Apa
yang kita pikirkan jika mendengar nama “Bulupitu?” Sebagai orang Kebumen tentu
pikiran kita terarah pada sebuah perbukitan di Desa Tunjungseto yang
disakralkan dan menjadi lokasi wisata religi di masa kini. Nama Bulupitu
diidentikan dengan Nawangwulan (ada yang menyebut “Nawangsasi”) dan Jaka
Sangkrip alias Arung Binang I.
Wanawisata Edukasi dan Wisata Religi
Terletak
di desa Tunjungseto Kecamatan Kutowinangun, Gunung Bulupitu sejak tahun 2015
bukan hanya dijadikan lokasi wisata religi melainkan menjadi obyek Wanawisata
dan Edukasi. Salah satunya di lokasi ini pernah dibuka kegiatan untuk flyng fox dan outbond dengan dibuat jembatan gantung yang dipasang dari satu
pohon ke pohon lainnya dan keberadaan rumah pohon. Namun sejak terjadinya
peristiwa kecelakaan berupa jatuhnya pengunjung di jembatan gantung, maka
wisata edukasi ini sudah lama dihentikan (informasi diperoleh dari Jurukunci
Bapak Ali Wingyo).
Bulupitu
atau sekarang bernama “Kraton Suci Bulupitu” di awali dengan sebuah gapura
berwarna hijau (sebelumnya berwarna biru) dengan anak tangga kurang lebih
200-an lebih. Menaiki tangga demi tangga kita akan disuguhi pemandangan hijau
pohon yang rimbun dengan ukuran besar. Tentu saja dengan pesona mistis yang
melekatinya.
Sesampai
dipuncak bukit di sebelah kanan dan kiri ada ruangan bagi peziarah untuk
beristirahat, serta musholla kecil. Ada pula anak tangga menuju ke cungkup makam
yang dinamai Kanjeng Gusti Ayu Dewi Nawangwulan yang diapit makam yang masing-masing
diberi nama Bagus Klantung dan Bagus Cemeti.
Menurut
keterangan Bapak Ali Wingyo yang mengabdi sebagai jurukunci keberadaan bangunan
ini dibangun sejak tahun 1963. Sebelum dibangun dahulu hanya ada tiga gundukan
tanah diberi cungkup dan payung kertas. Atas inisiatif seseorang dari Solo maka
lokasi ini dibangun dengan menggunakan arsitek dari Solo juga. Dalam
perkembangannya Kraton Suci Bulupitu mengalami sejumlah renovasi dari pihak
pemerintahan daerah Kebumen.
Keanekaragaman Hayati di Bulupitu
Memasuki
kawasan hutan di Bukit Bulupitu kita akan disuguhi pemandangan sejumlah pohon
yang berusia ratusan tahun yang dilestarikan dan di lindungi tumbuh dengan
subur mulai dari Pohon Bulu (Ficus Annulata), pohon Rao (Dragon Tomelon),
pohon Manggisan (Garcinia) serta Kenari
Lugut (Canarium) dll.
Namun
menurut keterangan Bapak Ali Wignyo, keberadaan pohon Bulu yang paling tua dan
ratusan tahun hanya yang ada di pintu regol memasuki Kraton Bulupitu sementara pohon Bulu yang lain masih
berusia puluhan tahun karena proses regenerasi saja (mati dan tumbuh yang
baru). Menurut keterangannya sejak dahulu hanya ada enam pohon Bulu di hutan
ini dan yang ketujuh berada di desa sebelah yaitu desa Somagede yang juga
terdapat sumber mata air yang diyakini tempat mandi Jakasangkrip.
Benar tidaknya pernyataan Bapak Ali bahwa pohon Bulu di hutan ini hanya berusia puluhan tahun dan yang ratusan tahun hanya tingga satu tentu harus diperbandingkan dengan penelitian usia pohon secara keilmuan. Namun itu persoalan lain tentunya.
Sedikit
catatan bahwa pembuatan rumah kayu dan pemasangan papan dan kayu menggunakan
paku-paku yang menancap pada pohon berusia puluhan atau ratusan tahun, agak
disayangkan karena kontradiktif dengan niatan untuk melakukan konservasi.
Sebaliknya, tindakan ini bisa menyebabkan dekonservasi.
Bulupitu Dalam Cerita Babad
Seperti
disebutkan sebelumnya bahwa keberadaan Gunung Bulupitu tidak bisa dilepaskan
dari nama tokoh Jakasangkrip alias Surawijaya alias Arung Binang I dan Dewi
Nawangwulan (Nawangsasi).
Merujuk
pada Babad Kebumen (Soemodidjojo,
1935) dikisahkan atas petunjuk mahluk gaib penunggu Gua Menganti yaitu Ki Kerta
dan Gua Moros yaitu Kombang Ali-ali, maka Jakasangkrip diperintahkan untuk
bertapa di Gunung Bulupitu di bawah pohon Bulu dan pohon Benda di tepian sebuah
sumber mata air atau beji. Dalam tapa bratanya Jakasangkrip bertemu peri
bernama Dewi Nawangwulan dan diberi pusaka Naracabala serta dijadikan istri.
Konon menurut petunjuk sang dewi, Jaka Sangkrip diminta membuat gara-gara
dengan mencegat para mantri pamajegan yang akan mengirim bulubekti ke Kartasura
yang mana akan menjadi pengantara dia bertemu raja dan mengabdi serta diberi
kedudukan sebagai Mantri Gladag dan diberi julukan Ngabehi Honggowongso.
Kisah
yang sama diceritakan dalam Babad
Arungbinangan (Mangoensoeparto, 1935) namun lokasi di mana Jakasangkrib
bertapa disebut Desa Prajuritan. Karir Jakasangkrib naik dan mengabdi di Kraton
Surakarta karena berhasil menumpas kekacauan yang diakibatkan oleh Damarwulan
(Raden Supena) dan Menakkoncar (Raden Suratma) di Banyumas, sehingga kesalahan
Jakasangkrib yaitu menghadang mantri pamajegan diampuni dan dijadikan Bupati
Nayaka dengan gelar Tumenggung Arung Binang. Sementara Babad Arung Binang (Raden Reksodirdjo, tanpa tahun) tidak
menceritakan sama sekali kisah Jakasangkrip dan Dewi Nawangwulan dan lebih
banyak memberikan berbagai peristiwa penting berkaitan karir Jaka Sangkrip dan
pembuangannya serta peristiwa Perang Jawa dan berdirinya Kebumen dengan Bupati
Arung Binang IV sebagai bupati pertamma.
Tidak
heran jika Prof Sugeng Priyadi mengatakan, “Teks Babad Arung Binang ini
ternyata lebih menunjukkan realitas sejarah daripada teks Babad Kebumen dan
babad Arungbinangan” (Sejarah dan
Kebudayaan Kebumen, 2004:67).
Siapakah Raden Bagus Cemeti dan
Raden Bagus Klantung?
Tidak
ada keseragaman pendapat. Di masyarakat beredar pendapat bahwa keduanya adalah
putra Jakasangkrip dengan Dewi Nawangwulan sementara ada pendapat itu hanya
nama-nama pusaka yang dikuburkan di Bulupitu. Cerita lain mengatakan bahwa
bukit Bulupitu dahulunya hanya hutan namun saat seorang bernama Jaka Sangkrip
yang mengalami penyakit kulit bertemu seorang peri bernama Dewi Nawangsih yang
setelah berhasil menyembuhkan Jaka Sangkrip melalui mandi di sebuah air sumur
akhirnya menjadi istrinya dan melahirkan putri bernama Dewi Nawangsasi.
Bahkan kesimpangsiuran sudah terjadi di era kolonial. Th. Pigeaud dalam bukunya Javaanse Volksvertoningen menyebutkan bahwa Bagus Cemeti adalah roh yang menunggu di Gua Karangbolong dan salah satu dari anak mitologis kelima dari pasangan Kiai Surti dan Dewi Tisnawati. Kiai Surti adalah yang menemukan sarang burung walet namun yang dibunuh oleh abdinya yaitu Bekel Napsijah. Sementara Dewi Tisnawati adalah roh yang memberi petunjuk keberadaan sarang burung walet (1938:101)
Bulupitu Dalam Sebuah Laporan Pengukuran
Trianggulasi Tahun 1857
Sejak
era kolonial, telah banyak upaya dilakukan untuk melakukan pendefinisian datum geodetic atau sistem referensi
geospasial sebagai acuan dalam kegiatan survey dan pemetaan. Menurut beberapa
sumber, penentuan posisi dengan triangulasi (pencarian titik kordinat) dimulai
pada tahun 1862 yaitu jaring utama triangulasi di Pulau Jawa dan selesai pada
tahun 1880 yang terdiri dari 114 titik, ditempatkan di puncak-puncak gunung,
dengan tiga basis.
Trianggulasi
adalah proses mencari koordinat dan jarak sebuah titik dengan mengukur sudut
antara titik tersebut dan dua titik referensi lainnya yang sudah diketahui
posisi dan jarak di antara keduanya dengan menggunakan hukum sinus. Trianggulasi
digunakan bidang pemetaan, navigasi, metrologi, astrometri.
Namun
dengan membaca buku laporan karya G.A. De Lange berjudul, Verslag van Geodesische Trianggulatie van Residentie Bagelen en Kedoe
yang diterbitkan tahun 1857 kita mendapatkan informasi berharga bahwa kegiatan
pemetaan sudah dilakukan di wilayah Karesidenan Bagelen dan Kedu termasuk
wilayah yang Kebumen sebelum tahun 1860.
Ada
yang menarik dari buku laporan tersebut karena berisikan sejumlah jurnal
perjalanan baik tanggal dan jam serta tahun di wilayah yang disambangi
penulisnya termasuk di beberapa wilayah Kebumen kuno khususnya sebuah bukit
yang terkenal di masa kini dengan sebutan Kraton Bulupitu.
Pada
halaman 13, penulis buku laporan tersebut membuat jurnal tertulis sbb:
Pukul 1 siang saya kembali dari lokasi observasi ke Karanganjar dan langsung melanjutkan perjalanan ke Keboemen. Saya menghabiskan beberapa waktu dengan Tuan Lange, Asisten Residen di sana, dan tiba di Kedong Tawon malam itu.
Di
sekitar desa ini terdapat bukit Boeloepitoe. Bukit ini mengambil namanya dari
tujuh pohon Boeloe (de zeven Boeloe-boomen) yang berdiri di puncaknya. Di bawah
naungan pohon-pohon ini ditemukan sebuah kuburan yang terawat baik (een goed
onderhouden grafplaats), di mana anggota keluarga Bupati Keboemen dimakamkan
(waar de leden van de familie van den regent van Keboemen begraven liggen)
Bukit ini terlihat dari laut dan
terkadang berfungsi sebagai pengintaian bagi para pengintai. Saya bermalam di
desa Kedong-Tawon dan pergi ke lokasi pengamatan keesokan paginya. Saya
menyelesaikan pengamatan saya dan pergi ke Pituruh keesokan harinya. Dari sana
saya menunggang kuda pada pagi hari tanggal 12 Mei menuju desa Somogede, lalu
mendaki (gunung) Kembang yang terjal.
Apa
yang bisa kita dapatkan dari laporan setebal 61 halaman ini? Pertama, kita bisa membayangkan landskap
Bulupitu saat masih perbukitan dengan tujuh pohon bulu dan belum didirikan
sebagai bangunan seperti sekarang ini. Kedua,
menurut laporan ini keberadaan pohon Bulu sebanyak tujuh buah berada dalam satu
kawasan dan tidak terpisah. Saat ini keberadaan pohon Bulu di kompleks Kraton
Bulu Pitu ada enam. Ada yang mengatakan satu pohon telah tumbang dan mati namun
ada yang mengatakan yang ketujuh berada di Desa Somagede tetangga Desa
Tunjungseto.
Ketiga, disebutkan hanya ada satu makam dalam kondisi
yang baik dan terawat dan disebutkan masih kerabat bupati Kebumen. Testimoni
tentang jumlah makam dan makam siapa dari penulis laporan ini yaitu G.A. De
Lange belum membuktikan pengetahuan penulisnya mengenai asal-usul makam namun
setidaknya memberikan testimoni paling awal bahwa di kawasan hutan ini sudah
ada pohon Bulu dan makam yang terawat baik. Keempat, kita memperoleh informasi bahwa Asisten Residen Kebumen
saat itu bernama Lange atau J.F.W.A. Lange yang menjadi Asisten Residen Kebumen
dari tahun 1857-1860. Jika demikian, siapakah Bupati Kebumen yang memerintah
saat itu? Arung Binang V alias Bagus Sanglir yang memerintah dari tahun
1849-1877 (Teguh Hindarto, Melihat
Kehidupan Sosial di Kebumen Melalui Karya Litografi 1852 - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/07/melihat-kehidupan-sosial-di-kebumen_27.html).Kelima, moda transportasi kala itu
adalah kuda dan kereta kuda. Itulah sebabnya untuk berpegian dari satu lokasi
ke lokasi lain, penulis laporan ini yaitu G.A. De Lange harus mengendarai kuda.
Sebuah
dokumen kuno (surat, surat keputusan, lembar negara, buku, majalah, jurnal,
surat kabar) dan karya litografi serta foto lama dapat menghubungkan masa kini
dan masa lalu. Dokumen laporan pengukuran trianggulasi 1857 telah menghubungkan
masa lalu dan masa kini Gunung Bulupitu
Terima kasih referensinya Pak Teguh H. Menambah khasanah keilmuan tentang kekebumenan.
BalasHapusTerimakasih moral supportnya. Istilah menarik "Kekebumenan"
Hapus