DR. Theodor Gautier Thomas Pigeaud
(1899-1988) adalah seorang ahli sastra Jawa dari Belanda. Karya mashurnya
adalah Javaans Nederlandsch
Handwordenboek (1938) yang menjadi dasar pembuatan Baoesastra Djawa oleh
Wilfridus Josephus Sabarija Poerwadarminta. Karya lain yang menjadi magnum opus adalah, Java in the 15th Century: A Study in Cultural History: The Nagara
Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 AD. Buku ini ditulis dalam
5 volume.
Ada kajian menarik dari salah satu
bukunya yang berjudul, Javaans
Volkvertoningen terbitan Volklectuur Batavia, 1938. Buku setebal 545
halaman ini membahas mengenai inventarisasi berbagai bentuk kesenian yang ada
di Jawa baik itu wayang, tarian, tari topeng, kuda lumping dan berbagai pertunjukan
kesenian rakyat lainnya.
Pada halaman 173 ada ulasan pendek
mengenai cepetan, sebuah ekspresi kesenian lokal Kebumen yang berkembang di
wilayah pegunungan utara. Beberapa kutipan pernyataan yang diperlukan sbb:
Mengenai
tjepetan atau pitik walik, yang disebutkan oleh Tuan Inggris (nama orang) dalam
deskripsi pertunjukkan di Wanakrija (deskripsi lain juga disebutkan oleh wedana
Poering). Nama lainnya adalah munyukan kemudian menggunakan topeng seperti
monyet dengan taring yang menonjol dan pada bajunya yang terbuat dari kain
bagor, dilekati dengan bulu ayam
Sosok
ini, menurut keterangan harus sesuai dengan yang disebut Djakalodra di
Surakarta atau jauh lagi ke timur dan kawasan pesisir disebut sebagai genderuwo
atau Tetek melek. Demikian pula sebagaimana keterangan Tuan Inggris, istilah
tjepet di Barat Daya Jawa juga dimaknai sebagai roh atau hantu khususnya
seperti poentianak (maksudnya kuntilanak)
Pada
halaman sebelumnya yaitu 170-171, Pigeaud menuliskan demikian,
Di
Wanakrija juga terlihat tjepetan atau pitik walik, seseorang yang memakai
topeng dengan mengenakan karung yang dilekati bulu ayam. Namun, Tuan Inggris
menyebutkan bahwa ada jenis lain dari tjepetan, yang mewakili makhluk
perempuan. Ibu ini kemudian memiliki rambut panjang, payudara menggantung
panjang, dan bagian belakang dicat sedemikian rupa sehingga orang bisa
membayangkan sebuah lubang di sana. Ini mengingatkan pada konsepsi puntijanak
atau kuntilanak, roh yang memangsa anak-anak dan ibu hamil pada khususnya.
Mungkin orang juga bisa memikirkan wewe yang sudah disebutkan di atas
Dari keterangan pendek ini kita bisa
mendapatkan beberapa keterangan berharga bahwa istilah cepetan sudah dikenal di tahun 1930-an dan dipentaskan di
Wanakriya, Gombong. Sekalipun tidak disebutkan sejarah dan maknanya namun
penggambaran figurnya memang dihubungkan dengan keberadaan roh-roh yang
menakutkan bahwa dihubungkan dengan sejumlah mahluk lain baik itu genderuwo
atau kuntilanak dll. Bisa dikatakan istilah cepetan belum mengalami
standarisasi figur sebagaimana di masa kini dan masih bisa merujuk pada sejumlah
sosok menyeramkan lainnya.
Bisa jadi dalam perkembangan selanjutnya
mengalami berbagai modifikasi dan narasi baru sebagaimana yang terjadi di masa
kini di wilayah utara Kebumen. Namun yang tidak bisa dipungkiri memang sosok
ini sejak era kolonial selalu dikaitkan dengan sosok gaib penunggu hutan yang
dianggap menyeramkan yang kemudian diterjemahkan menjadi figur dalam sebuah
tarian.
Kiranya deskripsi yang dilakukan Pigeaud
dalam buku yang diterbitkan tahun 1938 ini bisa menjadi peta jalan memahami
dinamika kesenian rakyat di wilayah eks karesidenan Bagelen/Kedu di mana
Kebumen berada di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar