Kita tentu masih ingat peristiwa beberapa
tahun silam yaitu di tahun 2017 di mana seorang kepala desa di kecamatan
Rowokele berurusan dengan polisi karena terlibat beberapa kali pencurian yang
notabene di rumah warganya sendiri.
Ein kol khadash takhat ha shames (tidak ada yang baru di bawah
matahari) demikian sebuah ungkapan kuno dalam bahasa Ibrani. Sebuah kejadian serupa
pernah terjadi di tahun 1922 di Kebumen. Namun lokasi kejadian kali ini di Desa
Surotrunan yang kala itu masuk District Alian Regentschap Kebumen. Bukan
pencurian semata melainkan perampokan. Peristiwa perampokan sebelumnya terjadi
di Mirit. Istilah untuk perampok/perampokan pada waktu itu disebut dalam bahasa
lokal Ketjoe (kecu).
Apakah Ketjoe (Kecu) itu? P.A.F. van Veen en N. van der Sijs dalam Etymologisch
Woordenboek: de Herkomst van Onze Woorden (1997) menjelaskan mengenai
istilah kecu sbb:
“ketjoe [roversbende] {1886} <
maleis kecu [rover, rampokker, beroving] < javaans (ngoko) wong kecu,
javaans (krama) tiyang kecu [bandiet(en)]”
(ketjoe [kelompok perampok]
{1886} < bahasa Melayu, kecu [perampok, perampok, perampokan] < bahasa Jawa
(ngoko) wong kecu, bahasa Jawa (krama) tiyang kecu [bandit])
Demikian dalam buku berjudul, Inleiding in het Maleisch, Zooals dat in
Indiee Dagelijks Wordt Gesproken (1900) memberikan keterangan sbb:
“plunderen (rooven): rampas, iemand
plunderen, berooven, hem zijn goed ontrooven, merampas barang orang; hij is
door ketjoes van al zijn geld beroofd, oeangnja semoea dirampas ketjoe”
(menjarah (merampok): rampas,
tindakan merampas, merampok seseorang, merampas hartanya, merampas barang
orang; dia telah dirampok semua uangnya oleh para ketjoe, uangnja semoea
dirampas ketjoe)
Jadi Ketjoe adalah istilah khas untuk tindakan kriminal di era kolonial
yang bermakna pencurian. Ini dibedakan dengan tindakan pencurian biasa karena
disertai tindakan kekerasan.
Menurut laporan surat kabar Het Nieuws van den dag Voor
Nederlandsch-Indie (18 November 1922) bahwa aksi penangkapan yang
mengejutkan ini dikarenakan kepala kecu (perampok) adalah sang kepala desa itu
sendiri. Yang lebih mengejutkan lagi adalah menurut organisasi Boedi Oetomo
bahwasanya sang kepala desa pernah mendapatkan sejumlah penghargaan karena “pengabdian
dan perilaku baiknya (langdurigen dienst
en goede trouw).
Cukup mengherankan berita ini.
Bagaimana mungkin seorang terpandang secara sosial bahkan sempat mendapatkan
medali penghargaan justru terlibat tindakan kriminal bahkan menjadi pimpinan
tindakan kriminal yang disebut kecu. Itulah sebabnya surat kabar ini menutup
dengan sebuah pertanyaan retoris, “Siapa tersenyum di sana?” (Wie lacht daar?)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar