Segelas kopi Vietnam Driep dan
camilan pisang goreng dan tempe mendoan telah habis disantap. Pak Guru Hardi
Nugroho sang pemilik Cafe Blaar 88 Ambal, kembali mengajak penulis untuk
melihat sejumlah lokasi yang pernah ditemukan sebelumnya. Lokasi pertama
terletak di belakang SD Ambal Kliwonan dan lokasi kedua di tepian jalur JLSS
(Jalur Lingkar Selatan-Selatan).
Lokasi pertama adalah sebuah
lokasi pekarangan rumah warga setempat namun berdiri sebuah bangunan kecil
mirip monumen. Menurut informasi dan kesaksian warga sekitar yang telah membeli
tanah tersebut, dahulu adalah lokasi pemakaman. Masyarakat menyebutnya dengan
istilah “bong”. Namun dikarenakan melihat ciri bangunan yang mirip monumen dan
sebuah sisa patahan yang tersusun dari bata merah, nampaknya bangunan mirip
monumen ini adalah salah satu pusara khas orang-orang Belanda yang sudah
meninggal.
Beberapa warga yang ditanyai memberi kesaksian (ada yang kelahiran 1968 dan 1975) bahwa dahulu saat mereka masih kecil sering bermain di kawasan pekuburan Belanda dan menjadikan pusaranya sebagai alas meja permainan mereka. Saat ini tidak ada satupun bekas pusara orang-orang Belanda tersebut. Kemana dan bagaimana nasib orang-orang yang terbaring di dalamnya? Sebagaimana yang terjadi di kawasan kuburan Belanda di Karanganyar yang pernah penulis teliti (Makam Belanda Tanpa Kisah di Karang Kemiri -http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2020/07/makam-belanda-tanpa-kisah-di-karang.html) nasib bekas pekuburan Belanda ini setali tiga uang. Raib tanpa bekas. Untungnya masih menyisakan dua artefak yang tidak bernama.
Penampakkan artefak bangunan
mirip monumen ini lazim ditemui di beberapa pekuburan Belanda (kerkhof) yang
masih terawat, baik di Cilacap, Gombong, Purworejo. Pusara orang Belanda yang
telah meninggal tidak selalu berbentuk horisontal dan membujur lebih tinggi
sedikit dari tanah namun dapat juga berbentuk vertikal meninggi ke atas
sebagaimana dapat ditemui di kawasan Kerkhof Semanding Gombong. Beberapa nama
yang teridentifikasi di sana al., C.F. Campen dan M. Peleen (Nama dan Kisah di Kerkhof Gombong -http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/05/nama-dan-kisah-di-kerkof-gombong.html). Di tengah
bangunan pusara mirip monumen biasanya tertulis sebuah nama dengan dilapisi
batu marmer dengan frasa, hier rust (di sini beristiirahat” yang kemudian
diikuti dengan identitas seseorang yang dikuburkan.
Demikian pula dengan penampakkan
artefak mirip monumen di sebuah pekarangan warga di belakang SD Ambal Kliwonan
memperlihatkan ciri-ciri demikian. Di tengah bangunan ada lobang menjorok ke
dalam membentuk tubuh manusia dan di samping kiri dan kanan ada dua lubang
menjorok ke dalam membentuk tubuh manusia. Seorang ibu yang berada di sekitar
lokasi makam tersebut memberikan kesaksian bahwa dahulu ada nama seseorang
dituliskan dalam batu marmer. Bahkan beberapa orang pernah melakukan penggalian
di bagian bawah makam ini untuk mendapatkan sesuatu yang dianggapnya barang
berharga.
Kondisi hilangnya makam Belanda
dengan pusara dan namanya ini sangat disayangkan. Padahal jika kita dapat
melihat nama dan angka-angka tahun mereka yang terbaring di sini maka dapat
memperkirakan usia makam Belanda dan meletakannya dalam situasi kesejarahan
terkait dengan keberadaan Ambal sebagai sebuah kabupaten dari 1832-1872.
Lokasi kedua yang berada beberapa
ratus meter di tepian Jalan Lingkar Selatan-Selatan di antara gundukan pasir
dan tanaman warga setempat, terdapat sekitar 4 pusara orang Tionghoa yang lazim
disebut “bong”. Namun hanya dua yang masih teridentifikasi bentuk dan huruf
kanji yang tersemat di Bong Pay atau Mu Bei (batu nisan makam). Petunjuk lain
yaitu berupa Mu Qiu atau Mu Gui alias tempat untuk meletakkan
peti jenazah, dan berbentuk seperti gundukan bukit. Dan terakhir, Mu An Qian Kao atau tembok pembatas
dalam yang mengelilingi bukit makam. Namun dikarenakan penulis tidak bisa
berbahasa kanji maka tidak bisa mengidentifikasi nama dan tahun meninggal orang
Tionghoa yang berbaring di sana.
Sekalipun tidak ada keterangan
dan informasi yang dapat melacak siapa dan bagaimana keberadaan pekuburan
Belanda dan Tionghoa di wilayah Ambal namun keberadaan makam ini menunjukkan
kelompok-kelompok sosial yang pernah menghuni Ambal di era kolonial (sekitar
1800-an-1900-an) yang bukan hanya terdiri dari orang Jawa melainkan orang
Belanda dan orang Tionghoa.
Sebagaimana kabupaten terdekat di
era kolonial (Karanganyar, Kutoarjo, Purworejo) di Kebumen era kolonial susunan
penduduk terbagi atas pribumi Jawa, orang Belanda dan Tionghoa serta Timur
Asing. Dalam sebuah laporan oleh Tijdschrift voor het Nederlandsch
Aardrijskundige Genootschap (Majalah untuk Masyarakat Geografi Belanda)
1891, disebutkan bahwa etnis yang tinggal di Kebumen tahun 1891 terdiri dari:
Orang Eropa (54), Pribumi (3015), Orang Tionghoa dan Timur Asing lainnya (541).
Total jumlah penduduk 3.610. Jumlah ini hanya meliputi kota Kebumen yang
terdiri dari Kawirayudan, Mertokondo,, Jetis, Prumpung, Gunung Wujil, Kebumen
(Teguh Hindarto, Dinamika Sosial Ekonomi
Kebumen Era Kolonial, Materi Historical Study Trips, 2 Agustus 2020).
Dalam Ilmu Sosiologi dibedakan
antara stratifikasi sosial dan deferensiasi sosial. Jika stratifikasi sosial
merupakan pengelompokkan masyarakat berdasarkan pemilikan kekayaan dan
pengetahuan maka diferensiasi sosial merupakan pengelompokkan sosial
berdasarkan etnis, budaya, agama. Jika stratifikasi sosial bersifat vertikal maka
diferensiasi sosial bersifat horisontal.
Keberadaan makam orang Jawa,
Belanda, Tionghoa yang sudah ada sejak era kolonial ini memperlihatkan
diferensi sosial masyarakat Ambal. Kita bisa membayangkan bagaimana interaksi
sosial dan transaksi ekonomi terjadi di antara etnis-etnis yang berbeda pada
zaman tersebut.
Kiranya penelusuran ini semakin
memberikan wajah utuh kepingan-kepingan informasi masa silam khususnya di
wilayah Ambal yang pernah menjadi sebuah kota kabupaten dari tahun 1832-1872
Mas...itu foto nisan huruf kanji/ Tionghoa...minta tolong aja sama teman yg ahli bahasa itu...biar bisa ketahuan nama atau keterangan lainnya...
BalasHapus