Sejak Bangsa Belanda datang ke
Nusantara maka terjadi sebuah kontak budaya yang saling mempengaruhi satu sama
lain. Pertemuan saling silang budaya ini terbalut dalam konteks dan bingkai
kolonialisme. Djoko Soekiman menyebut pertemuan dua budaya ini sebagai
“Kebudayaan Indis”, “Yaitu kebudayaan campuran
yang didukung oleh segolongan masyarakat Hindia Belanda” (Kebudayaan
Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa Abad XVIII-Medio Abad XXI,
Bentang Budaya, 200:39).
Percampuran kebudayaan ini meliputi
dalam bahasa, model pakaian, bangunan, sistem kemasyarakatan, ilmu pengetahuan
termasuk gaya hidup dalam hal ini menu makan. Salah satu gaya makan yang
berkembang di Hindia Belanda pada waktu itu adalah rijsttafel. Sementara hidangan yang membuat rijsttafel sebagian besar berasal dari Indonesia, konsep rijsttafel sepenuhnya Belanda. Rijsttafel adalah pesta hidangan yang
benar-benar dari seluruh pulau yang membentuk kepulauan Indonesia, disertai
dengan nasi.
Sementara penduduk lokal kemungkinan besar akan makan satu atau dua hidangan lokal ke wilayah mereka dalam sekali duduk, namun orang Belanda ingin memamerkan kelimpahan koloni mereka kepada para tamu. Sajian berlimpah ini dalam satu kata disebut rijsttafel.
Hidangan yang tersaji bisa 20 atau bahkan 30 piring
muncul, dalam berbagai tingkat kepedasan dan dengan asal-usul yang
berbeda-beda. Beberapa menu Indis al., Salat Solo, Sop Brenebon (dari istilah bruine bonen alias kacang merah), Sop
Snerek (dari istilah snert soup alias
sop kacang polong), sambal, sate serta nasi goreng
Buku dengan judul Groot Nieuw Volledig Oost-Indisch Kookboek Cartenius van der Meijden merupakan 1381 catatan resep
masakan yang dikumpulkan oleh nyonya J.M.J. Catenius van der Meijden. Cartenius
van der Meijden (1860-1926) adalah salah seorang wanita Belanda yang menghabiskan
hidupnya di Pulau Jawa. Pada abad ke-20 van der Meijden banyak menulis buku
panduan rumah tangga dan memasak. Buku itu ditujukan bagi para nyonya Belanda
yang bermukim di Hindia Belanda. Buku tersebut sangat populer pada masanya. Sebagai
nyonya ia berkepentingan mengetahui semua jenis makanan yang disukai
keluarganya.
Buku resep ini telah mencatat hampir
semua jenis masakan Indonesia termasuk beberapa makanan Belanda, mulai dari
sup, sayuran hingga puding dan beragam camilan. Buku tersebut diterbitkan oleh
G.T.C Van Dorp & CV N.V di Semarang, Bandung dan di Surabaya pada tahun
1942 (Fadly Rahman, Rijsttafel: Budaya
Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942, Gramedia Pustaka Tama 2016). Namun
buku ini sudah terbit sejak tahun 1900-an karena beberapa surat kabar telah
mengiklannya, salah satunya di surat kabar De
Preanger Bode bertanggal 9 April 1903.
Dalam sebuah buku menu masakan oleh J. Braam dengan judul De Indische Tafel (1938) disebutkan adanya menu sambel tempe goreng. jauh sebelumnya, telah diterbitkan sebuah buku menu Indis pada tahun 1870 yaitu Oost Indsich Koekboek dengan 570 resep. Di dalamnya ada menu Indis al, sambel ikan kering, sambel oedang kering, sesate mentool Batawie, sambel badjak, kerrie soep selain menu Belanda seperti klappertart
Tahun 2016, Penerbit Komunitas Bambu
menerbitkan ulang buku kumpulan menu Nusantara yang telah diiniasi Presiden
Sukarno di tahun 1960-an, dengan judul Mustikarasa:
Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno.
Era kolonial, bukan sekedar kisah
konflik, diskriminasi rasial, kontestasi dan hegemoni, heroisme serta
patriotisme sebagaimana tergambar di layar lebar. Interaksi sosial dan
pertukaran budaya menjadi sebuahfakta historis yang turut membentuk landskap
sosial, ekonomi, kebudayaan termasuk budaya kuliner di kedua belah pihak.
Orang Belanda masih menyukai menu sate
dan nasi goreng (bukan sekedar menyanyikan lagu, Geef Mij Maar Nasi Goreng) sebagaimana orang Indonesia menggemari salat
Solo, sop Brenebon, sop Snerek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar