meja, bahkan balapan sepeda. Sebuah pawai berjalan dari
Karanganyar menuju Gombong (15 km) dengan melibatkan pemuda pribumi dan
sejumlah siswa sekolah baik sekolah desa, sekolah Hollandsh Inlandsch School ataupun Europesche School.
Di antara lomba
yang menarik dilaporkan adalah balapan sepeda (wielerwedstrijd). Ada 13 pembalap yang berasal dari beberapa kota
al., dari Yogyakarta, Semarang dan Banyumas, dengan beberapa nama peserta
Indardjo, Djajadi, Moedjono, Worner dan Verscheuren.
Meski turun
hujan, Bupati melepas balapan sepeda pada pukul 07.15 dan ambulan dari rumah
sakit Nirmolo mendampingi peserta. Dr Goelarso nampak mendampingi Bupati
Karanganyar bersama mobil panitia saat perlombaan sepeda berjalan (Teguh
Hindarto, Kemeriahan di Alun-Alun
Karanganyar dan Perlombaan Balapan Sepeda Tahun 1935 - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/01/perlombaan-balapan-sepeda-di.html)
Nama dr. Goelarso kembali muncul dalam
sebuah bertita berjudul, Voor de
Kankerbestrijding yang dimuat oleh
surat kabar De Locomotief (29
November 1938) berikut ini, “Minggu malam ini pukul 8 di ruang rapat kantor
kabupaten (Kebumen), dokter Goelarso akan memberikan kuliah tentang kehidupan
dan pekerjaan pasangan Curie dan Johann Röntgen”
Dalam sebuah berita mengenai penayangan
film propaganda kesehatan bagi masyarakat Kebumen, nama dr. Goelarso kembali
muncul. Saat itu jabatannya adalah Dienst
der Medisch Hygiënische (Dinas Propaganda Kebersihan Medis) di Kebumen dan
bersama Bupati Kebumen berhasil menayangkan film propaganda kesehatan dari
N.I.O.G yang dipimpin Volkstedt dan Brouwer sebagaimana dilaporkan De
Locomotief (16 Maret 1938).
Bisa jadi, dr. Goelarso kemudian pindah
dan ditempat di rumah sakit Kebumen sekitar tahun 1938 yang pada masa itu masih
di bawah pengelolaan Zending (Badan Pekabaran Injil) dengan nama Zending
Ziekenhuis/Hospitaal “Pandjoeroeng”.
Ketua
Jong Java Tahun 1927
Dalam daftar riwayat organisasi yang
dikeluarkan Gunzeikanbu (1944) disebutkan bahwa dr Goelarso pernah menjadi
Ketua Jong Java 1927 sebelum bertugas
sebagai dokter. Apa dan bagaimanakah organisasi Jong Java? Koentjoro
Poerbopranoto Ketua Jong Java terakhir
(1929) menjelaskan secara ringkas sejarah dan maksud tujuan pendirian Jong Java
dalam sebuah artikel berjudul, Korban
Jong Java Terhadap Kepada Tanah Air
Organisasi ini didirikan semula bernama
Tri Koro Dharmo (Tiga Tujuan Mulia) pada tanggal 7 Maret 1915 untuk merespon
pemikiran nasionalisme yang diinisiasi oleh organisasi Boedi Oetomo (1908).
Sekalipun organisasi ini dibentuk untuk mempersatukan para pemuda di Indonesia
namun AD/ART baru membatasi kewilayahan pada Jawa dan Madura maka
keanggotaannya masih terbatas.
Oleh karena itu atas desakan eksternal
dan internal maka nama Tri Koro Dharmo diubah menjadi Jong Java dan membuka
keanggotaan para pemuda luar Jawa. Sebagaimana dikatakan Koentjoro
Poerbopranoto, “Maka oentoenglah kekoerangan ini segera dilenjapkan serta nama
‘Tri Koro Dharmo’ ditoekar dengan nama dalam bahasa Barat: JONG-JAVA. Perobahan
ini, jang dilakoekan dikongrès jang pertama di Solo pada tahoen 1918, dapat
memoedahkan bekerdja bersama-sama dengan saudara 2 dari tanah Pasoendan, Bali
dan Lombok” (Gedenkboek Jong Java
1915-1930:27).
Untuk merespon Sumpah Pemuda (28 Oktober
1928) maka dua bulan kemudian, Pedoman Besar Jong Java membuka kongres ke- XI pada
tanggal 25 - 31 Desember 1928 di Yogyakarta yang isinya adalah mempersiapkan
sebuah bentuk pengorbanan besar Jong Java untuk membubarkan organisasi dan akan
bergabung dalam organisasi yang baru bernama bernama Indonesia Moeda.
Pada tanggal 23 April 1929 dibentuk
Komisi-Persediaan dalam rangka mempersiapkan pembentukan organisasi baru. Atas
undangan Pedoman Besar Jong-Java berkumpulah organisasi Pemoeda Soematra, Pemoeda Indonesia dan Jong Java untuk mengadakan rapat persiapan di pavilyun Indonesisch Clubgebouw, Jakarta. hari 23
April 1929. Pertemuan menyepakati melaksanakan keputusan Kongres XI di
Yogyakarta dan mempersiapkan sebuah nama baru untuk peleburan organisasi pemuda
ini dengan nama Indonesia Moeda.
Kongres XII, 27 Maret 1929 merupakan
riwayat penghabisan bagi Jong Java dan dalam kongres ini dihasilkan sebuah
keputusan sbb:
Pertama:
Sedjak dari sa’at ini perkoempoelan Jong- Java, dahoeloe bemama Tri Koro
Dharmo, tidak berdiri lagi; Kedoea: Sedjak dari sa’at ini segala tjabang
perkoempoelan Jong-Java, dahoeloe bernama Tri Koro Dharmo, diserahkan kepada
Komisi Besar Indonésia Moeda; Ketiga: Sedjak dari sa’at ini segala tjabang
Jong- Java, dahoeloe bernama Tri Koro Dharmo, berdiri dibawah pemandangan
Komisi Besar dan berwadjib bersatoe didalam perkoempoelan Indonésia Moeda. (Gedenkboek Jong Java 1915-1930:37-38).
Koentjoro Poerbopranoto menutup
tulisannya dengan berkata, “Beratoes-ratoes kaoem nasionalis kita dapat
mempersaksikan wafatnja Jong-Java pada sa’at itoe. Pada sa’at itoe meréka
menghadiri djoega lahirnja anak jang telah lama dinanti-nanti, jalah anak jang
tjantik-manis: Indonésia Moeda. Dengan lahirnja anak ini bermoelalah bagi tanah
air kita zaman baharoe: zaman INDONÉSIA RAJA” (Gedenkboek Jong Java 1915-1930:38).
Sekalipun buku Gedenkboek Jong Java 1915-1930 ini tidak menuliskan apapun tentang Dr.
Goelarso namun satu-satunya bukti penting dalam buku tersebut adalah foto Dr.
Goelarso dan keterangan sebagai Ketua Jong
Java tahun 1927.
Selama berdirinya hingga akhirnya bubar
ketua pengurus besar Jong Java berturut-turut adalah: Satiman Wirjosandjojo (1915-1917),
Suhardi Ariotedjo (1917-1918), Sukiman Wirjosandjojo (1918-1919), Sutopo
(1919-1920), Mukhtar Atmo Supardjojo (1921-1922), Ma’amun (1923), Samsuridjal
(1923-1924), Sumarto Djojodihardjo (1925), Sunardi Djaksodipuro (1926), Gularso
Astrohadikusumo (1927), Sarwono Prawirohardjo (1928); dan Kuntjoro Purbopranoto
(1929)
Ibu
Gularso Sebagai Ketua Perwari (Persatuan Wanita Indonesia) Kebumen
Ketika Republik Indonesia terbentuk
pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, di berbagai daerah dipersiapkan pembentukan
Badan Keamanan Rakyat (BKR). Demikian pula di Kebumen. Buku berjudul Gelegar di Bagelen: Perjuangan Resimen XX di
Kedu Selatan 1945-1949 dan Pengabdian Lanjutannya (2003) memberikan
informasi penting situasi kondisi Kebumen pasca kemerdekaan khususnya menghadapi
Agresi Militer I dan II.
Dalam buku ini disebutkan meski hanya
satu paragraf di dua halaman mengenai ibu Goelarso. Tidak begitu jelas apakah
yang dimaksudkan adalah istri Dr. Goelarso. Namun melihat penyebutan namanya di
antara peristiwa penting di ibu kota kabupaten pasca kemerdekaan, sangat kuat
diduga yang dimaksudkan adalah istri Dr. Goelarso yang saat itu menjabat sebagai Ketua Perwari
(Persatuan Wanita Indonesia. Di masa Jepang disebut Fujinkai).
Keterlibatan Ibu Goelarso dalam buku ini
dijelaskan sebagai penyedia dapur umum sebagaimana dikatakan, “Selain itu,
tidak kecil pula perhatian dari ibu-ibu Perwari di Kebumen di bawah pimpinan
Ibu Goelarso dan Ibu Mangkoe Soemitro serta organisasi wanita lainnya. Mereka,
‘saiyeg sa-eko-proyo, cancut tali wanda’ (serentak segera bersama, bertindak)
menyelenggarakan dapur umum untuk bekal pasukan BKR Kebumen yang dipusatkan di
Gedung Sekolah Cina HCS (Holland Chinese School) yang terletak di Jalan
Kutoarjo, dekat Monumen Walet” (2003:32).
Demikianlah hasil pelacakan dokumen
untuk menemukan sosok bernama Dr. Goelarso yang pernah berkiprah sebagai Ketua
Jong Java Tahun 1927 dan dokter yang berkarya di Karanganyar dan Kebumen
sekitar tahun 1935-1945. Tulisan ini jauh dari lengkap. Sebaliknya masih bersifat
fragmentaris namun setidaknya memberikan separuh gambaran mengenai siapa dan
apa yang telah dilakukan Dr. Goelarso di Karanganyar dan Kebumen di akhir
pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan Jepang serta awal kemerdekaan.
Kemanakah Dr. Goelarso dan keluarganya
pasca Agresi Militer I dan II? Dimanakah beliau wafat dan dikebumikan?
Dimanakah saat ini keluarganya tinggal? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang
menyisakan misteri. Kiranya melalui tulisan ini, pelacakan dan penulisan kisah
kehidupan Dr. Goelarso berlanjut dan semakin melengkapi apa yang sudah dimulai
saat ini.
Nama beliau layak dipertimbangkan untuk
disematkan di ruang-ruang publik (rumah sakit, jalan, ruangan salah satu
bangunan pemerintahan, dsj) di kota Kebumen dan sekitarnya sebagai sebuah penghormatan
terhadap kontribusi penanganan kesehatan pada masanya. Kiranya.
Naskah artikel ini pernah dimuat di Qureta.com (2022)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar