Rabu, 01 Mei 2024

BAU ARIS R. KAROLUS WIRYOGUNO: DARI MUSQAB GAIB SAMPAI PEMBUKAAN HUTAN KRACIL

Buku berjudul, Bau Aris R. Karolus Wiryoguno: Pemimpin Babad Hutan Kracil (Cikal Bakal Berdirinya Desa-Desa di Mojowarno karya R. Hadi Wahyono (Taman Pustaka Kristen, 2018) melengkapi historiografi sejarah gereja di wilayah Jawa Timur yang saat ini dikenal dengan nama Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) yang sebelumnya pada tanggal 11 Desember 1931 di Mojowarno bernama Pasamuwan-Pasamuwan Kristen Jawi ing Jawi Wetan.

Buku ini mengisahkan perjalanan hidup sekelompok keluarga dari Kesultanan Bangkalan bernama Pangeran Cokrokusumo (R. Abdulrasyid) putra ke-25 Sultan Bangkalan II yaitu Sultan Cokroadiningrat II yang meninggalkan Bangkalan tahun 1831. Setelah meninggalkan gelar kebangsawanan berganti nama menjadi Kyai Mendung dan tinggal di Dosermo dan desa Bogem di Sidoarjo. Pangeran Cokrokusumo dengan istri pertama Bok Hanafiah (Dorkas) mempunyai putra dan putri antara lain: R. Muhammad Hanafiah, R. Ngt. Kawistah Tabita, R. Paing Karolus Wiryoguno, R. Samodin Simson, R. Ngt. Bainah Paulina, R. Baren Eliso.

Buku berjudul, Madoera en Vorstenhuis (1936) yang ditulis untuk memperingati 30 tahun pemerintahan Bupati Bangkalan Raden Adipati Arjo Tjakraningrat, dijabarkan secara detail garis silsilah bangsawan Madura mulai dari Tjakraningrat 1 (1624-1628).

Tokoh utama yang hendak dikisahkan dalam buku ini berpusat pada figur bernama Wiryoguno (putra ketiga Pangeran Cokrokusumo alias Kyai Mendhung) yang berusaha menemukan makna penglihatan yang diterimanya saat dijumpai sosok berambut panjang yang berkata, “Jika engkau sungguh-sungguh ingin selamat jiwa ragamu,carilah ilmu yang bernama Musqap Gaib”.

Perjalanan kerohaniannya mempertemukan dirinya dengan dua orang yang mempengaruhi kehidupan selanjutnya yaitu C.L. Coolen (peranakan Rusia-Belanda dan Jawa yang membuka hutan di Ngoro dan menjadi pemimpin agama Kristen di sana) dan Johanes Emde di Bagongan Surabaya. Setelah memantapkan dirinya belajar kekristenan pada Coolen dan Emde maka pada tanggal 13 April 1844 dan menerima nama baptis Karolus.

Bersamanya ada 30 orang anggota keluarga dibaptis dari 52 orang yang dibawa dari Bangkalan. Satu hari setelah baptisan, Karolus Wiryoguna dengan didampingi adiknya, Samodin Simson dan Pendeta J. Emde mengharap Residen Surabaya (P.J.B. de Perez) untuk meminta ijin membuka Hutan Kracil di kawasan Wirosobo (Mojoagung, Jombang sekarang) dan Japan (Mojokerto sekarang). Selanjutnya rombongan keluarga ini mengantarkan surat ijin  tersebut kepada Asisten Residen A.D. Daendeles di Japan (Mojokerto) dan Wedana Wirosobo (sekarang Mojoagung, Jombang). Perlu diketahui A.D. Daendels pernah bertuga sebagai asisten residen di Kebumen dan Ambal tahun 1838 (Teguh Hindarto, Ambal:Kenangan Kabupaten Pesisir Selatan 1830-1872,Deepublish 2023:20).

Tahun 1848 di kawasan Hutan Kracil ini dibukalah tiga desa yaitu Mojowarno (dipimpin Ditotruno yang dibaptis tahun 1852), Mojowangi (dpimpin Eliasar Kunto serta Mojoroto dipimpin Karolus Wiryoguno. Setelah sukses membuka tiga desa baru dilanjutkan dengan proyek  membangun jalan Mojowarno-Wirosobo dan membangun bendungan yang mengairi pesawahan di kawasan Mojowarno sampai Mojojejer. Atas prestasinya, Karolus Wiryoguno ditetapkan sebagai Bau Aris I atau koordinator para Kepala desa yang bertanggung jawab langsung kepada Wedana dari tahun 1850-1874.

Sayangnya nama Karolus Wiryoguno tidak disinggung dalam buku J.D. Wolterbeck penulis Babad Zending ing Tanah Jawi (1939). Namun dalam karya C.W. Nortier yang berjudul, Van Zendingsarbeid tot Zelfstadige Kerk in Oost Java (1939) nama Karolus Wiryoguna disebut sebagai pionir pembuka hutan sebagaimana dikatakan, “Ten noorden van Modjowangi begon Karolus (Wirjo-goeno) met de ontginning en den aanleg van de dessa Modjoroto” (Di utara Mojowangi, Karolus (Wirjo-goeno) memulai pembukaan dan pembangunan desa Mojoroto, 1939:33). Mungkin dikarenakan prestasi dan tugas utamanya di bidang pemerintahan tinimbang memfokuskan pada kegiatan Pekabaran Injil, sehingga namanya oleh para penulis Zending tidak disebutkan sebagaimana mestinya.

Setidaknya, buku kecil dan padat ini dapat melengkapi historiografi sejarah gereja-gereja tradisional yang berkembang di Jawa Timur yang bukan hanya dibentuk melalui peran para pendeta berkebangsaan Belanda namun juga peran orang-orang Jawa, baik yang memegang jabatan pemimpin birokrasi desa maupun pekabar Injil secara khusus. Nama Karolus Wiryoguna, layak ditempatkan dalam historiografi gereja sebagaimana nama-nama Paulus Tosari, Tunggul Wulung (https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2022/04/kiai-tunggul-wulung.html), Sadrach Soeropranoto (https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2023/07/jejak-dan-peninggalan-kiai-sadrach.html) dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar