Sebuah buku diterbitkan dengan judul Kembang Mantja Warna buah karya W. Van Gelder oleh penerbit De Swart & Zoon 1929. Gelder dikenal menulis beberapa buku pendidikan Al., Geschiedenis Van Nederlandsch Oost-Indie voor de Scholen Aldaar Bewerkt, Atlas Sekolah Hindia Nederland dll. Salah satu bukunya dalam bahasa Sunda, Mangle: Nyaeta Roepa-Roepa Tjarita Reudjeung Tjonto ditujukan untuk siswa sekolah Sunda diterbitkan oleh penerbit De Swart en Zoon 1902. Buku dalam bahasa Sunda yang populer menjadi bacaan anak-anak ini diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan judul, Kembang Mantja Warna dan dialihbahasakan Jawa oleh M. Abdoelah, seorang guru bahasa bagi calon priyayi di Blitar.
Sekalipun buku bahasa Jawa ini adalah karya terjemahan bahasa Sunda, namun cerita-cerita pendek sebanyak 35 (dalam terjemahan bahasa Jawa ditambah menjadi 45 buah cerita pendek) buah tersebut bukan sekedar diterjemahkan namun disusun oleh setting peristiwanya dalam konteks wilayah orang-orang yang hidup di luar Sunda (Jawa Barat) yaitu di Jawa Tengah.
Nah,
salah satu cerita yang menarik dalam buku bahasa Jawa tersebut adalah yang
berjudul Pirik di halaman 7-9 dengan
setting peristiwa di Kebumen dan locus Desa Kedoeng Wrante (disebutkan sebelah
selatan Kebumen. Nampaknya ini nama lama untuk Wrante Wringin yang sekarang
berada di Kecamatan Bulus Pesantren) dan Sungai Loekoela (Luk Ula). Sementara
dalam buku berbahasa Sunda diberi judul, Marak
dengan setting peristiwa di Dago
dan Sungai Tjikapoendoeng (Cikapundung) dekat desa Bengkok.
Apa
yang menarik dari cerita pendek berjudul Pirik
dan apa arti kata Pirik? Sebagai
pembuka cerita dikatakan demikian:
"Ing
mangsa katiga ngerak wong ing desa Kedoeng-rante sa-kidoele Keboemen pada
semajan arep pirik ing kali Loekoela sa-tjedaking desa" (Pada musim
kemarau orang di desa Kedungrante sebelah selatan Kebumen sudah saling berjanji
akan melakukan pirik di sungai Luk Ulo).
Jika
diteruskan, cerita pendek ini mendeskripsikan kesibukan orang-orang untuk
mendapatkan ikan di sungai Luk Ulo dengan cara membendung aliran sungai yang
tidak begitu deras dengan berbagai sarana mulai dari batu dan tanah liat agar
mendapatkan ikan yang berkeriap di sungai sebagaimana dikatakan:
"Toemoeli wong lanang tjantjoet toemandang gawe, ana kang mbendoeng nganggo watoe, ana kang ngawani endoet kanggo mopok bendoengan, ana kang mangisor masang itjir ketawa woewoe kanggo masangi iwak kang milir" (Selanjutnya orang laki-laki bersiap sedia bekerja, ada yang membendung menggunakan batu, ada yang membawa tanah basah untuk membuat bendungan, ada yang ke bawah memasang icir atau wuwu untuk menadahi ikan yang lewat).
Penulis tidak yakin istilah Jawa pirik apakah masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari khususnya di Kebumen. Namun di beberapa wilayah seperti Kabupaten Batang masih dipergunakan istilah Pirik Iwak untuk sebuah aktifitas budaya tahunan yang disebut Festival Pirik Iwak di mana dilangsungkan menangkap ikan dengan tangan di aliran sungai yang tidak begitu dalam. Di Banjarnegara disebut dengan Parak Iwak dan dilaksanakan pada kegiatan tahunan bernama Festival Serayu Banjarnegara.
Parak Iwak Banjarnegara
(Solopos.com)
Buku
cerita dalam bahasa Sunda menggunakan istilah Marak dengan setting
sungai Cikapundung,sebagaimana dituliskan
"Keur
waktoe katiga banget oerang Dago badami djeung batoerna, pokna: 'Hajoe
batoer-batoer, isoek oerang mararak Tjikapoendoeng palebah Lembor Bengkok,
sabab tjai keut orot" (Pada musim kemarau, orang Dago mengajak temannya: Ayok
teman-teman, besok kita mararak Sungai Cikapundung sebelah desa Bengkok,
mumpung air sedang sudut)
Dari
cerita pendek bahasa Jawa ini kita bisa membayangkan habitat alami yang pernah
mendiami Sungai Luk Ulo sangat beragam mulai dari ikan lele, pulung, wader,
kutuk sebagaimana petikan keriuhan penduduk yang sedang menangkap ikan di
sungai yang dibendung dengan menggunakan aneka peralatan seperti irig, icir,
kepis, susug al.,
"Akoe
oleh poeloeng! Oleh poeloeng! Oet, mroetjoet maneh! Mlajoe ngalor!"
"Iki
kene oetjenge pating seluruh kaya dawet"
"Kae,
Marman, mboerimoe ana lele krogelan!"
Apakah
habitat hewani yang beragam tersebut masih tersedia sama sebagaimana dituliskan
dalam cerita pendek tahun 1929? Entahlah, namun cerita pendek ini mampu membawa
kita pada suasana ekologis dan keragaman hayati yang pernah mendiami aliran
sungai Luk Ulo pada kurun masa tertentu.
Kita
yang hidup di masa kini selalu punya pilihan untuk menjadikan ekosistem sungai
sebagai kawasan yang mendatangkan kebaikan atau bencana yang mematikan. Demikianlah
cerita pendek yang memperlihatkan suasana pedesaan dan sungai legendaris yaitu
Sungai Luk Ulo dalam buku bacaan anak-anak di tahun 1929
Tidak ada komentar:
Posting Komentar