Dalam artikel sebelumnya yang
berjudul, Berapa Gaji Bupati Ambal dan
Pegawai Pemerintahan Lainnya di Tahun 1872? Sebuah Skema Anggaran Yang
Dibatalkan (https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/05/berapa-gaji-bupati-ambal-dan-pegawai.html)
penulis menyajikan data penting mengenai skema gaji pejabat publik termasuk
asisten residen dan bupati Ambal pada tahun 1872. Namun dikarenakan kewafatan
R.A.A. Poerbonegoro pada tahun 1871 dan tidak ada kepemimpinan yang melanjutkan
maka tahun 1872 kabupaten Ambal dihapuskan dan wilayahnya dibagi menjadi milik
Kutoarjo, Kebumen dan Karanganyar.
Dalam artikel berikut kita akan
melihat data penting mengenai statistik penduduk Ambal dengan merujuk pada
laporan P. Bleeker dalam Nieuwe
Bijdragen Tot De Kennis Der Bevolkingstatistiek Van Java (‘S Gravenhage: Martinus
Nijhoff 1870)
Sebelum tahun 1872, Ambal masih
berstatus sebagai regentschap (kabupaten) bersama Kebumen, Karanganyar,
Purworejo, Kutoarjo, Ledok di bawah karesidenan Bagelen. Kabupaten Ambal
memiliki distrik yaitu: Ambal, Wonoroto, Petanahan, Puring, Karangbolong.
Dengan luas wilayah 7.192 mil,
terdiri dari 395 desa. Jumlah penduduk tahun 1845 sebanyak 94.972 dan tahun
1867 sebanyak 141.294. Susunan etnis penopang kabupaten Ambal tahun 1867
terdiri dari Inlanders (pribumi)
sebanyak 141.183, Eropa sebanyak 38 dan Tionghoa sebanyak 57. Sisanya, Timur
Asing lainnya (mungkin Arab) sebanyak 16.
Keberadaan jalan memanjang di
sepanjang pantai (yang kelak dinamai dan entah siapa yang menamai, Jl.
Daendels) tentu berkaitan dengan keberadaan kabupaten ini di masa silam. Jalan
memanjang dari timur ke barat atau dari barat ke timur ini menghubungkan
wilayah Karesidenan Bagelen (di mana kabupaten Ambal, Kebumen, Karanganyar
berada) menuju Karesidenan Banyumas (tahun 1928, Karanganyar pernah menjadi
wilayah Zuid Banjumas atau Banyumas
Selatan).
Apalagi sebelum tahun 1870,
Karangbolong (dimana pengunduhan sarang walet sudah berlangsung) masih menjadi salah
satu distrik di bawah kabupaten Ambal. Tentu saja dibutuhkan sebuah jalan yang
menghubungkan Ambal hingga Karangbolong melalui jalur jalan yang saat ini kita
menyebutnya dengan istilah Jalan Daendels
dan Jalan Lintas Selatan Selatan. Tentu
dahulu kondisinya tidak sebagus saat ini dengan pengaspalan modern.
Jika beberapa waktu lalu beredar
video di kanal you tube yang menuding
bahwa Belanda berada dibalik pengubahan nama Jalan Diponegoro menjadi Jalan
Daendels, sesungguhnya tudingan tersebut tidak mendapatkan dukungan dari
dokumen sejarah. Apa buktinya?
Pertama, Dr. P. Bleeker, dalam sebuah artikel berjudul, Fragmenten Eener Reis Over Java memberikan
laporan perjalanan yang menarik sbb:
“Pada tanggal 16 September kami
berangkat dari Poerworedjo ke Banjoemas. Dua jalan besar melintasi bagian
selatan Bagelen (Twee groote wegen
doorloopen de zuidelijke helft van Bagelen), dari timur ke barat. Paling
selatan ini membentang sejajar dan dekat dengan pantai, melintasi Ambal ke
Karang-bolong (De zuidelijkste derzelve
loopt parallel met en digt langs het strand , over Ambal naar Karang-bolong).
Paling utara melewati tengah
dataran aluvial besar karesidenan,
mulai dari Poerworedjo, memotong berturut-turut kabupaten Koeto-ardjo,
Keboemen, Karang-anjar dan sebagian sempit Ambal, kemudian memasuki Banjoemas
dan mencapai Seraijoe di Banjoemas, setelah itu Goenoeng-Kalongan mengikuti
sepanjang jalan terakhir yang kami ikuti, adalah ibu kota kabupaten
Koeto-ardjo, Keboemen dan Karang-anjar dan benteng yang masih dalam pembangunan
di Gombong atau Gembung (en het nog in aanbouw
zijnde fort te Gombong of Gemboeng)” (Tijdschrift
voor Neerland's Indiƫ jrg 12, 1850 [2e deel], no 8)
Laporan di atas memberikan
informasi paling dini kepada kita bahwa di tahun 1850 dua jalur jalan yang dari
Purworejo menuju Banyumas yang bisa ditempuh baik melalui jalur utara maupun
selatan. Hanya disebut, “dua jalan besar” (Twee
groote wegen). Tidak pernah disebut dengan nama Daendels weg.
Kedua, Dalam sebuah laporan mengenai pemetaan wilayah untuk keperluan
penyusunan peta dengan melakukan teknis geodesi yang ditulis oleh G. A. De
Lange sbb:
“Jalur sinyal selatan, dimulai
dari Gepak, termasuk titik-titik di Djatimalang, selatan ke desa Ngombol,
Djetiskoelon, di mana jalan besar dari Ambal (de groote weg van Ambal) mengarah ke utara ke Koetoardjo, Aglik, di
pos pertama antara Ambal dan Koetordjo, Troentung, di muara sungai Lok Oelo dan
Karangkoedo, di gudang sarang burung Karangbolong” (Verslag Van De Geodesische Triangulatie Van De Residentien Bagelen,
1857)
Laporan di atas bukan hanya
memberikan informasi penting bagaimana proses pembuatan peta sudah berlangsung
di wilayah Bagelen sejak tahun 1857 namun memberikan informasi mengenai
keberadaan jalan yang menghubungkan Ambal dengan Kutoarjo dan Kebumen sudah ada
namun tidak pernah disebut dengan Daendels
weg. Jika benar Belanda yang menghapus jejak perjuangan Pangeran Diponegoro
semasa Perang Jawa (1825-1830), tarikh 1857 seharusnya jalan itu sudah diganti
dengan nama Jalan Daendels bukan?
Dengan membaca data statistik di
era kolonial tersebut kita mendapatkan data historis mengenai kondisi kehidupan
Ambal semasa masih menjadi kota kabupaten. Bukan sebuah kisah fiksional
melainkan faktual. Keberadaan sejumlah dokumen baik berupa laporan, jurnal,
lembaran negara, artikel dan berita surat kabar membantu kita melakukan
rekonstruksi mengenai kehidupan sosial ekonomi di kabupaten Ambal sehingga kita
mendapatkan gambaran yang lebih obyektif dan historis. Selama ini ketika
membicarakan Ambal, lebih kental gambaran kisah yang lebih bersifat semacam
legenda tinimbang data historis.
Produktif sekali pak.mantap
BalasHapusTerimakasih moral supportnya
BalasHapus