Lembaran Kisah Sebuah Benteng Oktagonal di Gombong
Sebuah benteng berbentuk segi delapan
(oktagonal) berwarna merah berdiri megah di Desa Sidayu, Gombong. Sekalipun
nampak lusuh dan dilahap zaman - ketika kita memasuki kawasan benteng dan
setiap lorong satu ke lorong lainnya – namun menyimpan lapisan demi lapisan
kisah dari periode yang berbeda yang tidak banyak diketahui publik.
Menurut catatan N. Rinandi F.
Suryaningsih, data keseluruhan benteng di Indonesia ada 442 yang terbagi antara
benteng buatan raja-raja Nusantara sebanyak 128 obyek dan benteng era kolonial
Portugis dan Belanda sebanyak 139 obyek serta sistem/struktur pertahanan era
Perang Dunia 1 dan 2 sebanyak 175 obyek. Dari 442 obyek, terdapat 9 obyek punah
dan 64 obyek hancur dan 142 obyek berbentuk reruntuhan serta 226 obyek masih
utuh (Inventory Forts in Indonesia, Vol
II-5/W3, 2015:269).
Benteng Van der Wijck hanyalah salah satu
dari sekian benteng buatan Belanda yang ada di Jawa. Di Barat Gombong yaitu
Cilacap terdapat Benteng Klingker dan Benteng Pendem. Di Timur Gombong yaitu
Yogyakarta terdapat Benteng Vredeburg. Di utara Gombong yaitu di Ambarawa
terdapat Benteng Willem 1 dan 2.
Fungsi
Benteng di Era Kolonial
Studi yang lebih mendalam akan
mengungkapkan bahwa benteng-benteng yang dibangun di sepanjang pantai yang
menghadap ke laut pada umumnya dibangun pada abad ke 17-18, pada saat VOC berada
di puncak kekuasaannya.
Ada juga sejumlah benteng - sebagian
besar di Sumatra - yang dibangun di sepanjang tepi sungai. Di Sumatera, konsep
lingkungan geografis yang berlaku didasarkan pada ulu (hulu) dan ilir (hilir):
lokasi di sepanjang sungai sejak dahulu kala menjadi jalan raya utama
masyarakat. Bahkan benteng Nassau dan Mauritius - akhirnya berkembang menjadi
Kastil Batavia - juga dibangun di sepanjang tepi timur Sungai Ciliwung.
Di sisi lain - benteng yang dibangun
pada abad ke-19 - sebagian besar di Jawa dan Sumatra, sebagian besar terletak di
daerah pedalaman.
Nampaknya, keberadaan benteng bukan hanya sebagai bagian dari sistem pertahanan, tetapi juga sebagai pos perdagangan lengkap dengan semua fasilitas yang diperlukan, termasuk penyimpanan rempah-rempah yang menjadi komoditas utama pada saat itu, meliputi kantor administrasi, bidang pelatihan militer, arsenal, barak tentara, logistik penyimpanan dan lainnya (Forts in Indonesia, 2012:25).
Bentuk
Benteng
Desain benteng biasanya memiliki bentuk
khas seperti pentagon (segi lima) seperti Benteng Jacca di Spanyol dan hexagon
(segi enam) sebagaimana Benteng Nove Zamky di Honggaria bahkan berbentuk
bintang seperti Benteng Palmanova di Italia dan Benteng Narden di Amsterdam.
Tujuan desain hexagon, pentagon, bintang, tentu saja untuk
memudahkan melihat gerak gerik musuh dari berbagai sudut pandang. Selain itu
bentuk hexagon dianggap sebagai “structuraly stable” (struktur yang stabil) karena
keteraturan dan kerataan bentuknya memungkinkan mereka untuk mengulangi,
sirkularitasnya memungkinkan distribusi maksimum (The Meaning of Hexagon - https://imperiumadinfinitum.wordpress.com).
Di setiap sudut benteng dibangun sebuah
bastion untuk meletakkan meriam. Bastion ini menghilangkan titik-titik buta
yang dilindungi, yang disebut “dead zone” (zona mati), dan memungkinkan tembakkan
di sepanjang tirai dari posisi yang terlindung dari tembakan langsung (Bastion Forts - https://en.wikipedia.org).
Namun menariknya, desain Benteng Van Der
Wijck berbentuk oktagonal dan tidak memiliki bastion di setiap sudutnya sebagai
tempat menaruh senjata meriam. Mengapa demikian? Bukankah setiap benteng
pertahanan seharusnya memiliki bastion di setiap sudutnya? Sebelum menjawab
pertanyaan tersebut kita akan menelusuri asal usul nama benteng dan keberfungsiannya
di era kolonial Belanda khususnya ketika berkecamuk Perang Jawa.
Strategi
Benteng Stelsel Sebagai Penanda Kemenangan
Perang Jawa (1825-1830) yang dikobarkan
oleh Pangeran Diponegoro melawan kekuatan militer Belanda meninggalkan jejak
kerusakkan materal dan finansial yang hebat di seluruh Jawa. Peter Carey
mendeskripsikan dalam bukunya dimana dua juta orang atau sepertiga penduduk
Jawa terpapar perang dan seperempat lahan pertanian mengalami kerusaakn serta
200.000 orang Jawa tewas dalam konflik sengit tersebut.
Sementara itu di pihak Belanda mengalami
kerugian yang sama dimana 7000 seradu pribumi dan 8000 tentara Belanda tewas
dan biaya perang yang harus dikeluarkan sebanyak 25 juta gulden yang setara 2,2
milliar dollar As saat ini (Takdir:
Riwayat Pangeran Diponegoro, 2016:xxxi).
Periode tahun 1826-1826 menjadi tahun
kemenangan pasukan Diponegoro dan sejumlah kekalahan menjadi pil pahit bagi
militer Belanda. Kekalahan ini lebih dikarenakan, “para pejabat Belanda tidak
memahami hakikat perang yang mereka hadapi di Jawa”, demikian kesimpulan Carey
(2016:326). Sejumlah latihan militer tentara Eropa klasik tidak sesuai dengan
kondisi di Jawa yang bergunung dan penuh hutan lebat.
Sebuah strategi militer baru diperlukan
untuk mengatasi taktik gerilya pasukan Diponegoro yang kerap melakukan serangan
tiba-tiba kemudian menghilang cepat di bukit dan pegunungan. Jendral de Cock
mengatur ulang sebuah siasat baru untuk menghadapi kekuatan Diponegoro yang
kemudian dikenal dengan strategi “benteng stelsel”.
Peter Carey mengatakan perihal strategi
baru ini, “kunci sukses De Cock adalah sistem
perbentengan darurat (benteng stelsel) yang sebelumnya sudah dirintis oleh
Cochius” (2016:330). Cochius bertugas sebagai kapten di Militer Prancis
antara tahun 1811-1814 dan pada tahun 1843 ditugaskan di Timur Jauh, pada tahun
1830 ia menjadi komandan korps pengamat di Salatiga yang ada di antara serdadu,
marinir, dan marechausée dan pada tahun 1837 menaklukkan Bonjol, sebagai
purnawirawan letnan jenderal (Frans David
Cochius - https://id.wikipedia.org/).
Cochius dikenal sebagai ahli
perbentengan. Kesuksesannya membangun benteng perlindungan sementara (temporary
battlefield fortification) di Kalijengking (1825), di tepi jalan
Magelang-Yogyakarta, teah memberikan perlindungan efektif bagi konvoi-konvoi
militer dan tempat beristirahat malam militer Belanda. Keberhasilan ini
diterapkan untuk memenangkan peperangan melawan Diponegoro.
Benteng stelsel menjadi sistem berperang
(stelsel van oorlogen) yang baru yang diinisiasi Jendral De Cock tahun 1827
dengan melibatkan Letkol F.D. Cochius sebagai pembangun benteng. Benteng yang
dibangun Cochius bersifat temporal dan tidak permanen sehingga siap dibongkar
sesuai kebutuhan.
Benteng yang dibuat berbentuk persegi
dan di sekelilingnya diperkuat dengan pagar batang pohon kelapa setinggi 7-8 kaki (1,70 m). Di sudut yang dipilih
dibangun landasan untuk dua pucuk meriam. Daya tampung benteng ini sekitar
20-30 orang prajurit. Strategi benteng ini bersifat ofensif dan defensif
sekaligus. “Secara ringkas, konsepsi Stelsel Benteng adalah penguasaan teritorial
atau penaklukan total”, demikian tulis Saleh As’ad Djamhari (Strategi Menjinak Diponegoro: Stelsel
Benteng 1827-1830, 2014:67-70)
Bagelen
Barat Sebagai “Trouble Area”
Wilayah Kebumen salah satunya bernama
Panjer, di era Perang Jawa masuk wilayah Bagelen. Di era Mataram Islam sebelum
Perjanjian Giyanti (1755), Bagelen adalah wilayah Negaragung. Pasca Perjanjian
Giyanti berubah menjadi wilayah Mancanegara. Setelah kekalahan Diponegoro dalam
Perang Jawa (1830), wilayah Bagelen dijadikan Karesidenan.
Dalam catatan sejarawan peneliti Perang
Jawa Saleh As’ad Djamhari, “Di Bagelen Barat, daerah rawan (trouble area)
berada di antara panjer dan Ungaran” (2016:171). Sampai tahun 1828, pasukan
Diponegoro masih menguasai sebagian besar wilayah Bagelen yang telah dimasuki
sejak tahun 1827.
Di Bagelen Tengah, pasukannya menguasai
daerah empat aliran sungai (Sungai Watu, Sungai Loni, Sungai Gembor dan Sungai
Lesung) yang bermuara di Rawa Wawar. Sementara di Bagelen menguasai sekitar
Kebumen, Panjer sampai Penunggulan serta daerah sepanjang aliran Sungai Luk
Ulo.
Kawasan yang dilintai Sungai Luk Ulo
menjadi medan pertempuran sengit pasukan Diponegoro dan militer Belanda pimpinan
Mayor Van Rojen, Mayor Biskus, Mayor Magelis dengan dibantu pasukan Arungbinang
IV (Teguh Hindarto, Sungai Luk Ulo:
Perspektif Historis, Geologis, Ekonomi Serta Sosial Budaya - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2015/06/sungai-luk-ulo-perspektif-historis_17.html)
Kekuasaan Doponegoro di Bagelen Barat
meliputi sekitar Panjer barat dan sekitar Pegunungan Serayu. Pasukannya
terkonsentrasi di panjer dan Remo Jatinegoro. Sejumlah wilayah di Kebumen pada
tahun 1828 menjadi lokasi pembangunan benteng stelsel dari pagar pohon kelapa
seperti di Petanahan dan Panjer karena, “Sepanjang tahun 1828, sebagian besar
wilayah Bagelen dikuasai pasukan Diponegoro” (Saleh As’ad Djamhari, 2016:143).
Fort
Cochius: Dari Benteng Stelsel Menjadi Benteng Permanen
Wilayah Sedayu, Gombong dimana benteng
Van der Wijk saat ini berada kala itu masuk kawasan Bagelen Tengah di mana di
Desa Merden kawasan utara pun di tempatkan benteng stelsel. Paska kekalahan
Diponegoro benteng stelsel yang ada di Sidayu dibangun menjadi benteng permanen
dari batu bata merah dengan bentuk oktagonal (segi delapan).
Tarikh 1818 yang tertulis di pintu masuk
benteng Van der Wijk jelas keliru sama sekali dan tidak ada satupun dokumen
yang menyebutkan demikian. Jika benteng stelsel saja baru dipergunakan tahun
1827 untuk merespon Perang Jawa pada 1825, bagaimana mungkin tahun 1818 dimana
belum terjadi Perang Jawa, menjadi sebuah tarikh pendirian benteng?
Peter Carey sendiri hanya mengatakan, “Kontribusi
Cochius sendiri adalah membangun benteng terbesar yang terbuat dari batu pada
pasca-perang di Gombong, Karesidenan Kebumen, sebelah barat Bagelen”
(2016:331). Ada sedikit petunjuk jika kita menjelajahi sejumlah foto di dinding
benteng, dimana tertulis tarikh pendirian (atau renovasi?) yaitu 1844-1848.
Namun benarkah tanggal tersebut merupakan tanggal pendirian?
Melalui sejumlah penelitian terhadap
koran yang diterbitkan di era kolonial, ada beberapa data yang cukup memberikan
gambaran kapan benteng stelsel ini mulai diubah menjadi benteng permanen yang
terbuat dari batu bata merah.
Dalam sebuah Officeel Gedeelte (berita resmi) yang diterbitkan Javasche Courant 29 Juni 1839
disebutkan sbb, “dan bahwa kekuatan yang diusulkan masih akan dicatat di
Kertosono, Gombong dan di Bandong akan diberi nama FORT GENERAL DE COCK, FORT
GENERAL COCHIUS, FORT COLONEL VAN DER WIJK”.
Pemberitaan koran di atas yang
menyebutkan “Fort Cochius”, “Gombong”, “1839” memberikan petunjuk bahwa sekitar
tahun 1839 atau sebelumnya, benteng stelsel telah mulai dibangun secara
permanen dan akan diberi nama “Fort Cochius” (benteng Cochius).
Dalam publikasi koran Nieuwe Surinaamsche Courant (2 Juni 1841)
ada sebuah deskripsi menarik mengenai aktivitas di sekitar benteng Cochius sbb,
“Anak perempuan berusia empat tahun dari kapten infanteri Schoch, berangkat
pada 28 September, jam 3 pagi, dari Fort Cochius, di mana ayahnya adalah
seorang komandan garnisun”
Pemberitaan koran di atas memberikan
sebuah petunjuk bahwa pada tahun 1841 sudah berlangsung sebuah aktivitas
militer dengan sejumlah perwira yang tinggal di benteng tersebut. Jika tahun
1841 dianggap sebagai tarikh pembangunan, tidak mungkin sudah ada aktivitas
militer pada tahun tersebut.
Dalam laporan Java-bode pada 24
Februari 1869 dilaporkan perihal kepindahan sekolah kadet militer (pupilen
school) yang semula di Kedung Kebo berpindah ke Fort Cochius pada tahun 1858
dan diberikan deskripsi historis benteng sbb, “Sebelum pal No 41, sebelah barat
Purworedjo (Kedongkebo), di sebelah kanan jalan militer yang besar, terletak
benteng Jenderal Cochius, yang dimulai pada masa perang Jawa tahun 1825-30,
tetapi belum selesai”
Laporan koran ini menyebutkan bahwa Fort Cochius berkaitan dengan kecamuk
Perang Jawa namun pembangunannya belum selesai dan tidak dalam bentuk batu bata
merah.
Dari sekian pelacakkan koran Belanda di
atas, nampaknya Fort Cochius yang
semula hanyalah benteng stelsel, mulai dibangun secara permanen pada tahun 1839
namun mengalami sejumlah perbaikkan, renovasi pada tahun 1841-1844.
Bentuk oktagonal benteng tanpa bastion
nampaknya memperlihatkan karakteristik benteng yang mulai dialih fungsikan dari
benteng pertahanan menjadi pusat pendidikkan khususnya Pupillen School
Pergantian
Fungsi Benteng
Jika saat terjadi kecamuk Perang Jawa
(1825-1830), keberadaan Benteng Cochius sebelum dibangun permanen adalah untuk
kepentingan penyediaan bahan makanan pasukan militer Belanda maka saat mulai
dibangun keberadaannya (1839) kelak difungsikan menjadi Pupillen School atau Sekolah kadet Militer Belanda pada tahun 1858.
Saat pembangunannya telah melibatkan
1.400, yang terdiri dari 1.200 pekerja yang tinggal di Bagelen dan sisanya dari
penduduk Banyumas. Buruh dijaga oleh para demong (demang) yang ditunjuk oleh
warga masing-masing. Buruh masing-masing dibayar 15 sen per hari, sementara
masing-masing demong yang mengawasi menerima 1 gulden sehari. Bahan bangunan
yang diperlukan seperti kapur dan kayu diambil dari sekitar Karesidenan
Bagelen, sebagian besar dari Karesidenan Banyumas. Batu bata itu kemungkinan
besar diproduksi dari tanah liat setempat di lokasi pembakaran lapangan (Forts in Indonesia, 2012:126)
Selama pendudukan Jepang (1942 - 1945), Fort Van der Wijck digunakan sebagai
tempat pelatihan bagi tentara PETA (Pembela Tanah Air - Pembela Tanah Air).
Para prajurit ditempatkan di barak militer yang dibangun di depan benteng
sementara benteng yang tepat digunakan untuk menyimpan bahan makanan dan
senjata Jepang. Orang Jepang melukis semua tulisan Belanda di dalam benteng
hitam dengan tujuan untuk menghapus pengaruh Belanda.
Sebelum Belanda kembali ke kota Gombong
pada tahun 1947-1949, benteng itu digunakan sebagai markas komando Badan
Keamanan Rakyat (BKR) sekitar tahun 1945-1947. Benteng tersebut kemudian
digunakan untuk mengakomodasi staf dan tentara Inspektorat Infanteri Bandung
dan staf Layanan Kereta Api Bandung.
Menurut mantan personil BKR. mereka
hanya menggunakan barak militer di depan benteng sementara benteng dibiarkan
kosong. Pada saat Agresi Belanda Pertama. Benteng Van Der Wijck digunakan oleh
Belanda sebagai pos pertahanan depan mereka untuk menghadapi pasukan Republik
Indonesia yang ditempatkan di sebelah timur Sungai Kemit
Dari
Fort Cochius Menjadi Fort Van der Wijk
Sejak 1984, kompleks benteng digunakan
oleh Tentara Indonesia yang ditempatkan di Secata A - Sekolah Calon Tamtama
(sekolah taruna) dan pada 28 Desember 2000 berubah menjadi taman hiburan yang
dikenal sebagai Taman Ria Benteng Van Der
Wijck dengan taman bermain anak-anak.
Tidak ada keterangan yang jelas mengapa
nama Van Der Wijk yang dipilih, sementara nama sebenarnya dari benteng ini
adalah Fort Cochius. Mayor van der
Wijk sendiri adalah komandan kolone 8 di Yogyakarta pada tahun 1827.
Demikianlah lapisan demi lapisan kisah
di benteng oktagonal bernama Fort Cochius
yang sekarang telah berubah nama menjadi Taman
Ria Benteng Van Der Wijck.
Artikel ini pernah dimuat di Qureta.com (2021)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar