Di era kolonial, Gombong merupakan
sebuah district (kawedanan) yang
berada di bawah regentschap
(kabupaten) Karanganyar. Gombong identik dengan kota militer karena dihubungkan
dengan keberadaan sebuah benteng bernama Fort
Cochius (sejak tahun 2000 menjadi benteng Van der Wijck) dan barak-barak
militer. Pada tanggal 1 Januari 1936, Kabupaten Karanganyar (di mana Gombong
berada di dalamnya) digabungkan menjadi sebuah kecamatan di kabupaten Kebumen.
Ada sebuah deskripsi menarik mengenai
Gombong pada tahun 1925 melalui catatan seorang saksi mata dari kalangan badan
misi yang membuka pendidikan untuk kalangan Kristen dan pribumi di Gombong.
Melalui catatan yang dimuat dalam sebuah buku peringatan 25 tahun keberadaan
Badan Misi Gereja Friesche (kelak menjadi Gereja Kristen Jawa), kita mendapatkan sejumlah informasi menarik
mengenai situasi sosial Gombong.
Kita akan melihat secara salah satu
keterangan saat penulisnya memberikan deskripsi saat dirinya baru saja turun
dari perjalanan melalui kereta api. Petikan deskripsi ini ditulis oleh G.P.
Hamer dengan judul “Gombong” dalam buku Schetsen en Herinneringen (1925: 103)
sbb:
Sekarang kereta kembali ke Timur; di perbatasan Banjoemas dan Kedoe ia
melewati terowongan Idjo sepanjang 500 meter dan lima menit kemudian berhenti
di depan stasiun Gombong. Sekarang pukul tiga lewat seperempat. Kami senang
berada di sini. Perjalanan delapan jam seperti itu membuat Anda berdebu dan
kotor dan paling tidak berkeringat.
Ngomong-ngomong, di depan stasiun ada banyak gerobak di depan setiap
stasiun di Hindia, meskipun di kota-kota besar mereka baru-baru ini telah
dibersihkan dari ladang untuk taksi; kami memasukkan tas kami ke dalam dokar
dan mengambil tas lain sendiri.
Sekarang keluar dari jalan stasiun di sudut jalan adalah pegadaian pemerintah, sebuah institusi yang lebih
ramai daripada passar dan bioskop...
Berbagai dokumen era kolonial berupa
berita surat kabar, artikel koran, artikel jurnal, laporan-laporan pemerintah,
buku-buku panduan pariwisata, buku peringatan, buku bertema ilmu pengetahuan,
ensiklopedi serta surat-surat pribadi, dapat menjadi sumber informasi melihat
aktifitas sosial budaya di kota kita. Sumber-sumber berharga tersebut bisa
menjadi rujukan melakukan rekonstruksi kehidupan sosial ekonomi serta budaya di
masa lalu sehingga dapat melengkapi materi sebuah sejarah lokal.
Melalui sumber-sumber tersebut kita dapat
melakukan pelacakan asal-usul keberadaan sebuah bangunan kuno yang masih
berfungsi di masa kini namun sudah mengalami alih fungsi yang berbeda dari
kegunaan semula.
G.P. Hamer menuliskan bahwa op den hoek staat ‘t gouvernement pandhuis (Di
sudut jalan adalah pegadaian pemerintah). Ternyata lokasi yang dimaksudkan
yaitu pegadaian yang berada di ujung jalan setelah keluar dari stasiun masih
ada sampai sekarang.
Jika kita memasuki kawasan pegadaian
Gombong, di halaman muka telah berdiri gedung baru sebagai pusat informasi.
Sementara gedung pegadaian lama berada di belakang gedung yang baru. Sebagian
masih difungsikan dan sebagian ada yang sudah tidak difungsikan. Sayangnya
kondisi bangunan nampak kurang terawat dengan baik, meskipun struktur bangunan
dan fasad bangunan masih terlihat kokoh.
Akan lebih baik lagi jika bangunan
lama pegadaian dicat dengan warna yang lebih terang dan disterilisasi dari
sejumlah benda-benda yang tidak seharusnya ada di sekitar gedung seperti
beberapa kayu bakar dan beberapa barang bekas yang tidak terpakai.
Sekalipun G,P. Hamer tidak memberikan
deskripsi bangunan lain sebelum menyebutkan gedung pegadaian pemerintah, namun
jika kita mengamati bangunan yang sekarang difungsikan sebagai kantor DPU
Kebumen Cabang Gombong nampaknya sebuah bangunan yang sudah ada sejak era
kolonial. Kondisinya lebih terlihat rapih dan bersih dengan pewarnaan cat yang
terang.
Beberapa ciri yang nampak adalah penggunaan
elemen atap berbentuk atap limasan dan pelana, dengan sudut kemiringan sekitar
tiga puluh derajat atau lebih. Sekalipun tidak terlihat elemen gevel (hiasan berbentuk segi tiga) namun
masih terlihat adanya bouvenlicht (lubang
angin). Halaman yang luas, pintu-pintu ukuran besar (gigantis) dengan jendela yang terbuka dalam jumlah cukup banyak
menjadi salah satu ciri bangunan era kolonial.
Menurut sejumlah nara sumber yang
pernah bekerja di lingkungan DPU Cabang Gombong, al., Bpk Mulud (80 th) dan
Bapak Sumardi (70 th) bahwa bangunan ini didirikan sekitar tahun 1925 dan masih
menjadi bagian kawasan stasiun kereta api. Tidak begitu jelas keberfungsiannya
pada masa itu apakah sebuah kantor atau rumah dinas petugas stasiun kereta api.
Pasca kemerdekaan setelah tahun 1945,
bangunan ini mulai difungsikan sebagai kantor DPU Kebumen Cabang Gombong dengan
pimpinannya berturut-turut sbb: Mardjoened, R.M. Soetrisno, R. Roemintoyo (13
Juli 1974), Sadikoen (10 Juli 1978), Soebijadi (April 1981), D. Soetrisno, BE.
(20 Maret 1985), Bambang Sudarmadji, BE., S.Sos., (1990), Sumardi (1996),
Tarmuji (2001), Sarikun (2005), Suryantoko (2009), Darno (Mei 2018), Noor Adi
Wibowo, ST., M.Eng (1 Feb 2019 – sekarang).
Beberapa foto di bawah ini (sumber foto, Bapak Suparmo) memperlihatkan sejumlah aktivitas di sekitar kantor DPU Gombong al., syukuran kemerdekaan
(tahun 1977) dengan makan bersama bancakan
alias makan nasi di atas daun pisang dan apel persiapan Pemilu untuk
menyukseskan Partai Golkar. Nampak latar belakang pintu yang semula tinggi
(gigantis) telah mengalami pemangkasan dan dijadikan tembok tertutup
sebagaimana terloihat saat ini.
Mengutip pendapat Wijanarka dalam
bukunya, Semarang Tempo Dulu: Teori
Desain Kawasan Bersejarah, bahwa Kota
yang baik adalah kota yang memiliki kenangan tahapan pembangunan. Dengan
kenangan tahapan tersebut, sejarah pembentukan kota dapat dinikmati....Adanya
pembentukan kawasan yang terbentuk secara berurutan tersebut akan menjadikan
kota sebagai lintasan cerita yang dapat dilihat. Produk cerita yang dapat
dilihat tersebut pada dasarnya berupa arsitektur kota (urban architecture).
Arsitektur kota yang dimaksudkan adalah kekhasan arsitektur kota yang mana
antara kota satu dengan kota lainnya memiliki identitas yang berbeda (2007:1).
Kiranya sejumlah bangunan lawas peninggalan era kolonial – baik yang masih
difungsikan dan dialihfungsikan – khususnya yang berada di kawasan kota Gombong
dapat tetap dilestarikan dan dipertahankan keberadaannya, sebagai sebuah
kenangan dan penanda peristiwa di masa lalu, khususnya di era kolonial.
Menghilangkan bangunan lama tanpa
bekas begitu saja, bukan saja sebagai bentuk kurangnya awareness of history namun berdampak menghilangkan jejak tahapan
sejarah yang berlangsung di sebuah kota. Menjadikannya sebagai kawasan
perkantoran pemerintah, kafe dan hotel serta museum, lebih baik daripada
menghancurkannya bukan? Merawat dan mempercantik bangunan serta mengidentifikasi riwayat historisnya akan semakin memperkuat nilai keberadaan bangunan tersebut dalam lintasan waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar