Sabtu, 20 Juli 2019

SINGADANU, PENEMPA SENJATA DARI SIDODADI



Perjalanan siang hari yang terik dan berdebu namun diselimuti hawa dingin bulan Juli, menghantarkan kami melewati sebuah bangunan pemakaman yang cukup indah jika tidak disebut mewah, di Desa Sidodadi Kecamatan Puring. Di kawasan pemakaman ada sebuah bangunan peristirahat dan beberapa bentuk bangunan yang menarik yang ternyata dipergunakan sebagai tempat beristirahat sekaligus menyepi. Nama yang tertulis dalam plakat yang ditanda tangani tiga orang tersebut bertuliskan, “Pendopo Makam Eyang Singodanu”.


Sayang di lokasi yang berada di tepian sawah dengan sejumlah tempat peristirahatan yang menarik, menjadi tidak menarik dan terlihat sedikit kumuh ketika melihat penampakkan kendaraan berupa sepeda yang membawa sejumlah sampah dan menggangu keasrian lokasi tersebut.


Siapakah yang disebutkan Eyang Singodanu tersebut? Untuk mendapatkan keterangan siapa dan bagaimanakah pribadi dan sepak terjang Eyang Singodanu, penulis dan beberapa teman lainnya menuju sebuah lokasi rumah yang berjarak beberapa ratus meter dari lokasi pemakaman yaitu kediaman Bapak Ratimin.

Di sebuah rumah kayu kami disambut oleh seorang ibu bernama Suparminah dan Bapak Ratimin. Ibu Suparminah adalah salah satu buyut dari Eyang Singadanu dan Bapak Ratimin adalah suami dari ibu Suparminah.


Tidak lama kami terlibat percakapan cukup intent. Sebagaimana percakapan-percakapan sebelumnya dalam sebuah pengumpulan data perihal tokoh dan peristiwa, selalu terjadi sejumlah “kemacetan” disebabkan informasi yang diperoleh sepenggal-sepenggal. Hampir sulit mendapatkan narasi utuh yang dapat dituliskan sebagai sebuah kisah yang sistematis dan kronologis.

Dari percakapan secara maraton dan informasi yang terputus-putus mengenai Eyang Singodanu, apa yang disampaikan melalui tulisan ini sifatnya introduktif (pendahuluan) dan masih fragmentaris (terputus-putus).

Menurut keterangan yang disampaikan secara bergantian baik oleh Bapak Ratimin dan ibu Suparminah, Eyang Singodanu memiliki nama asli Sokadiwangsa namun juga memiliki nama sebelumnya Pandit.


Kisahnya dimulai saat ada seorang nenek hendak menyebrangi sungai Luk Ula kemudian ada seorang lelaki tidak diketahui jelas identitasnya menyebrangkan sang nenek. Nenek tersebut tidak lama kemudian hamil dan konon sang jabang bayi berkata dari dalam rahim bahwa jika nanti lahir, namailah dirinya Pandit. Sejauh mana kebenaran kisah ini, penulis tidak dapat memastikan.

Saat mulai dewasa, Pandit atau Sokadiwangsa yang kemudian dinamai Singodanu sebelumnya menetap di beberapa tempat di wilayah Kebumen berakhir di Desa Sidodadi. Dikenal sebagai seorang Lurah pada zamannya, Eyang Singodanu memiliki istri lebih dari satu. Informasi yang disampaikan beliau memiliki istri 40 dan tersebar di banyak tempat di luar wilayah Kebumen.

Pada bulan Sura jika diadakah kegiatan pertemuan keluarga, sanak famili dari berbagai tempat berkumpul di areal pemakaman. Ada yang berasal dari Banjarnegara, Wonosobo, Magelang. Ibu Suparminah dianggap buyut paling tua dan disegani sehingga jika ada kebutuhan terkait kegiatan perkumpulan dan pertemuan trah, beliau yang diminta mempersiapkan segala sesuatunya.


Menurut pengakuan Bapak Ratimin dan ibu Suparminah, Pandit atau Sokadiwangsa atau Eyang Singodanu memiliki dua anak (dari sekian banyak istri) bernama Surawana dan Suranyana. Dari Surawana menurunkan dua anak bernama Dimin Suromiharjo dan Mingan. Dimin Suromiharjo menurunkan lima orang anak yaitu Sugito, Suparminah, Sunanto, Supriyadi.

Apakah keistimewaan Eyang Singodanu? Tidak banyak informasi dan kisah yang dapat digali selain penggalan kisah bahwa beliau pada zaman itu dikenal juga sebagai seorang empu pembuat senjata tajam. Bapak Ratimin menjelaskan perihal metode pembuatan keris yaitu selain dipanaskan dengan api dan ditempa juga memiliki metode lain pengganti pemanasan dengan api yaitu “dikempit” alias dimasukkan ke dalam kempitan ketiak untuk mendapatkan bentuk tertentu kemudian dilakukan pemijatan terhadap logam yang akan dibuat menjadi keris. Namun metode demikian tidak selalu dilakukan melainkan hanya dalam kasus khusus dan genting dalam pembuatan senjata. Istilah Bapak Ratimin jika situasi “keseser”.

Hanya tidak didapatkan kejelasan apakah keris yang dibuat hanya untuk koleksi pribadi atau pesanan orang lain. Dari cerita yang ditangkap Bapak Ratimin dari hasil mendengar cerita (lagi) dari Mba Dimin (mertuanya), koleksi kerisnya pernah diperlihatkan namun saat ini sudah tidak dilacak dimana keberadaan masing-masing keris.


Berbicara perihal teknik “pemijatan” pada keris, menurut praktisi spiritual dan pegiat keris dari Garda Mangkunegaran, Arif Priyantoro yang juga turut serta dalam percakapan, pola pembuatan keris dengan cara pijatan adalah warisan keilmuan empu yang hidup di era Pajajaran yaitu Empu Sombro dan Joko Suro anaknya yang konon mencari ayahnya hingga Majapahit. Namun ada pendapat yang berbeda terkait pola tertentu yang terlihat seperti sebuah pijatan, sebagaimana dikatakan dalam sebuah artikel berjudul, “Apa itu Keris Pichit / Pejetan?” sbb, “Tentang lekukan pada permukaan bilah yang menyerupai berkas pijitan tangan, sulit dibuktikan secara ilmiah bahwa itu benar-benar dibuat dengan pijitan jari tangan. Ada sebagian pecinta keris yang menduga bahwa bentuk seperti bekas pijitan itu terjadi karena paron, yaitu permukaan landasan penempaan tidak rata Begitu pula, permukaan palu yang dipakai untuk menempa pun tidak rata. Dalam ilmu krisologi, keris Pichit atau Pejetan tergolong keris tayuhan, yakni keris yang dalam pembuatannya lebih mementingkan esoteri (kekuatan gaib) dibandingkan dengan eksoterinya (penampilan luarnya). Itulah sebabnya banyak pecinta keris yang beranggapan bahwa keris pejetan ter-golong keris yang baik. Akibat adanya kepercayan seperti itu, sejak perempat abad ke-20 ini banyak ditemukan keris pejetan atau keris pichit yang dipalsukan orang, yakni keris yang sebenarnya buatan baru" (https://duniakeris.com/apa-itu-keris-pichit-pejetan/). Karena penulis bukan praktisi keris, maka persoalan metode dan perdebatan perihal kebenaran metode ini tidak akan diperdalam namun dikutip sebagai sebuah perimbangan keterangan.

Tahun berapakah Eyang Singodanu hidup? Menurut keterangan Bapak Ratimin bahwa saat Dimin Suromiharjo (cucu Eyang Singadanu atau ayah mertua Bapak Ratimin atau orang tua Ibu Suparminah) menjadi Lurah pada tahun 1946, Eyang Singodanu sudah wafat, namun sempat “menangi” alias pernah melihat dan berinteraksi dengan Eyang Singadanu.

Katakanlah dibuat alternatif taksiran batas usia Eyang Singadanu 96 tahun dari tahun 1946 maka didapati tahun 1850 sebagai tahun kelahiran. Namun jika Eyang Singadanu wafat pada usia 86 tahun dari tahun 1946 maka didapati tahun 1860 sebagai tahun kelahiran. Jika mengikuti periodisasi keempuan sebagaimana dilansir sebuah artikel berjudul, “Nama-Nama Empu Pembuat Keris” dijelaskan bahwa berdasarkan tangguh keris dibedakan menjadi zaman Kuno (Budho) tahun 125 – 1125 Ms, Zaman Madyo Kuno (Kuno Pertengahan) tahun 1126– 1250 Ms. Zaman Sepuh Tengah (Tua Pertengahan) tahun 1251 – 1459 Ms, Zaman Tengahan (Pertengahan) tahun 1460 1613 Ms, serta Zaman Nom (Muda) tahun 1614 Ms. sampai sekarang (http://olshop-keris-pusaka.blogspot.com/2015/01/nama-nama-empu-pembuat-keris.html). Maka Eyang Singadanu dapat dikategorikan seorang empu dannpembuat senjata di Zaman Nom. Kemungkinan hidup sezaman dengan Eyang Astraguna, seorang empu dan pandai besi dari Desa Peniron (Teguh Hindarto, Astraguna, Sebongkah Kisah Dari Desa Peniron - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/05/astraguna-sebongkah-kisah-dari-desa.html).

Namun demikian, jika Eyang Astraguna pembuat senjata tajam (keris, tombak dsj) tidak meninggalkan jejak berupa artefak peralatan empu melainkan pakaian saat bekerja dan sejumlah keris pusaka milik Astraguna, maka Eyang Singadanu meninggalkan jejak artefak berupa “paron” dan “supit”.

 

Sebagaimana layaknya seorang empu dan besalen yang dimilikinya memiliki sejumlah peralatan teknis al., “paron” alias landasan tempa; “ubub” sebagai alat penghembus angin tradisional; “paga”, sebagai tempat menyimpan berbagai peralatan; prapen (perapian), yakni tempat pembakaran; palu, kikir, pahat besi, alat penjepit; dll. Demikian pula Eyang Singadanu meninggalkan dua benda tersebut yaitu “paron” dan “supit”. Sayangnya dua benda ini tidak selalu berada di rumah Bapak Ratimin dan kerap dipergunakan bagi kepentingan tertentu oleh mereka yang membutuhkannya.

 

Selain dua artefak tersebut, Eyang Singadanu membuat sebuah masjid yang saat ini keberadaannya tidak jauh dari rumah Bapak Ratimin namun sudah berubah sepenuhnya dari aslinya. Yang tersisa adalah sebuah kayu bekas saka yang tersimpan di pinggir rumah warga. Menurut Bapak Ratimin, kayu tersebut diambil dari Mekah dengan cara supranatural dan tidak mengunjungi lokasi sebenarnya. Benar tidaknya cerita tersebut diserahkan kepada pembaca artikel ini untuk menilainya sendiri.

Selain masjid juga ada lokasi rumah asli Eyang Singadanu namun saat ini sudah berubah total menjadi bangunan baru namun tetap dengan corak arsitektur Jawa sekalipun modern. Rumah ini ditinggali oleh keturunan Eyang Singadanu dari kerabat yang lain. Tidak jauh dari rumah tersebut ada sebuah sumur tua yang sudah dibenahi dan dirapihkan bentuknya.




Sekalipun masih diselimuti kisah yang disarati sejumlah kesamaran dan fragmentaris alias keterputusan alur knomologis, namun kisah Eyang Singadanu sebagai seorang empu pembuat senjata berikut dua artefak peninggalannya (paron dan sepit) dapat melengkapi sejumlah empu yang tinggal di wilayah Kebumen di era Abad 19 (Astraguna) maupun Abad 20 (Singodanu). Adakah empu lainnya yang dapat ditemukan dan menunggu kisah-kisahnya dituliskan? Sepertinya angin senja yang mengingatkan kami untuk pulang seolah berbisik dan menunjukkan lokasi berikutnya untuk ditelusuri di kemudian hari.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar