Setelah kurang lebih tiga puluh tahun masyarakat Kebumen tidak dapat lagi menikmati tayangan film layar lebar karena bioskop kesayangan bernama “Indrakila’ dan “Star” telah lama gulung tikar (Teguh Hindarto, Bioskop Kebumen:Antara Masa Lalu dan Yang Akan Datang - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2022/03/bioskop-dan-film-di-kebumen-antara-masa.html), maka untuk pertama kalinya pada tanggal 19 April 2023 masyarakat Kebumen kembali dapat menikmati tayangan film layar lebar di Platinum Cineplex di lantai UG Trio Mall Kebumen, Jalan Sarbini 109 Kebumen. Pembukaan tayangan untuk publik dimulai tanggal 20 April 2023 dan diresmikan Bupati dan Wakil Bupati Kebumen pada tanggal 26 April 2023.
Akhirnya,
tidak harus ke Yogyakarta atau ke Purwokerto untuk menikmati tayangan film layar
lebar luar negeri maupun dalam negeri. Penulis mencoba bergabung dengan
keramaian anak-anak muda yang begitu antusias menjelang dan pasca Iedul Fitri
masih menjejali studio dengan kapasitas kursi 150-an tersebut.
Sewu Dino, menjadi film yang dipilih penulis untuk
dinikmati. Selain ingin menikmati suasana studio film kiwari (terkini) di
Kebumen juga ingin mengapresiasi sejauh mana plot film horor Indonesia
berkembang. Ternyata tidak mengecewakan. Film yang disutradarai oleh Kimo
Stamboel tidak mengecewakan.
Buat
penulis yang sekedar menjadi penggemar film dan bukan kritikus ahli, setidaknya
cukup puas dengan teknik visual CGI (Computer Generated Imagery) yang
memperlihatkan adegan gore (berdarah)
secara dramatis dan nyaris sempurna. Plot cerita tidak monoton hanya sekedar
menceritakan hantu lokal seperti pocong, kuntilanak, jailangkung seperti yang
sudah-sudah. Tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa tidak kalah dengan
alur kisah dalam film Conjuring (Teguh
Hindarto - Film "The Conjuring: The
Enfield Poltergeist" dan Fenomena Demonik di Sekitar Kita - https://pijarpemikiran.blogspot.com/2016/06/film-conjuring-enfield-poltergeist-dan.html)yang
juga diangkat dari kisah nyata.
Sayangnya
pengucapan logat Jawa Timuran (di mana setting peristiwa ini terjadi) oleh para
pemain kurang kental dan pergantian bahasa campuran Indonesia ke bahasa Jawa
masih terasa kagok.
Sewu
Dino diangkat dari kisah nyata yang berlangsung pada tahun 2001, erdasarkan
thread dari Twitter yaitu Simple Man, kisahnya diperoleh dari seseorang dengan
identitas dirahasiakan. Manoj Punjabi selaku produser menyebutkan, jika kisah
dalam twitter 70% kisah nyata maka film ini 40% didasarkan kisah nyata.
Sewu
Dino berfokus pada sosok perempuan yang bernama Sri yang mengalami kesulitan
ekonomi dan mencoba mencari pekerjaan karena sedang membutuhkan banyak uang
untuk pengobatan ayahnya. Waktu menuntun Sri bekerja di rumah Mbah Atmojo
dengan bayaran tinggi (10 juta). Pertimbangan dirinya diterima kerja karena
lahir pada hari Jumat Kliwon. Persyaratan yang membuat Sri bertanya-tanya
sendiri.
Sri
tidak bekerja seorang diri melainkan ditemani oleh dua perempuan lain bernama
Dini dan Erna. Mereka dibawa ke gubuk yang tersembunyi di hutan. Setelah sampai
gubuk, ketiganya diberitahu bahwa tugas mereka ialah memandikan dan menjaga
Dela Atmojo (cucu Mbah Atmojo yang terkena santet sewu dino) yang diikat dan
ditempatkan ke dalam keranda. Dela yang tiak sadarkan dir dirasuki oleh roh
bernama Sangarturih
Beragam
kejadian mistis semakin menghantui mereka,selama bekerja di gubuk tersebut
terutama saat hari menuju malam dan tugas memandikan Dela harus segera
dikerjakan.
Sri,
Dini dan Erna harus menyelesaikan ritual hingga hari ke-1000, sesuai judul film
ini Sewu Dino. Ketiganya terikat perjanjian mistis dengan Mbah Karso dan harus
berjuang bertahan hidup samai Dela mengalami kesembuhan. Mereka tidak bisa
kabur dari gubuk tersebut dan jika melanggar perjanjian maka nyawa menjadi taruhannya.
Kira-kira demikianlah ringkas isi filmnya.
Apakah
masyarakat kita belum bisa bergeser dari fenomena mistik? Tentu ada ruang
khusus untuk menjawab persoalan tersebut. Namun secara historis, tema-tema
bernuansa mistik, horor, gaib atau dalam bahasa Belanda stille kracht (kekuatan
diam) sudah mewarnai genre sastra kolonial di Hindia Belanda.
Sebut
saja novel Goena-Goena karya P.A. Daum (1889). Novel ini pertama kali muncul di
surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad antara 16 April sampai 16 Agustus 1887.
Kemudian cerita serial tersebut dibukukan pada tahun 1889. Ada pula buku Goena-Goena karya
Caesar Kijdsmeir (nama samaran untuk A. Zimmerman), De Orient,
1930.
Selain
itu sebuah naskah drama berjudul Roemah Angker diterbitkan oleh J. W.
Boissevain & Co – Haarlemo 1922 ditulis oleh Johan Wilhelm Henri van
Wermeskerken
Mengapa
penulis Belanda tersebut menuliskan realitas sosial kultural yang hidup di
Hindia Belanda dalam tulisan mereka? Tentu saja karena mereka pernah tinggal di
Hindia Belanda selama beberapa tahun dan berinteraksi dengan berbagai sistem
kepercayaan lokal yang dipercayai masyarakat Hindia.
Johan
Wilhelm Henri van Wermeskerken kelahiran Rotterdam yang bekerja sebagai
jurnalis dan penulis naskah drama telah membawa dirinya ke Hindia Belanda. Di
Hindia Belanda ia menetap dan menjadi koresponden surat kabar De Telegraaf dan
Soerabaijasch Dagblad selama empat tahun Di sini para penggemar Batavia
memintanya untuk menulis sebuah karya yang akhirnya meledak dengan judul
Tropenadel (1916) dan ditayangkan di Surabaya. Anehnya, Wikipedia tidak
mencantumkan naskah berjudul, Roemah
Angker dalam ulasannya (Henri van Wermeskerken - https://nl.wikipedia.org/wiki/Henri_van_Wermeskerken)
Bedanya, pada masa itu tema-tema kepercayaan lokal belum diangkat menjadi sebuah tayangan film layar lebar. Nah, dari aspek historis kita telah mendapatkan jawabannya bahwa kesadaran tentang keberadaan “yang lain” dan “yang gaib” sudah berakar sejak sebelum era kolonial bahkan era kolonial dan menjadi komoditas baik roman, novel, drama bahkan film di masa kini.
Yuk, nonton film...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar