Pada tahun 1929 yaitu 9 tahun
sebelumnya, sebuah peristiwa kriminal terjadi di kota Kebumen. Peristiwa
tersebut adalah tindakkan meracuni seorang tuan rumah Belanda oleh seorang
perempuan pembantu rumah tangga Hindia (pribumi). Beberapa koran berbahasa
Belanda melaporkannya. Di antaranya De Indische Courant (9 September
1929) dan De Sumatra Post (16
September 1929) (Teguh Hindarto, Bioskop
Kebumen dan Peristiwa Kopi Beracun Tahun 1929 - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/08/bioskop-kebumen-dan-peristiwa-kopi.html)
Peristiwa yang terjadi di
Kutoarjo ini berbeda dengan peristiwa sebelumnya yang terjadi di tahun 1918
atau 20 tahun sebelumnya. Sebagaimana dalam artikel sebelumnya, telah terjadi
sebuah kerusuhan lokal di desa Sangubayu, Kutoarjo yang berpusat pada nama
Kario Taroena berkaitan dengan persoalan tanah warisan (Teguh Hindarto, Kerusuhan di Sangubanyu [Kutoarjo] Tahun
1918 - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/08/amuk-dan-kerusuhan-di-sangubanyu.html).
Bagaimana kronologi dan jalannya
peristiwa berdarah yang terjadi Kutoarjo yang menewaskan satu korban jiwa
tersebut? Sub judul berita utama di atas adalah, Krankzinnige doodt een Inlander (Orang Gila Membunuh Seorang
Pribumi). Disebutkan bahwa beberapa waktu sebelum kejadian, seorang pribumi Jawa
pernah tinggal di Kutoarjo selama beberapa waktu, namun dikenal sebagai orang dengan keterbelakangan mental (zwakzinnig).
Suatu hari sebuah pesta diselenggarakan
di salah satu kampung di kota Kutoarjo, yang menarik banyak perhatian banyak orang.
Di tengah-tengah pesta pora, orang gila tersebut tiba-tiba muncul, yang sontak
menimbulkan sejumlah apa kecemasan di antara orang-orang yang bergembira di
pesta tersebut karena dikuatirkan timbul perkelahian atau insiden lainnya.
Sebuah upaya pencegahan
dilakukan, untuk membujuk pria itu pulang. Setelah beberapa waktu lamanya seorang
Jawa lainnya berhasil meyakinkan orang gila tersebut untuk pulang. Semua
berjalan dengan terkendali hingga insiden muncul saat tiba di rumah rumah orang
gila tersebut. Orang dengan gangguan jiwa tersebut tiba-tiba mengeluarkan piso blatti (sebagaimana disebutkan dalam surat kabar) dan sebelum
yang lain menyadari apa yang akan terjadi, dia berhasil menghujamkan pisaunya
pada orang yang menenangkan dan membawanya pulang. Orang tersebut jatuh tersungkur
dan pingsan dengan bersimbah darah.
Kemudian pria itu bertingkah aneh
(vreemd) sehingga dikhawatirkan akan
mengamuk (amok) maka dipanggilah
polisi lapangan untuk mengamankan situasi. Komandan detasemen segera berada di
lokasi. Orang gila itu masih memegang senjata di tangannya. Inspektur Lemont
mencoba merebut senjata dari pria itu, tetapi karena orang gila tersebut
membela diri dengan gigih, maka tidak mudah menundukannya.
Akhirnya Inspektur Lemont, yang
telah tertusuk seragam jasnya sementara pukulan lainnya mengenai sarung
pistolnya, menarik klewangnya,memberikan pukulan ke tangan orang gila itu dan
mengenainya hingga pisaunya terlepas. Kemudian pria itu menjatuhkan pisaunya
dan tidak sulit untuk mengalahkannya dan membawanya pergi sebagai tawanan.
Drama itu berlangsung dalam waktu
yang relatif singkat dan tentu saja menimbulkan kegaduhan besar di kampung yang
biasanya berjalan dengan tenang dan lambat. Seperti yang telah disebutkan, pria
Jawa yang mencoba memimpin orang gila sampai ke rumahnya terluka parah oleh
tusukan yang dalam di bagian samping tubuhnya. Dia dengan cepat dibawa ke rumah
sakit, sayangnya tindakan medis tidak berhasil menolongnya sehingga dia
meninggal.
Kasus di atas mengingatkan kita
bersama bahwa mereka dengan ganguan kejiwaan selayaknya berada di tempat yang
tepat dan menerima perawatan yang layak serta dilakukan pengawasan ketat
sehingga tidak menimbulkan sejumlah insiden yang membahayakan publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar