Melacak Film dan Bioskop di Kebumen, Gombong, Karanganyar Tahun 1900-an
Sejak diperkenalkannya film (masih tanpa suara atau film bisu) pada
28 Desember 1895 di Paris, Prancis maka
berbagai negara berlomba-lomba untuk memproduksi film baik di Amerika, maupun
Eropa termasuk Belanda.
Perkenalan Hindia Belanda (Indonesia) dengan film dimulai sejak tahun
1900. Sebuah iklan dikeluarkan oleh Nederlandsche
Bioscope Maatschappij (Perusahaan Bioskop Nederland) dan dimuat oleh koran Het
Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië (05-12-1900). Isinya adalah pemberitahuan
sbb:
Heden, Woensdagavond 5
December, en verder iederen avond
GROOTE VOORSTELLING
in de Manege Fuchs Tanah Abang
Hari ini, Rabu malam 5 Desember, dan setiap malam
PENAMPILAN HEBAT
di Sekolah Berkuda Fuchs Tanah Abang
Istilah “Gambar Idoep” telah dikenal untuk menamai sebuah film.
Setidaknya istilah “Gambar Idoep” sudah muncul dalam sebuah artikel berjudul, “De
Java Cineograaf” yang dimuat koran Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indië (28-09-1905). Nama Royal Bioscoop mulai dikenal pada tahun ini juga
dan muncul di beberapa kota al., Semarang sebagaimana dilaporkan koran De Locomotief (10-04-1905).
Hingga tahun 1920-an, bioskop di Indonesia masih didominasi orang
Eropa, dengan film dokumenter bisu dan film layar lebar yang diimpor dari
Perancis dan Amerika Serikat.Film dokumenter tentang sifat dan kehidupan
Indonesia, yang disponsori oleh pemerintah Hindia Belanda dibuat oleh orang-orang
Belanda atau Eropa.
Adapun film yang diproduksi secara domestik pertama di Hindia Belanda
adalah pada tahun 1926 dengan judul, “Loetoeng Kasaroeng” sebuah film bisu,
yang merupakan adaptasi dari legenda Sunda dengan sutradara L. Heuveldorp.
Tahun 1937 muncul film “Terang Bulan” dan sudah ada iringan musik keroncong
yang dikarang Ismail Marzuki sekalipun disutradarai Albert Balink.
Menurut majalah film Filmrueve pada tahun 1936, di Indonesia
sudah terdapat 227 gedung bioskop yang
selalu dipadati penonton (Sejarah
Perfilman Indonesia - Sejarah Perfilman Indonesia | Artikel - Jendela Sastra).
Bioskop di Kebumen
Orang Kebumen tentu mengenai nama dua biosko yang berjaya di tahun 1950-an
dan 1980-an yaitu “Bioskop Indrakila” atau “Bioskop Gembira” di Jl. Pemuda dan
“Bioskop Star” di Jalan Ahmad Yani. Namun di tahun 1929 ternyata telah ada
aktivitas menonton film sekalipun minim informasi.
Sekalipun informasi ini berasal dari sebuah berita menyedihkan karena
berkaitan dengan kematian seseorang namun orang yang meninggal dengan nama
Mesland ternyata seorang perwakilan/agen dari Banjoemasche Electriciteit Maatschappij dan pemilik bioskop lokal
di Keboemen sebagaimana dilaporkan De
Indische courant (09 September 1929) dan De Sumatra post (16 September 1929).
Menariknya, kisah kematian ini menimbulkan kontroversi. Jika De Indische courant (09 September 1929)
dan De Sumatra post (16 September
1929) melaporkan peristiwa kematian ini berkaitan dengan dugaan tindakan
peracunan serbuk hitam alias mata yang dimasukkan ke dalam kopi Mesland (Teguh
Hindarto, “Bioskop Kebumen dan Peristiwa Kopi Beracun Tahun 1929” - HISTORY AND LEGACY OF KEBUMEN: BIOSKOP KEBUMEN DAN PERISTIWA
KOPI BERACUN TAHUN 1929 (historyandlegacy-kebumen.blogspot.com)) maka berbeda dengan koran Tilgburgsche (09-09-1929) justru
membuat judul pendek, “Arsenicum in een glass bier?”
Bioskop di Karanganyar
Tidak banyak yang diketahui mengenai bioskop di Karanganyar yang
sebelum tahun 1936 masih berstats kabupaten tersendiri sebagaimana Kebumen.
Hanya sebuah artikel pendek dengan judul “Uit
Karanganjer” yang dimuat koran De Locomotief (08-10-1919) sbb, “
“En dan komt er te Karanganjar over enkele dagen zelfs een bioscoop.
Zoo iets hebben Keboemen en Gombong zelfs niet! Of die inrichting hier echter
goede zaken zal maken, zijn we zoo vrij, sterk te betwijfelen” (Dan akan ada bioskop di Karanganjar
dalam beberapa hari. Keboemen dan Gombong bahkan tidak memiliki hal semacam
itu! Namun, kami sangat ragu untuk menentukan apakah pendirian ini akan membuat
bisnis yang baik di sini).
Tidak disebutkan nama bioskop dan berlokasi di mana namun dari berita
pendek tersebut memberikan kita keterangan berharga bahwa pemutaran film dan
keberadaan bioskop dimulai di Karanganyar tahun 1919 mendahului Kebumen dan
Gombong. Tahun 1919 Gombong adalah distrik (kecamatan) bagian dari Karanganyar.
Bioskop di Gombong
Berbeda dengan Kebumen dan Karanganyar yang minus informasi mengenai
aktivitas pemutaran film dan keberadaan bioskopnya di era kolonial. Di Gombong
begitu banyak berita mengenai pemutaran film dan jatuh bangunnya perusahaan
bioskop pada waktu itu.
Tahun awal keberadaan bioskop di Gombong nampaknya dimulai tahun
1929. Dalam sebuah artikel berjudul, “in
Het Hart van Java” oleh koran Nieuwsblad
van het Noorden (23-11-1929) disebutkan
demikian:
“Kemudian sebuah bioskop keliling (reizende bioscoop) datang untuk
menunjukkan kepada kami film-film antik, yang sepertinya diambil dalam hujan
yang sangat deras, mereka begitu bergaris-garis dan pecah (Gombong sekarang memiliki
bioskop permanen - Gombong is nu een vaste bioscoop rijk). Dan setahun sekali sirkus
mendirikan tenda di sana)
Dalam sebuah artikel berjudul, “Toch Bioscoop in Gombong” yang
dimuat koran De Locomotief (16-02-1933) disebutkan adanya wacana penutupan
bioskop (kemungkinan gulung tikar karena masyarakat bosan dengan film-film
bisu) namun ditunda untuk sementara waktu.
Bulan berikutnya sebuah artikel dengan judul “Sluiting
Cantine-bioscoop te Gombong” yang
dimuat koran De Locomotief (11-03-1933)
menuliskan mengenai rencana penutupan Bioskop Kantin pada 1 April 1933.
Kemungkinan keberadaannya di sekitar Fort
Cochius atau Van der Wijck sekarang.
Namun beberapa bulan berikutnya yaitu Juli dikabarkan bioskop akan
tampil kembali sebagaimana dilaporkan koran
De Locomotief (10-06-1933). Bahkan dalam artikel tersebut muncul nama group
Laras Djawi yang berjawa menampilkan
pertunjukan wayang orang di ruangan pasar Gombong.
Dari analisis pemberitaan koran mengenai perkembangan menonton film
dan bioskop di Gombong, tahun 1933 adalah tahun penting dan penuh dinamika.
Mengapa? Pertama, selain berita penutupan bioskop sekaligus pembukaan
kembali bioskop, pada tahun ini dibentuk sebuah asosiasi perbioskopan.
Sebagaimana dilaporkan dalam sebuah artikel berjudul, “Een Bioscoopvereeniging
te Gombong” dilaporkan demikian: “Untuk beberapa waktu Gombong tidak memiliki
bioskop. Setelah pertunjukan di Societeit Militer (de Militaire Sociëteit)
pertama kali dihentikan, bioskop pasar (de Pasar-bioscoop) segera menyusul. Di
kota kecil, di mana sudah ada begitu sedikit hiburan, kurangnya bioskop terasa.
Hari ini, seperti yang kita pelajari, sekali lagi ada rencana untuk mendirikan
bioskop. Mereka ingin menutup biaya untuk ini dengan mendirikan asosiasi yang
semua orang dapat menjadi anggota. Jika rencana itu berhasil, akan mungkin
untuk menunjukkan film yang berbicara..”
(De Locomotief, 23-09-1933)
Kedua, berakhirnya penayangan film bisu dan titik
balik penayangan film yang dapat berbicara (sprekende
film). Pada bulan November sebuah berita dengan judul, “Sprekende film in
de cantine te Gombong” menjelaskan, “Rencana, yang telah ada selama beberapa
waktu untuk menunjukkan film berbicara di Cantine di Gombong, sekarang sedang
direalisasikan” (De Locomotief, 08-11-1933).
Apa yang direncanakan tersebut akhirnya dapat direalisasikan.
Beberapa minggu kemudian muncul berita dengan judul, “Heropening Cantine-Bioscoop te Gombong” dan memberikan keterangan
sbb:
“Pada hari Minggu malam, film yang berbicara direkam untuk pertama
kalinya di soos (societeit alias tempat hiburan) militer di Gombong...
diharapkan film yang dapat berbicara ini menjadi istirahat malam Minggu yang
menyenangkan baik bagi tentara maupun warga sipil. Judul film tersebut adalah
“Trader Horn” (De Locomotief
(22-11-1933).
Keramaian menonton film khususnya di tempat terbuka seperti alun-alun
masih berlangsung hingga tahun 1937 dan bersandingan dengan kegiatan kebudayaan
tradisional sebagaimana dilaporkan sebuah berita dengan judul, “Gombong:
Oranjefeest” sbb:
“Défilé dan aubade oleh anak-anak sekolah, pertandingan sepak bola,
pertandingan rakyat, hiburan publik seperti ketoprak, bioskop terbuka, wayang
akan diselenggarakan. Wedono kami, yang baru-baru ini ditempatkan di Gombong,
membuat pendopo dan halamannya tersedia untuk pertunjukan panggung dan
persiapan untuk perayaan. Pertemuan itu diikuti oleh pertemuan ramah, dengan
Dewi Ayu dan Wedono menawarkan mereka yang hadir makan malam berjalan. Para
tamu tinggal bersama sampai larut malam” (De
Locomotief, 14-12-1937)
Bahkan foto “Bioscoop Moelja” di Gombong 1947 dalam sampul judul
artikel ini memperlihatkan bagaimana menonton film masih menjadi aktivitas
keseharian masyarakat menjelang tahun 1947 (beberapa pihak meragukan pernah ada bioskop dengan
nama Moelja di Gombong).
Bagaimanakah riwayat gedung-gedung film atau bioskop tersebut saat
ini? Bioskop Gembira (Jl. Pemuda) dan Bioskop Star (Jl. Ahmad Yani) di Kebumen
telah lama gulung tikar. Diperkirakan sekitar tahun 1990-an keberadaan mereka
telah berhenti dan hanya menjadi ingatan kolektif kelompok masyarakat berusia
tertentu.
Demikian
pula dengan Gombong Theatre (Jl. Yos Sudarso) Gombong yang akhirnya meredup dan
kehilangan cahayanya pada tahun 1997-an setelah sebelumnya Bioskop Lestari dan
Bioskop Rahayu (Pasar Wonokriyo) tutup usia sekitar tahun 1992-an. (Gombong
Theatre dan Potongan Kisah Cinema Paradiso | komunitas kedung (wordpress.com)
Akankah
kejayaan film dan gedung-gedung bioskop yang menyisakan reruntuhan tembok atau
malah justru telah beralih fungsi akan mengalami kebangkitan kembali? Sebuah
pertanyaan yang tidak mudah mendapatkan jawabannya.
Di
era digital yang semakin meniscayakan menonton dan menikmati film di rumah
sendiri melalui sejumlah saluran televisi berbayar (Fox Movies, HBO, Cinemax
dll) dan hadirnya media sosial You Tube, rasanya semakin sulit membayangkan
hadirnya bioskop di kota yang bukan termasuk metropolis.
Kita
tidak perlu tersandera dan meratapi masa lalu yang mungkin tidak akan kembali.
Namun kita dapat membangun kembali kultur menonton dan menikmati serta
mengapresiasi berbagai tayangan film. Di sinilah pentingnya pembangunan komunitas-komunitas
pecinta film.
Menonton
film bukan sekedar aktivitas memuaskan hasrat menonton melainkan mempelajari
kehidupan. Bukankah film, dalam banyak hal bukan sekedar kembara imajinasi
pembuatnya melainkan dramatisasi kehidupan keseharian di mana kita bisa belajar
mengenai banyak hal?
Artikel ini pernah dimuat di Qureta.com (2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar