Gumuk pasir/gundukan pasir demikian masyarakat pesisir selatan Kebumen menamai landskap berpasir yang tinggi yang memisahkan deburan air laut dengan daratan menuju desa-desa terdekat. Gumuk pasir dibentuk oleh alam. Aliran air sungai membawa pasir ke muara di laut, kemudian pasir yang lembut terbawa ke tepi pantai, mengering lalu terbang terbawa angin. Dalam proses yang bukan satu tahun dua tahun namun ribuan tahun, pasir yang terbawa angin itu menumpuk dan terbentuklah gumuk.
Sejumlah pantai di kawasan Urut Sewu Kebumen masih memperlihatkan penampakan gumuk-gumuk pasir. Katakanlah Pantai Lembupurwo di Mirit yang memiliki Laguna di dalamnya. Pantai Tegalretno dan Karanggadung di Petanahan mulai kehilangan gumuk pasirnya karena penambangan pasir untuk keperluan campuran pembuatan genting dll.
Di era kolonial, kawasan Urut Sewu dengan barisan desa yang memanjang dari perbatasan Yogyakarta sampai pantai Karangbolong dikenal dengan penampakan gumuk-gumuk pasirnya. Sebagaimana dilaporkan dalam sebuah artikel berjudul, De Toestand Van Bagelen 1830 yang dimuat Tijdschrift Voor Nederlandsch Indie (20st Jaargang II, 1858:68-69) sbb:
Setelah memberikan pandangan umum tentang Bagelen, kita beralih ke Oeroet Sewoe. Ini adalah jalur tanah yang panjang, lebarnya tiga atau empat dan panjangnya sekitar 40 pal, membentang dari sungai Tjinjing Goeling di Karang Bolong hingga batas ujung Mataram...Lanskap ini adalah tanggul yang dikelilingi bukit pasir (met duinen afgezette dijk), yang menentang kemarahan air laut dan mencegahnya merebut kembali daratan Bagelen yang lebih rendah.
Jauh dari menyerah pada kekuatan ombak Laut Selatan yang tidak terhalang, tanggul ini, sebaliknya, terus tumbuh, karena pasir yang tampaknya digali oleh gelombang berbusa dari kedalaman jurang dan dilemparkan ke sini.
Dari ujung ke ujung, lanskap Oeroet Sewoe ini dihuni dan ditanami, sehingga satu desa panjang, yang dihiasi dengan pohon kelapa dan pohon buah-buahan lainnya, membentuk keseluruhan bagian tengah, dan tanah tegalan yang indah dan di sana-sini sawah mengelilingi desa di kedua sisinya
Deskripsi di atas memberikan kepada kita sebuah gambaran bagaimana gumuk-gumuk pasir menjadi sebuah karakteristik khas landskap di kawasan Urut Sewu yang membentang dari batas Yogyakarta sampai Karangbolong, Kebumen. Di era kolonial, Karangbolong menjadi district di wilayah regentschap (kabupaten) Ambal. Namun setelah Ambal dihapus sebagai kabupaten tahun 1871 maka Karangbolong menjadi wilayah regentschap Karanganyar. Setelah Karanganyar dihapus status kabupatennya tahun 1935 maka Tahun 1937 Karangbolong menjadi wilayah regentschap Kebumen.
Dalam buku berjudul, Beschrijving Geologische Van Java en Madoera (1896) yang ditulis geolog bernama R.D.M. Verbeek dan R. Fennema, disinggung pula mengenai gumuk pasir setinggi 5-11 meter di kawasan Urut Sewu (Teguh Hindarto, Karangsambung Dalam Riset Geologi R.D.M. Verbeek Dan R. Fennema (1896) Serta Ch. E.A. Harloff (1933) - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2022/07/karangsambung-dalam-riset-geologi-rdm_5.html)
Omong-omong soal gumuk pasir, keberadaanya ibarat tanggul alam untuk menahan gelombang laut khususnya tsunami. Di era kolonial, sisi negatifnya adalah menjadikan aliran air dari Utara tertahan sehingga membentuk rawa-rawa. Beberapa rawa yang tercatat adalah Rawa Wawar yang berbatasan dengan Purworejo dan Rawa Tambakboyo di Karangbolong.
Selain sebagai penahan gelombang laut, di masa kini, keberadan gumuk pasir dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan bercocok tanam seperti penanaman melon, cabai dll. Bahkan bisa dimanfaatkan menjadi sebuah lokasi wisata yang menyediakan kegiatan "sandboarding" (berselancar di atas pasir) sebagaimana dilakukan di Pantai Parangkusumo, Yogyakarta.
Bagaimana nasib gumuk-gumuk pasir kita di masa depan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar