Benteng segi delapan yang kita kenal saat ini dengan nama Benteng Van Der Wijck yang berlokasi di Gombong adalah penamaan baru di tahun 2000 ketika benteng tua tidak terawat ini dialihfungsikan sebagai wahana wisata. Nama asli benteng ini sejak era kolonial adalah Fort Cochius. Keberadaan Fort Cochius sendiri telah disebutkan dalam artikel berjudul, Het Defensiewezen op Java (De Locomotief 24 dan 27 Desember 1880) yang merupakan sebuah benteng yang dibangun di Gombong pada tahun 1839 sebagai sebuah perubahan dari benteng stelsel menjadi benteng permanen pasca Perang Jawa (Teguh Hindarto, Dari Fort Cochius Hingga Bukit Kedoya, Materi Presentasi Historical Study Trips, 27 Juni 2021).
Fort Cochius dan wilayah sekitarnya pernah menjadi sekolah militer untuk anak-anak remaja hasil perkawinan campur orang Belanda dan pribumi Jawa khususnya. nama sekolah ini adalah Pupillenschool yaitu sekolah kadet militer yang diikuti oleh anak-anak berusia 8-15 tahun dan dibagi-bagi dalam kesatuan dan kemahiran berdasarkan kelompok usia.
Keberadaan Pupillenschool diinisiasi oleh Letnan Kolonel von Lutzow pada tahun
1846 semasa masih berada di garnisun di Kedungkebo (Purworejo), walau secara resmi dibuka tahun 1848. Dengan sumber
daya yang dimilikinya dia memberikan pendidikan, makanan dan makanan bagi
anak-anak keturunan orang Eropa (yang menikah dengan orang pribumi) tanpa orang
tua di mana mereka kerap dijumpai sering berjalan-jalan di kampung. Pemerintah
Hindia, menyadari hal ini, merawat anak-anak ini pada tahun 1848 dan
menyediakan kebutuhan makanan, mendidik mereka (Het Pupillen Korps – Java
Bode, 24 Februari 1869). Sekolah ini bertahan sampai tanggal 1 Juli 1912 dibubarkan
(Het Nieuws, 12 Februari 1912).
Dalam sebuah artikel berjudul, De Viering Van Het Vijftig Jarig Bestaan Van
Het Korps Pupillen te Gombong (Perayaan HUT Ke-50 Korps Kadet Di Gombong)
yang dimuat Soerabaiasch Handelsblad
(28 Juli 1898) didapat sejumlah keterangan menarik mengenai suasana Gombong dan
penggunaan benteng bagi berbagai keperluan sekolah kadet. Beberapa kita
kutipkan sbb:
Bagian tercantik di Gombong bisa dibilang adalah perkemahan para
perwira dengan bangunan dan fasilitas militer di sekitarnya. Rumah-rumah yang
rapi dikelilingi oleh taman dan pekarangan yang indah, jalan yang sangat teduh,
lebar, terawat dengan baik, institusi kadet yang dikelilingi oleh pohon-pohon
tinggi, bersama-sama membentuk satu kesatuan yang indah
Setelah cerutu disajikan, kami melanjutkan untuk melihat institusi yang
dipimpin oleh petugas. Asrama yang rapi, lapang, luas dan fungsional berjumlah
delapan, masing-masing dilengkapi untuk 75 tempat tidur, didekorasi dengan
rapi, di pintu masuk dengan lengkungan kulit kecil, di dalam dengan karangan
bunga tanaman hijau dan bendera, dengan lambang dan hiasan lainnya.
Menara batu dua lantai sebuah
bangunan segi delapan tahan bom, awalnya dimaksudkan untuk reduit benteng
"Jenderal Cochius," sekarang berfungsi sebagai penginapan bagi
petugas dan pengawas, dihiasi empat bendera oranye besar yang dikibarkan pada
tiang tinggi di atap.
Di tengah halaman adalah kamar mandi, sebuah bangunan berbentuk salib,
diatur sedemikian rupa sehingga delapan puluh murid dapat mandi secara bersamaan
dan di bawah pengawasan yang tepat
Artikel tersebut tidak hanya
mengulas mengenai suasana dan aktifitas militer dan sosial di dalam dan sekitar
benteng. Ada sejumlah kesaksian menarik lainnya mengenai societeit alias tempat hiburan orang Eropa, gedung sekolah pupillen school, sebuah rumah sakit
militer bahkan barisan pohon kenari dan pohon asem menghiasi perkampungan dan
jalan utama. Berikut kesaksiannya:
Di sudut timur dataran subur dan padat penduduk yang membentang di
seluruh bagian selatan karesidenan Bagelen, terletak di jalur kereta api yang
menghubungkan dua kota perdagangan terbesar di Jawa, di tengah beberapa kampung
yang dinaungi tumbuhan tropis (tropische plantengroei), kota kecil tapi indah
gombong (het kleine doch raaie plaatsje Gombong).
Berbelok ke utara dari stasiun di jalan berkerikil, seseorang tiba di
bagian jalan pos besar yang berkelok-kelok melalui bagian Jawa Selatan yang
indah ini seperti jalan lebar, dinaungi oleh pohon asam dan kenari yang tinggi
(hooge tamarinde en kanarieboomen).
Mengikuti jalan ini ke arah timur, pertama-tama Anda melewati pasar dan
kampung Cina dan kemudian mengambil jalan sempit yang ditumbuhi pohon djoar
(djoearboomen), yang akan membawa Anda ke pintu masuk gemeente (kotamadya) dan
ke hotel Peelen yang nyaman (het confortabele hotel Peelen voert)
Selain dua gedung sekolah (twee schoolgebouwen), lembaga kadet (de
pupilleninrichting), rumah sakit (het hospitaal) dan tempat hiburan (societeit)
ada juga rumah sakit untuk wanita (ziekeninrichting voor vrouwen), dibaptis
dengan nama “Thalita Kumi" oleh salah satu direktur medis sebelumnya.
Penyebutan “rumah sakit” dan “rumah
sakit untuk wanita” dalam testimoni 1898 ini agak sulit dipastikan apakah ini
yang dimaksudkan militaire hospitaal atau garnizoen hospitaal di Gombong yang
kelak menjadi Djawatan Kesehatan Tentara
(DKT) atau rumah sakit non militer.
Menurut sejumlah laporan berita
surat kabar, pelayanan medis yang dilakukan militer sudah terlacak sejak tahun
1867 (atau mungkin sebelumnya). Koran Jawa
Bode (3 Juli 1867) setidaknya telah menyebutkan nama K.G. Baker dari het groot militair-hospitaal (rumah
sakit militer besar) di Willem I (Ambarawa) dipindahtugaskan ke geneeskundige dienst (dinas kesehatan)
di Gombong, sementara G. J. Wienecke dari dinas kesehatan Gombong dipindahkan
ke dinas kesehatan Malang. Demikian juga menurut laporan De Locomotief (19 Mei 1874) terlacak kegiatan di garnisun dan rumah
sakit Gombong pada tanggal 20-22 Juli 1874 mulai dari penyiapan makanan sampai
jadwal pembersihan ruangan.
Selain rumah sakit militer,
nampaknya ada juga rumah sakit non militer. Menurut keterangan laman https://historicalhospitals.com/public-hospitals-3/gbz-gombong-2/
diperoleh keterangan bahwa pernah berdiri sebuah Gouvernements Burgerlijke Ziekeninrichting (GBZ - Rumah Sakit
Pemerintah) yang mengurusi pasien sifilis yang telah berdiri sejak 1876 namun
ditutup pada tanggal 1 Oktober 1924
berdasarkan Gouvernements Besluit 13
Mei 1927 No. 32 sebagai konsekwensi kebijakan desentralisasi di Hindia
Belanda. Dibanyak tempat, sejak tahun 1911 jenis rumah sakit ini banyak
mengalami penutupan dan berubah menjadi rumah sakit pribumi.
Nah, apakah keberadaan “rumah sakit” dan “rumah sakit untuk wanita” bernama Talita Kumi (Kutipan Injil Matous 5:41 dalam bahasa Ibrani artinya “Hai anak perempuan bangunlah!”) dalam testimoni 1898 ini merujuk pada rumah sakit militer atau rumah sakit non militer, belum dapat dipastikan.
Namun anehnya,
dalam sebuah buku panduan bagi para pejabat yang bertugas di daerah dengan
judul Gids Voor Ambtenaren in
Nederlandsch Oost Indie (Batavia: G.Kolff & Co, 1910) diberikan
sejumlah deskripsi apa saja yang ada di Gombong sebanyak 27 point dan pada
point ke-3 menyebutkan sebuah keterangan, “Ada Rumah Sakit Militer (Militaire Hospitaal) dari Sekolah Kadet
Militer (Millitaire Pupillen School) dengan
dokter dan apotek” tanpa menyebut keberadaan rumah sakit non militer.
Jika memang ada rumah sakit non
militer di Gombong, mengapa dalam buku panduan pejabat terbitan tahun 1910
tidak dilaporkan? Apakah hanya ada satu rumah sakit militer yang kemudian
berganti-ganti nama dan keberfungsiannya? Masih perlu pendalaman sejumlah data.
Apapun itu, keberadaan Djawatan Kesehatan
Tentara (DKT) di Gombong tentu memiliki akar historis sejak era kolonial
dan telah difungsikan sebagai rumah sakit militer Belanda.
Demikianlah sekilas gambaran Gombong di era kolonial melalui sejumlah testimoni berita-berita surat kabar dan sejumlah buku panduan pemerintah. Melalui penelusuran catatan-catatan kolonial kita bisa membayangkan situasi-situasi yang pernah ada dan kemudian mengalami sejumlah perubahan di kemudian hari. Mempertemukan lokasi bangunan lama di Gombong (baik yang masih dipergunakan untuk kepentingan militer dan non militer) dengan dokumen-dokumen masa silam, bermanfaat meletakkan fungsi sebuah bangunan dalam konteks sejarah silam.P
Pelacakan dokumen memberi kita konteks dan genesis terhadap eksistensi sebuah bangunan kuno peninggalan kolonial. Sebuah dokumen, ibarat kapsul waktu yang akan menghantar kita memahami masa lalu
Jika di era kolonial jalanan di Gombong terlihat rapih (sebagaimana testimoni 1898) dengan barisan pohon meneduhkan, bukankah di masa kini keadaanya harus semakin rapih dan bersih bukan? Itulah tanda bahwa kita telah merdeka dan mengalami kemajuan dari masa sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar