Tanggal 4 Maret 1942 lalu, angkatan laut Jepang berhasil merangsek ke Cilacap dan menenggelamkan 23 kapal dan menahan 4 kapal yang hendak menerobos blokade angkatan laut Jepang. Sebanyak 100 awak kapal ditahan.
Satu skuadron pesawat angkatan laut Jepang memporak-porandakan pelabuhan Cilacap dengan bom dan menenggelamkan lima dari tujuh kapal di pelabuhan. Bom telah mengakibatkan kebakaran hebat di galangan kapal dan gudang penyimpanan. Dua pesawat terbang Belanda hancur di sekitar Cilacap, demikian laporan surat kabar Dordrechtsche Courant (9 Maret 1942).
Inilah detik-detik keruntuhan
pemerintahan Hindia Belanda di Banyumas dan Kedu dan awal pemerintahan Jepang
yang dalam ramalan yang dipercaya masyarakat Jawa berasal dari Prabu Jayabaya
sebagai, "kejajah seumur jagung karo wong cebol kepalang"
Susanto Zuhdi dalam bukunya
menjelaskan bahwa balatentara Jepang masuk ke Jawa melalui beberapa tempat
yaitu Merak di Teluk Banten oleh pasukan infantri dan melalui Eretan dekat
Cirebon oleh Brigade Shoji serta di Kragan, Jawa Timur oleh pasukan infanytri divisi
ke-48. Divisi ke-48 dibagi dua yang satu menuju Surabaya hingga terus ke Malang
dan divisi yang satu lagi menuju Cilacap. Gerak pasukan divisi ke-48 melalui
Sampang, kota kecamatan di utara Cilacap. Sementara sejumlah pesawat terbang
telah memasuki kota Cilacap untuk menjatuhkan sejumlah bom. Sejumlah tempat
yang mengalami pemboman di Cilacap al., Bataafsche Petroleum Maatschappij
(BPM), pabrik minyak kelapa Mexolie Olvado serta perumahan buruh di Tambakreja
(Cilacap 1830-1942: Bangkit dan Runtuhnya
Suatu pelabuhan di Jawa, 2016:138).
Sayangnya, tidak ada peristiwa
penting dan genting yang tercatat selama 3,5 tahun apa saja yang telah
diperbuat Jepang di Kebumen meliputi kapan mereka masuk kota Kebumen, siapa
perwira yang berkuasa di kebumen, kebijakan ekonomi politik yang dijalankan di
Kebumen, seberapa besar perlawanan pemerintahan Hindia Belanda di Kebumen,
bagaimana respon masyarakat serta apa yang terjadi selama Jepang berkuasa di
Kebumen dll.
Satu-satunya artefak Jepang hanyalah benteng pengawasan di bukit Gajah, Argopeni Kecamatan Ayah http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2018/01/jejak-jepang-di-bukit-gajah-argopeni_94.html).
Sekalipun belum ditemukan
sejumlah dokumen yang menggambarkan pemerintahan Jepang selama 3,5 di Kebumen
namun dapat dipastikan bahwa sebagaimana di wilayah lain yang dikuasainya,
Jepang senantiasa membentuk organisasi militer al., Heiho dan PETA. Demikian
juga di wilayah Kebumen. Data ini didapatkan ketika membaca buku berjudul, Gelegar di Bagelen: Perjuangan Resimen XX
Kedu Selatan 1945-1949 dan Pengabdian Lanjutannya (2003)
Dalam buku ini dijelaskan ketika
Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 maka di
sejumlah daerah termasuk Purworejo, Kutoarjo, Kebumen, Karanganyar, Gombong
dilakukan rekrutmen BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang kemudian akan menjadi TKR
(Tentara Keamanan Rakyat) serta TNI (Tentara Nasional Indonesia), di mana keterlibatan
sejumlah eks pasukan PETA dilaporkan dalam proses rekrutmen.
Badan Keamanan Rakyat (BKR)
adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan tugas pemeliharaan keamanan
bersama-sama dengan rakyat dan jawatan-jawatan negara. BKR dibentuk oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya pada tanggal 22
Agustus 1945 dan diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945.
Sementara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) adalah sebuah nama angkatan perang
pertama yang dibentuk oleh Pemerintah Indonesia pasca Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia. TKR dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945 berdasarkan maklumat yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. TKR dibentuk dari hasil
peningkatan fungsi Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang sudah ada sebelumnya dan
tentara intinya diambil dari bekas PETA.
Di dalam kesatuan PETA ada
sejumlah struktur kepangkatan yang terdiri dari Daidanco, Cudanco, Shodanco serta Budanco. Sebutan Daidanco merupakan
tingkatan tertinggi pasukan PETA, yaitu komandan batalion. Sementara Cudanco
adalah pemimpin kompi. Adapun Shodanco adalah prajurit yang masuk dan pernah mengenyam pendidikan pada tingkat menengah pertama. Mereka diperbolehkan
memimpin pleton yang terdiri dari 20-40 orang. Akhirnya Budanco, yaitu prajurit
yang masuk dan pernah mengenyam sekolah pada tingkat dasar.
Ketika pembentukan TKR Resimen
Purworejo Divisi V (kemudian nanti akan berganti menjadi Resimen XX Divisi III
Pangeran Diponegoro), Kebumen masuk dalam Batalion III. Sejumlah eks pasukan
PETA berpangkat Shodanco dan Budanco seperti Shodanco Eri Soeperdjan, Shodanco
Goenoeng, Budancho Marsoem dan Aboe Soedjak serta eks Heiho Bawoek dan Saimin
di Kutowinangun. Sementara di Prembun ada eks Sersan KNIL Soedirman dan eks
Heiho Soegiarto (2003:29). Nama Shodanco Soedarmin, Soeprapto dan Budancho
Arifin muncul dalam rekrutmen BKR di Pejagoan. Nama Shodancho Chanafie muncul
saat pembentukan BKR Kebumen dan ditunjuk menjadi Perwira Logistik BKR Kebumen
(2003:32). Di Karanganyar ada Budancho Bambang Widjanarko. Di Gombong ada
Shudanco Soedarsono Bismo, Slamaet Soebyakto, Soetjipto dan Budancho A.A.
Djoerdani dan Bagyoto serta eks Heiho Soemarto Atmadji (2003:34-35).
Dalam buku Gelegar di Bagelen: Perjuangan Resimen XX Kedu Selatan 1945-1949 dan
Pengabdian Lanjutannya (2003) juga diperlihatkan sebuah foto rumah di Jl.
Sarbini (sekarang Jl. Dr Moehiman) yang di era kolonial di sebut Asemstraat, dan diberi keterangan, “Masa
Jepang gedung ini dihuni Mayor Obata, pimpinan Tentara Teritorial Jepang di
Kebumen” dan digedung ini juga terjadi pelucutan senjata Jepang oleh Chudancho
Sudrajat (2003:90). Sayang tidak ada keterangan lanjutan berkaitan dengan
nama-nama perwira lainnya yang memerintah di Kebumen.
Kiranya tulisan singkat ini
mendorong siapapun yang membaca dan memiliki sejumlah kisah dan dokumen yang
dapat dibagikan mengenai Kebumen era Jepang sehingga melengkapi narasi yang
hilang selama 3,5 tahun kekuasaan Jepang di Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar