Sumber Foto:
Schets van de Economische Ontwikkeling der Afdeeling Poerworedjo (1926)
Bagi
masyarakat Kebumen, nama Jalan Daendels sudah sangat akrab di telinga. Sebelum
dibangunnya Jalan Lingkar Selatan-Selatan (JLSS) antara tahun 2015-2018,
kawasan Jalan Daendels yang membentang dari daerah Brosot di Kulon Progo hingga
daerah Karang Bolong di Kebumen menjadi rute alternatif selain jalan nasional
yang menghubungkan Yogyakarta menuju Cilacap atau Banyumas atau sebaliknya.
Ketika
artikel ini ditulis bersamaan dengan akan dilaksanakannya kunjungan kerja
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo ke Kebumen (9 Maret 2023). Di Kebumen Presiden
Jokowi meluncurkan program panen raya satu juta hektar di Indonesia dan Kabupaten
Kebumen menjadi kabupaten pertama yang melakukan panen raya ini.
Omong-omong
soal Jalan Daendels di kawasan selatan Kebumen, ada yang yang menulis bahwa
jalan ini dibangun tahun 1838 saat seorang Asisten Residen bernama August Dirk
Daendels bertugas di Kabupaten Ambal. Saat ini Ambal adalah wilayah kecamatan
di kabupaten Kebumen namun tahun 1830-1871, Ambal adalah sebuah kabupaten bersama
dengan Ledok (Wonosobo), Kutoarjo, Purworejo, Kebumen, Karanganyar di bawah
karesidenan Bagelen (1830-1900) dan Karesidenan Kedu (1901-1952). Bupati yang
memerintah di Ambal pada waktu itu bernama R.A.A. Poerbonegoro (Teguh Hindarto,
K.R.A.A. Poerbonegoro dan Nasib Historis
Penghapusan Kabupaten Ambal 1872 - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/09/kraa-poerbonegoro-dan-nasib-historis.html).
Benarkah
jalur jalan di kawasan selatan ini telah dibangun tahun 1838 oleh A.D.
Daendels? Benarkah penamaan nama Jalan Daendels berkaitan dengan mengenang
keberadaan asisten residen yang pernah bertugas di Ambal sekaligus sebagai damnatio memoriae alias “pengutukan
memori” alias “dihilangkan dari ingatan orang” karena kawasan jalan ini pernah
menjadi rute perjalanan Pangeran Diponegoro?
A.D.
Daendels (bukan H.W. Daendels) memang pernah menjadi Asisten Residen Kebumen (1832)
dan Asisten Residen Ambal (1837). Namun ketika tahun 1838 yang menjadi asisten
residen di Ambal bukan lagi A.D. Daendels melainkan Schmidt Auf Altenstadt
(yang juga pernah menjabat sebagai asisten residen di Kebumen).
Ada
data menarik dari sebuah artikel berjudul, De Reis Over Java, in 1838, van den
Gouverneur- Generaal van Nederlandsen Indie yang dimuat dalam Tijdschrift voor Nederlandsch Indie 1859.
Isi artikel ini menceritakan sebuah perjalanan Gubernur Jenderal Hindia Belanda
yang ke-45 yang bernama Dominique Jacques de Eerens (memerintah antara tahun
1836 – 1840) dari Batavia ke Karesidenan Yogyakarta, Karesidenan Bagelen,
Karesidenan Banyumas dll.
Jurnal
yang dimuat dalam majalah tersebut ditulis oleh salah satu teman seperjalanan
yang menemani Gubernur Jenderal Eerens dalam perjalanan inspeksinya di Jawa
pada tahun 1838 dan membantu gambaran tentang ciri-ciri dan karakeristik
wilayah yang dilewati yang belum banyak diketahui semua orang, demikian
pengantar judul artikel tersebut mengawali.Jadi sekalipun artikel ini ditulis
tahun 1859 (saat Bupati Ambal bernama Poerbonegoro masih menjabat) namun
berisikan deskripsi mengenai jalan dan situasi alam yang dilewati khususnya di
kawasan selatan Karesidenan Bagelen (termasuk Ambal sebagai regentschap/kabupaten)
Saya
ringkaskan perjalanan tersebut pada bagian yang perlu terkai dengan tanggapan
ini yaitu ketika rombongan Gubernur Jendral memasuki wilayah Bagelen tanggal 1
Juli 1838 setelah melewati Yogyakarta menuju Bagelen, rombongan diantar Paku
Alam sampai ke perbatasan Bagelen di sungai Bogowonto.
Dikatakan
di Paal 19 terdapat sebuah “benting” (benteng) dengan dikelilingi tembok (muur)
yang disebut "Gaboor", tempat Paku Alam telah menyiapkan dejeuner
(bahasa Prancis yang artinya “jamuan makan pagi”). Dari sini jalan (weg) dan
tanah (landen) di sekitarnya mulai rusak (slechter te worden). Pasir dalam dan
tanah gersang membentang dari sini hingga perbatasan Bagelen. Melewati jalan
ini seseorang dapat melihat Laut Selatan dengan lebih dekat (1859:461).
Melalui
deskripsi di atas kita bisa melihat bagaimana kondisi jalan di kawasan pesisir
pantai yang menjadi wilayah Karesidenan Yogyakarta yang berbatasan dengan
Karesidenan Bagelen dalam keadaan rusak. Jika memang tahun 1838 sudah ada
pembangunan jalan yang baik di sepanjang kawasan pantai selatan, pastilah tidak
akan dideskripsikan kerusakan jalan tersebut.
Ketika
tiba di paal 33, yaitu di sisi kiri sungai Bogowonto, adalah batas Karesidenan
Bagelen. Di seberang sungai adalah wilayah Karesidenan Bagelen. Di sini telah
menunggu Residen Bagelen, Ruijtenbach, Asisten Residen Ambal, Schmidt Auf
Altenstadt, serta Bupati Ambal Tumenggung Poerbonegoro (artikel ini keliru
menulis “Parto Nagoro”) dan komandan
militer Karesidenan Bagelen bernama Letnan Kolonel Van Biehl. Setelah sampai di
sini, Residen Yogyakarta yang bernama Valck, Pangeran Paku Alam dan
putra-putranya yang mendampingi rombongan Gubernur Jendral Dominique Jacques de
Eerens berpamitan (1895:461).
Apa
yang dapat kita simpulkan dari kutipan artikel perjalanan tahun 1838 dalam
majalah Tijdschrift voor Nederlandsch
Indie (1859)? Pertama, Asisten
Residen di Ambal bukan lagi A.D. Daendels melainkan Schmidt Auf Altenstadt. Kedua, kondisi jalan di pesisir pantai
tidak bagus alias rusak. Ketiga,
tidak ada pembangunan jalan yang dilakukan A.D. Daendels pada tahun 1838 untuk
mengabadikan dirinya apalagi melakukan “damnatio memoriae’ (pengutukan sebuah
kenangan) terhadap jalur yang pernah dipergunakan oleh Pangeran Diponegoro. Keempat, sekalipun kondisi jalan tidak
baik namun sebelum 1838 jalan yang menghubungkan kawasan pesisir selatan sudah
dibuka hingga Karangbolong yang berbatasan dengan regentschap Banyumas.
Yang
harus ditanyakan adalah, siapakah yang memberikan nama jalan sepanjang kawasan
pesisir pantai selatan yang melewati Ambal ini dengan sebutan Jalan Daendels,
sementara dokumen kolonial tidak pernah menamai rute jalan tersebut dengan
sebutan Jalan Daendels?
Dalam
sebuah artikel berjudul, Bijdrage tot de
Geschiedenis der Vorstenlanden (Kontribusi Terhadap Sejarah Negara
Kerajaan) yang dimuat dalam Tijdscrift Voor Nederlandsche Indie (1876)
dikatakan sbb: “Yang ketiga - sejauh yang saya tahu, danau terbesar di Jawa -
danau Rawa Wawar di karesidenan Bagelen, menanggulangi kelebihan airnya,
melalui saluran pengalihan alami, yang menghalangi jalan pos dekat Ambal, di
belakang bukit pasir yang berjarak lebih dari dua jam, ke pantai selatan di
Laut Hindia”.
Frasa,
“dat den postweg naar en nabij Ambal coupeert” (yang menghalangi jalan pos
dekat Ambal) telah dikenal sejak tahun 1876 berarti sebelum atau sesudah tahun
tersebut bisa jadi itulah penamaan jalan yang melintas di jalur selatan tanpa
nama khusus tertentu. Tidak ada penamaan Daendels weg (Teguh Hindarto, Penduduk Kabupaten Ambal Tahun 1867 dan
Korelasinya Dengan Jalan Yang Menghubungkan Karesidenan Bagelen dan Karesidenan
Banyumas - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/05/penduduk-kabupaten-ambal-tahun-1870-dan.html).
Belum
dapat dipastikan siapa yang memulai menamai jalur jalan tersebut dengan nama
Daendels. Nampaknya beberapa dugaan sementara penamaan Jalan Daendels bertujuan
menyematkan sebuah kenangan terhadap nama seorang Asisten Residen yang pernah
bekerja di Ambal menjadi sebuah nama jalan. Dugaan berikutnya bisa juga
dikaitkan dengan popularitas nama H.W. Daendels yang membangun Jalan Raya Pos
sepanjang kurang lebih 1000 km terbentang sepanjang utara Pulau Jawa, dari
Anyer sampai Panarukan, patut menjadi sebuah pertimbangan menyamakan kawasan
memanjang di jalur selatan Kebumen hingga Purworejo ini sebagai nama jalan.
Namun keberadaan jalan ini bukan dibangun oleh A.D. Daendels di tahun 1838 karena sebelum tahun tersebut jalan penghubung di kawasan pantai selatan sudah dibuka (Teguh Hindarto, Melacak Jejak Awal Pengaspalan di Kebumen – https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2022/12/melacak-jejak-awal-pengaspalan-di.html) sebagaimana laporan perjalanan Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke-45 yang bernama Dominique Jacques de Eerens yang telah melintasi kawasan ini pada tahun 1838.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar