Setiap desa yang berusia tua
selalu memiliki dua hal yaitu folklore dan situs keramat, entah dalam bentuk makam
punden/danyang desa maupun petilasan yang dianggap memiliki
kekuatan magis tertentu. Sebagaimana dikatakan oleh Koentjaraningrat yang
pernah melakukan riset di berbagai pedesaan di Jawa tahun akhir tahun 60-an
mengatakan bahwa dimakam para pendiri desa dan tjakal bakal, makam mereka akan menjadi pusat peribadatan
masyarakat sebagaimana dikatakan, “their
graves are frequently the centers of local public worship” (Tjelapar
dalam Village in Indonesia, 2007:168).
Folklore didefinisikan sebagai, “the traditional stories and culture of a group of people” (kisah-kisah dan budaya tradisional sekelompok orang - dictionary.cambridge.org). Definisi lain menjelaskan: “(1) the unwritten literature of a people as expressed in folk tales, proverbs, riddles, songs, etc (2) the body of stories and legends attached to a particular place, group, activity, etc” (literatur tidak tertulis dari orang-orang sebagaimana diungkapkan dalam dongeng, amsal, teka-teki, lagu, dll. (2) kumpulan cerita dan legenda yang melekat pada tempat, kelompok, aktivitas, dll -www.collinsdictionary.com).
Folklore didefinisikan sebagai, “the traditional stories and culture of a group of people” (kisah-kisah dan budaya tradisional sekelompok orang - dictionary.cambridge.org). Definisi lain menjelaskan: “(1) the unwritten literature of a people as expressed in folk tales, proverbs, riddles, songs, etc (2) the body of stories and legends attached to a particular place, group, activity, etc” (literatur tidak tertulis dari orang-orang sebagaimana diungkapkan dalam dongeng, amsal, teka-teki, lagu, dll. (2) kumpulan cerita dan legenda yang melekat pada tempat, kelompok, aktivitas, dll -www.collinsdictionary.com).
Setiap negara dan wilayah di dalam negara tersebut tentu memiliki
sejumlah folklore. Foklore telah ada sebelum modernisasi
melanda dan membentuk wajah suatu negara.
Folklore sebagai bagian dari fakta sosial memiliki sejumlah fungsi dalam
kehidupan sosial. James Dananjaya menyebutkan sejumlah fungsi folklore (Folklor Indonesia: Ilmu Gosip,
Dongeng dll, 1981: 32-33) yaitu: (1) Sebagai
alat pengesahan penata-penata dan lembaga-lembaga kebudayaan (2) Sebagai
alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi
anggota kolektifnya. (3) Sebagai
alat pendidikan anak (pedagogical device). (4) Sebagai
sistem proyeksi (projective sytem), yakni sebagai alat pencerminan angan-angan
kolektif.
Di sebuah desa yang sunyi dan
dirimbuni pepohonan menahun dengan jalanan menaik menurun serta mengelok namun
telah diaspal dan dipelur tepatnya di dukuh Lurahkarsa, Desa Giyanti, Kecamatan
Rowokele berdiam sebuah situs yang dikeramatkan oleh warga sekitar beserta folklore yang mengitarinya.
Ketika penulis mengunjungi
lokasi tersebut, hanya berupa gundukkan batu dan ada bekas menyan dibakar serta
plang bertuliskan Komplek Punden Lurahkarsa. Tidak ada
yang bisa dimintai keterangan dari penduduk sekitar karena beberapa orang
memberikan keterangan tidak memadai dan saling kontradiktif. Bahkan tidak
menduga jika di tempat saya berdiri di mana plang berada ternyata masih ada
sejumlah situs kuno lainnya.
Akhirnya saya berhasil menemui
Bapak Miryadi atas rujukkan penduduk sekitar situs kuno. Beliau semacam Juru
Kunci yang dianggap lebih mengetahui keberadaan dan fungsi situs tersebut. Ada
percakapan menarik saat saya menunggu di rumah Bapak Miryadi karena beliau
sedang berada di luar rumah dan disusul oleh salah satu menantunya. Ibu Miryadi
bertanya pada saya, “Bade Nyaleg napa
pak?” Kontan saya tersenyum dan lekas-lekas memberi penjelasan bahwa
kedatangan saya hendak melakukan riset sosial dan menulis. Pertanyaan tersebut
memberi saya sedikit gambaran perihal status sosial dan peran Bapak Miryadi dan
juga fungsi situs kuno yang hendak saya ketahui lebih banyak kisah dibaliknya
dan perannya di dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Apalagi situs ini masuk
dalam daftar kawasan Geopark karena
dilalui rute singkapan geologis. Bahkan tidak jauh dari situs kuno tersebut
terdapat aliran sungai dan batu-batu bear berserakkan di areal sawah warga.
Dari hasil wawancara singkat
baik di rumah dan di lokasi situs kuno, saya mendapatkan sejumlah keterangan
menarik bahwa ternyata ada empat situs kuno yang tersebar di sekitar kawasan.
Situs pertama bernama Sironggeng, situs
kedua bernama Lurahkarsa, situs
ketiga Watu Belah serta situs keempat
bernama Sibuda.
Sembari berjalan mengitari dan
mendatangi sejumlah situs saya mendengar penuturan Bapak Miryadi. Keberadaan
situs kuno ini bukan komplek pemakaman sekalipun ada tumpukkan batu-batu
berbahan andesit yang disusun dengan pola tertentu. Memasuki lokasi seperti
lorong yang di kelilingi sejumlah pohon besar dan berusia tua, al., Nagasari dan Wit Rah (Jika ditebang mengeluarkan cairan berwarna merah seperti
darah), ada areal luas tanpa struktur bangunan tertentu namun sejumlah
tumpukkan batu andesit membentuk
seperti pagar dan di tengah terdapat beberapa penampakkan batu andesit yang di susun dengan pola
tertentu seakan terlihat seperti kuburan. Penampakkan bekas pembakaran menyan terlihat
di salah satu susunan batu.
Bapak Miryadi menghubungkan
petilasan Mbah Agung Kanjeng Lurahkarsa
ini dengan nama seorang tokoh wali bernama Sunan Bonang. Ketika saya tanyakan
darimana sumber kisah ini, beliau yang lahir di tahun 1932 ini hanya mengatakan
bahwa kisah ini didapatnya dari orang tuanya sejak masa mudanya dahulu. Entah
mengapa Sunan Bonang menggunakan atau disebut Lurah Karsa dan bagaimana beliau
sampai ke tempat ini, karena Bapak Miryadipun tidak dapat menjelaskannya.
Situs bernama Lurahkarsa ini kerap dijadikan tempat
untuk memohonkan sesuatu yang berkaitan dengan hajat keekonomian, kedudukan,
pekerjaan. Mereka yang datang ke tempat ini rata-rata dari wilayah sekitar desa
Giyanti maupun lokasi di luar Giyanti seperti Cilacap. Bapak Miryadi akan
menjalankan peran sebagai perantara yang menghantarkan doa-doa. Apabila apa
yang dimintakan telah dikabulkan, mereka diminta untuk “menebus” dengan
membagikan makanan berupa nasi penggel dan sayuran yang dimakan bersama di
tempat tersebut.
Beralih ke situs lainnya yang
bernama Sironggeng. Menurut penuturan
Bapak Miryadi, saat itu Sunan Bonang sedang melihat seseorang sedang berkerumun
melaksanakan kenduren. Ketika melihat nasi tumpengnya seperti batu, Sunan
Bonang berkata, “Dening tumpenge kaya
watu?” (Khoq tumpengnya seperti batu?). Tiba-tiba tumpeng tersebut berubah
menjadi batu. Entah menggapa dan bagaimana hubungan nama Sironggeng dengan batu
berbentuk tumpeng kecil tersebut. Penulispun tidak mendapatkan keterangan yang
memadai.
Situs berikutnya bernama Watu Belah. Konon saat Sunan Bonang
mencuci lancingan (kain ketat untuk
celana dalam) dan mengeringkan di atas batu. Saat sudah kering dan hendak
diambil, nampak hewan kecil yaitu tuma alias
kutu. Ketika tuma atau kutu tersebut dipithes (ditekan agar mati), batunya
ikut terbelah dua. Bagi Mbah Miryadi, ucapan dan tindakkan orang dahulu kala
yang dianggap memiliki pengetahuan tinggi di bidang keagamaan sangat sakti dan
manjur serta berdampak seketika.
Situs terakhir bernama Sibudha. Mbah Maryadi tidak bisa
memberikan keterangan selain keberadaan batu ini diyakini sebagai punden bagi
orang-orang Budha. Di Desa Giyanti terdapat umat Budha dan vihara bernama Marga Giri Dharma dan vihara Giri Pura Kalibatur. Jika naik terus ke
atas pedukuhan ini maka akan sampai di Dukuh Temetes Desa Wonoharjo dimana
tinggal sejumlah umat Budha dengan vihara bernama Vanna Metta Bhumi. Nampaknya nama Giri (gunung), Kalibatur (sungai
berbatu), Bhumi (tanah) yang
disematkan pada sejumlah vihara tersebut berkaitan dengan kontur wilayah yang
di aliri sungai-sungai berbatu besar dan berlokasi di wilayah perbukitan
tinggi.
Itulah sekelumit folklore yang mengitari situs kuno
bernama Lurahkarsa, Sironggeng, Watu
Belah dan Sibudha diDukuh
Lurahkarsa Desa Giyanti. Sesuai dengan salah satu ciri folklore yaitu, “Bersifat
pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum.
Ciri ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan”
(Dananjaya, 1981-5-6), demikian pula kisah-kisah di atas tidak dapat dipastikan
historisitasnya dan selayaknya ditempatkan sebagai sebuah folklore masyarakat yang salah satunya menjalankan fungsi pengawas agar norma-norma masyarakat
akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya (Dananjaya, 1981:32-33).
Angin sore yang lembab seusai
gerimis mengakhiri percakapan dan penelusuran situs kuno kali ini. Menunggu
angin berikutnya membawa perjalanan dan penelusuran menyibak rimbun pepohonan
pedesaan untuk mengisahkan cerita, sejarah dan sitz im leben alias konteks sosial sebuah kisah bermula.
Terima kasih sudah mampir dan menulis yang sangat bermanfaat buat pengetahuan,saya sendiri lahir di lurakarsa,dan hampir hari hari lewat punden itu.
BalasHapusSangat bagus dan menarik sejarah desa Giyanti rowokele kebumen
BalasHapus