Sebuah
pesan Whatsapp penulis terima pada tanggal 3 Januari 2023 yang berisikan berita
duka mengenai wafatnya Bapak Tirtowenang Kolopaking pada tanggal 2 Januari pk
22.35 di R.S. Carolus Ruang Gabriel A. Lt. 6. Penulis tidak tahu persis
seberapa paham masyarakat Kebumen mengenai figur almarhum mengingat tidak ada
satupun media sosial yang memberitakan kewafatannya. Namun bagi Trah Kolopaking
(di Kebumen khususnya), tentulah nama ini tidak asing. Apalagi beberapa tahun
lalu pernah diadakan sebuah pertemuan di Kebumen dengan mengambil tema, “Temu
Kangen Trah Kolopaking” (11 Januari 2020).
Penulis
sendiri tidak pernah bertemu beliau sekalipun dan tidak memiliki hubungan
secara personal. Namun penulis merasa terhubung dengan almarhum Tirtowenang Kolopaking
melalui sebuah buku tebal yang ditulisnya dengan judul, “Sejarah Dinasti Kanjeng
Raden Adipati Tumenggung Kolopaking Pendopo Panjer Rooma Kebumen” yang
diterbitkan tahun 1997 dan direvisi serta diterbitkan ulang dengan judul, “Sejarah
Silsilah Wiraseba Banyumas: Kia Ageng Manger, Kolopaking, Arung Binang” tahun
2006. Edisi revisi ini memiliki tebal sebanyak 490 halaman.
Meskipun
buku ini lebih bersifat historis naratif tinimbang historis analitis dan masih
banyak dijumpai kekurangan dalam hal metodologis (dengan rendah hati almarhum
mengakui miinimnya sumber data primer dengan mengatakan, “simpang siurnya
cerita Kolopaking dari dongeng versi ketoprak yang kebanyakan mengandung mistik”,
2006:vii) namun bagi penulis, buku ini tetap menjadi sebuah literatur berharga
yang ditulis oleh kalangan non akademisi sejarah. Bahkan buku ini ditulis dalam
keadaan beliau masih sakit stroke, sebagaimana disebutkan dalam kata pengantar
buku yang dituliskan oleh DR. Ir. H. KPA. Yuwono Joyonegoro Kolopaking (2006:v).
Luar biasa!
Apa
nilai penting buku karya Tirtowenang Kolopaking yang sekaligus menjadi sebuah legacy yang ditinggalkannya bagi
generasi yang hidup di masa kini? Pertama,
buku ini menjadi sebuah jembatan penghubung antara masa kini dan masa lalu
Kebumen. Tirtowenang Kolopaking berusaha melacak tradisi lisan yang masih
diingat dan beberapa tulisan berupa babad yang mengisahkan ketika Kebumen masih
bernama Panjer dan dipimpin oleh dinasti Kolopaking. Demikian pula ketika
perpindahan dan pergantian dari Panjer menjadi Kebumen dan dipimpin oleh
dinasti Arung Binang. Kedua, kita
tidak akan pernah mengenal tokoh pendekar wanita bernama Tan Peng Nio yang dinikahi
Kolopaking III (Sulaiman Kertowongso) dan keturunannya di masa kini.
Sekalipun
penuturan yang disampaikan Tirtowenang dalam buku ini masih terbuka dikritisi
perihal akurasi kehistorisannya, namun setidaknya melalui buku ini kita bisa
mengetahui latar belakang historis Kebumen di era Hindia Belanda. Tidak kurang
Prof. Sugeng Supriyadi menjadikan buku Tirtowenang sebagai salah satu rujukan dalam buku yang
beliau tulis (pada waktu itu beliau masih Lektor Kepala pada FKIP Universitas
Muhamadiyah Purwokerto dan belum menjadi Guru Besar) dengan judul, “Sejarah dan
Kebudayaan Kebumen” (2004). Selain Prof. Sugeng, penulis sendiri kerap mengutip
buku Tirtowenang dalam beberapa artikel yang dipublikasikan di blog pribadi (http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com).
Tidak
banyak yang diketahui mengenai Tirtowenang Kolopaking (Alm). Penulis hanya
mendapatkan beberapa keterangan yang bersifat fragmentaris dari pihak keluarga (Bapak Bambang Kolopaking) bahwa beliau
dilahirkan tahun 1940 (wafat dalam usia 82 tahun). Putra Tan Kie Lip (cucu Tan
Eng Kiat dan Tan Eng Kiat sendiri putra pendekar wanita Tan Peng Nio) ini
memiliki nama Tionghoa Chen Tju Sie. Nama panggilan masa kecilnya, Bonang.
Siapa nama ibundanya? Tidak ada kejelasan mengenai ini. Ada yang mengatakan
bernama “Bibi Cuwo” ada yang mengatakan “Ibu Marfuah”. Sang ayah dinyatakan
hilang sejak tahun 1947. Tidak disebutkan apa
latar belakang hilangnya sang ayah. Apakah karena terdampak peristiwa
Agresi Militer I (1947) atau karena sebab lain, tidak ada satupun yang
mengetahuinya.
Kehidupan
yang dijalani Tirtowenang Kolopaking sangat sulit (apalagi dengan hilangnya
figur penopang keluarga yaitu sang ayah yang hilang entah kemana dan di mana).
Namun karena ketekunannya dalam bekerja keras, perlahan kehidupan ekonominya
mulai membaik. Sekitar tahun 1958 Tirtowenang tinggal di Gombong dan kerap
pulang pergi ke Surabaya dengan meengendarai kereta api untuk menjual kelapa
dan beras di Surabaya. Tempat menginap selama di Surabaya di rumah Gan Tjong
Un. Selain ke Surabaya kemudian menjual kelapa ke Jakarta.
Kehidupan
ekonomi semakin membaik saat Tirtowenang bekerja di perusahaan kimia. Setelah
menikah kemudian tinggal di Jakarta dan berhasil membeli gudang untuk kemudian
disewa-sewakan sebagai tempat penitipan barang. Sebuah masalah besar melanda
kehidupan ekonominya saat dituduh menyimpan barang curian di gudangnya sehingga
menyebabkan gudang yang dimilikinya dijual. Uang penjualan terkuras untuk membiayai
perkara persidangan. Persoalan ini tentu berdampak secara psikis sehingga turut
berkontribusi terhadap sakit stroke yang dideritanya pada tahun 1998.
Meskipun
latar belakang kehidupan beliau masih banyak diselimuti kabut sehingga kita
tidak mendapatkan gambaran keseluruhan kisahnya, namun melalui legacy yang telah ditinggalkan Tirtowenang
Kolopaking yaitu buku berjudul, “Sejarah Silsilah Wiraseba Banyumas: Ki Ageng
Manger, Kolopaking, Arung Binang” (2006), generasi kini di Kebumen dapat
sedikit menyibak kabut melihat gambaran sejarah masa lalu kotanya.
Tulisan
pendek ini adalah sebentuk penghormatan dan kenangan terhadap upaya literasi
yang telah dilakukan oleh Tirtowenang Kolopaking semasa hidupnya (sekalipun penulis terbilang terlambat mempublikasikan karena sejumlah kesibukan). Selamat jalan
Bapak Tirtowenang Kolopaking. Kekallah kenangannya.
Disitu disebutkan Dr Ir Yuwono Joyonegoro Kolopaking. Kemungkinan beliau adalah Ir Yuwono Kolopaking yg pernah menjadi Dirut Buton Aspal, kemudian Dirut Jasa Marga. Saya kenal baik dgn beliau thn 1973 - 1976 ketika saya bekerja di PT Multi Agro (anak perusahaan Astra International) dimana beliau jadi salah satu Komisaris. Dlm silsilah Eyang Kromoleksono juga disebutkan Eyang Putri Kromoleksono masih keturunan Kolopaking.
BalasHapus