Buku berjudul, Bau Aris R. Karolus Wiryoguno: Pemimpin Babad Hutan Kracil (Cikal Bakal Berdirinya Desa-Desa di Mojowarno karya R. Hadi Wahyono (Taman Pustaka Kristen, 2018) melengkapi historiografi sejarah gereja di wilayah Jawa Timur yang saat ini dikenal dengan nama Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) yang sebelumnya pada tanggal 11 Desember 1931 di Mojowarno bernama Pasamuwan-Pasamuwan Kristen Jawi ing Jawi Wetan.
Buku
ini mengisahkan perjalanan hidup sekelompok keluarga dari Kesultanan Bangkalan
bernama Pangeran Cokrokusumo (R. Abdulrasyid) putra ke-25 Sultan Bangkalan II
yaitu Sultan Cokroadiningrat II yang meninggalkan Bangkalan tahun 1831. Setelah
meninggalkan gelar kebangsawanan berganti nama menjadi Kyai Mendung dan tinggal
di Dosermo dan desa Bogem di Sidoarjo. Pangeran Cokrokusumo dengan istri
pertama Bok Hanafiah (Dorkas) mempunyai putra dan putri antara lain: R.
Muhammad Hanafiah, R. Ngt. Kawistah Tabita, R. Paing Karolus Wiryoguno, R.
Samodin Simson, R. Ngt. Bainah Paulina, R. Baren Eliso.
Buku
berjudul, Madoera en Vorstenhuis (1936) yang ditulis untuk memperingati 30
tahun pemerintahan Bupati Bangkalan Raden Adipati Arjo Tjakraningrat,
dijabarkan secara detail garis silsilah bangsawan Madura mulai dari
Tjakraningrat 1 (1624-1628).
Tokoh
utama yang hendak dikisahkan dalam buku ini berpusat pada figur bernama Wiryoguno (putra ketiga Pangeran Cokrokusumo alias Kyai Mendhung) yang berusaha menemukan
makna penglihatan yang diterimanya saat dijumpai sosok berambut panjang yang
berkata, “Jika engkau sungguh-sungguh ingin selamat jiwa ragamu,carilah ilmu
yang bernama Musqap Gaib”.
Perjalanan
kerohaniannya mempertemukan dirinya dengan dua orang yang mempengaruhi
kehidupan selanjutnya yaitu C.L. Coolen (peranakan Rusia-Belanda dan Jawa yang
membuka hutan di Ngoro dan menjadi pemimpin agama Kristen di sana) dan Johanes
Emde di Bagongan Surabaya. Setelah memantapkan dirinya belajar kekristenan pada
Coolen dan Emde maka pada tanggal 13 April 1844 dan menerima nama baptis
Karolus.
Bersamanya
ada 30 orang anggota keluarga dibaptis dari 52 orang yang dibawa dari
Bangkalan. Satu hari setelah baptisan, Karolus Wiryoguna dengan didampingi
adiknya, Samodin Simson dan Pendeta J. Emde mengharap Residen Surabaya (P.J.B.
de Perez) untuk meminta ijin membuka Hutan Kracil di kawasan Wirosobo
(Mojoagung, Jombang sekarang) dan Japan (Mojokerto sekarang). Selanjutnya
rombongan keluarga ini mengantarkan surat ijin tersebut kepada Asisten Residen A.D. Daendeles
di Japan (Mojokerto) dan Wedana Wirosobo (sekarang Mojoagung, Jombang). Perlu
diketahui A.D. Daendels pernah bertuga sebagai asisten residen di Kebumen dan
Ambal tahun 1838 (Teguh Hindarto, Ambal:Kenangan Kabupaten Pesisir Selatan
1830-1872,Deepublish 2023:20).
Tahun
1848 di kawasan Hutan Kracil ini dibukalah tiga desa yaitu Mojowarno (dipimpin
Ditotruno yang dibaptis tahun 1852), Mojowangi (dpimpin Eliasar Kunto serta
Mojoroto dipimpin Karolus Wiryoguno. Setelah sukses membuka tiga desa baru
dilanjutkan dengan proyek membangun
jalan Mojowarno-Wirosobo dan membangun bendungan yang mengairi pesawahan di
kawasan Mojowarno sampai Mojojejer. Atas prestasinya, Karolus Wiryoguno
ditetapkan sebagai Bau Aris I atau koordinator para Kepala desa yang bertanggung
jawab langsung kepada Wedana dari tahun 1850-1874.
Sayangnya
nama Karolus Wiryoguno tidak disinggung dalam buku J.D. Wolterbeck penulis Babad
Zending ing Tanah Jawi (1939). Namun dalam karya C.W. Nortier yang berjudul, Van
Zendingsarbeid tot Zelfstadige Kerk in Oost Java (1939) nama Karolus Wiryoguna
disebut sebagai pionir pembuka hutan sebagaimana dikatakan, “Ten noorden van
Modjowangi begon Karolus (Wirjo-goeno) met de ontginning en den aanleg van de
dessa Modjoroto” (Di utara Mojowangi, Karolus (Wirjo-goeno) memulai pembukaan
dan pembangunan desa Mojoroto, 1939:33). Mungkin dikarenakan prestasi dan tugas
utamanya di bidang pemerintahan tinimbang memfokuskan pada kegiatan Pekabaran Injil,
sehingga namanya oleh para penulis Zending tidak disebutkan sebagaimana
mestinya.
Setidaknya,
buku kecil dan padat ini dapat melengkapi historiografi sejarah gereja-gereja
tradisional yang berkembang di Jawa Timur yang bukan hanya dibentuk melalui
peran para pendeta berkebangsaan Belanda namun juga peran orang-orang Jawa,
baik yang memegang jabatan pemimpin birokrasi desa maupun pekabar Injil secara
khusus. Nama Karolus Wiryoguna, layak ditempatkan dalam historiografi gereja
sebagaimana nama-nama Paulus Tosari, Tunggul Wulung (https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2022/04/kiai-tunggul-wulung.html),
Sadrach Soeropranoto (https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2023/07/jejak-dan-peninggalan-kiai-sadrach.html)
dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar