Istilah difabel dan disabilitas semakin familiar di telinga kita untuk menandai sekelompok individu yang memiliki keterbatasan secara fisik ataupun mental. Banyak komunitas terbentuk untuk mewadahi aktivitas dan menyalurkan sejumlah bakat individu-individu yang memiliki keterbatasan tersebut.
Beberapa pegiat saat ini
mereferensikan sebuah terminologi yang dianggap lebih tepat yaitu “penyandang
disabilitas” tinimbang “difabel”. Istilah “difabel” sebenarnya merupakan
singkatan dari bahasa Inggris “different ability”, yang artinya “kemampuan yang
berbeda”. Sementara terminologi “penyandang disabilitas” berasal dari Indonesia
dan sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas.
Ternyata di Kebumen era kolonial telah ada kelompok-kelompok penyandang disabilitas dan mendapatkan sejumlah perhatian baik dari pemerintah maupun organisasi non pemerintah. Tidak banyak data yang kita peroleh mengenai keberadaan mereka di Kebumen era kolonial selain sebuah berita keberadaan mereka dikaitkan dengan sebuah pekan raya pengumpulan dana.
Sebuah laporan berita dengan judul De Fancy-Fair (Pekan Raya) yang dimuat oleh Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië (06 April 1938) dibuka dengan kalimat, Zaterdagavond had in de kaboepaten de fancy-fair plaats ten behoeve van het Blindenwerk in Nederlandsch IndiĆ« (Pada hari Sabtu malam, sebuah pekan raya mewah diselenggarakan di kabupaten untuk karya para pekerja tunanetra di Hindia Belanda).
Dibuka pukul 18.00 dengan sebuah
kembang api yang ditembakkan ke udara, sejumlah tenda didirikan di halaman pendopo dan bioskop terbuka (openluchtbioscoop)
ditayangkan. Sejumlah prasmanan publik telah menyibukkan sejumlah wanita untuk
menjamu dan menghidangkan bagi orang yang hadir.
Di pendopo kabupaten, sebuah
program "sesuatu untuk semua orang" (elek wat wils) diselenggarakan yang terdiri dari wayang orang,
akrobat, sandiwara serta tarian pribumi (Inlands
dansen). Berkat kerja sama spontan banyak orang, terutama perkumpulan
wanita (damesvereeniging) bernama "Poetri Mardi Oetomo", pekan raya ini
sangat sukses dan berhasil mengumpulkan uang sebesar 300 florin yang kemudian
diserahkan untuk para pekerja tuna netra.
Pekan raya tersebut dikatakan, het aantal bezoekers zoo enorm, dat het
succes toen reeds verzekerd was (jumlah pengunjung demikian besar sehingga
kesuksesan dapat dipastikan pada saat itu).
Sementara menurut harian yang sama yaitu Algemeen Handelsblad sebulan sebelumnya (25 Maret 1938) memberitakan bahwa dari hasil bersih (de netto-opbrengst) penjualan sejumlah makanan akan disisihkan 50% untuk Blindenwerk (pekerja tuna netra) dan 50% untuk organisasi kewanitaan "Poetri Mardi Oetomo".
Nah, bagaimana dengan komunitas
dan keberadaan penyandang disabilitas di kota kita masa kini? Sejarah sedang
dituliskan saat ini dan kitalah yang menuliskan dan bersama membentuknya demi
masa depan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar