Dalam artikel sebelumnya, penulis telah menyampaikan penemuan keberadaan makam Tirtokusumo dan Iskandar Tirtokusumo di Desa Karang Kemiri melalui sebuah pembacaan surat kabar berbahasa Belanda yang melaporkan suasana duka dan penguburan alm. Iskandar Titokusumo. Nama Desa Karang Kemiri disebutkan sebagai tempat pemakaman dalam surat kabar tersebut. Setelah melalui penelurusan dan pencarian yang tidak terlalu sulit, lokasi makam tersebut berhasil ditemukan (Teguh Hindarto, Mencari Makam Tirtoekoesoemo di Desa Karang Kemiri - https://www.qureta.com).
Nama mereka berdua tidak bisa dilepaskan dari sejarah Karanganyar saat masih menjadi kabupaten tetangga Kebumen. Tirtokusumo (1902-1912) dan Iskandar Tirtokusumo (1912-1936) adalah nama bupati yang pernah menjabat di Kabupaten Karanganyar era kolonial. Tanggal 1 Januari 1936 status Karanganyar sebagai kabupaten dihapuskan karena krisis ekonomi dunia dan Hindia dan dijadikan sebagai wilayah kecamatan dari Kabupaten Kebumen (Teguh Hindarto, Chusni Ansori, Sociological Perspective on the Elimination of Karanganyar Regency as an Impact of the 1930s Economic Depression, Journal Simulacra, Vol. 3 No. 1, June 2020)
Jika Tirtokusumo dikenal pada masanya bukan hanya sebagai bupati Karanganyar namun juga ketua pertama Budi Utomo hasil Kongres Yogyakarta (Teguh Hindarto, Mengenang Tirtoekoesoemo - https://www.qureta.com). Sementara Iskandar Tirtokusumo bukan hanya mahir bermain pacuan kuda melainkan menjadi pembangun rumah sakit Panti Raga Nirmala atau Ziekenhuis Nirmala (Teguh Hindarto, Ziekenhuis Nirmala (Rumah Sakit Nirmala):Monumen Historis Kemandirian Perawatan Kesehatan Masyarakat - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com).
Beberapa ratus meter dari pemakaman keluarga Tirtokusumo yang berada di perbukitan, di sebuah kawasan pesawahan di Desa Karang Kemiri berdiri sejumlah makam Belanda yang sudah tidak utuh lagi keadaanya.
Sungguh sangat memprihatinkan. Hanya ada empat makam tersisa dan satu monumen yang kesemuanya sudah tidak dalam bentuk yang utuh dan tidak teridentifikasi sama sekali baik nama orang yang dikebumikan maupun sejumlah keterangan tahun yang diperlukan untuk mengetahui sejarah mereka yang dikebumikan di pemakaman Belanda ini.
Bapak Slamet, juru kunci makam keluarga Tirtokusumo berbaik hati menunjukkan keberadaan lokasi makam Belanda yang rusak dan tidak terawat tersebut. Pria kelahiran tahun 1953 ini masih mengingat masa kecilnya bagaimana di pemakaman Belanda ini keadaanya sangat terawat dengan penampakkan nisa besar dan terbuat dari marmer. Tidak hanya empat makam tapi banyak makam. Bahkan Bapak Slamet masih bisa mengingat pintu pagar tembok dan tangga menaiki makam Belanda tersebut.
Tidak diketahui persis terjadinya, keberadaan makam marmer tersebut satu demi satu hilang dan rusak hanya menyisakan beberapa makam dengan batu bata merah minus marmer dan nama-nama orang yang berbaring di bawahnya. Dibalik rimbun pohon jati dan pohon pisang serta daun-daun kering yang jatuh, di bawahnya terdapat sejumlah orang-orang Belanda yang pernah dikuburkan di sana.
Alm. M.M. Purbohadiwidjojo (mantan geolog ITB dan masih keturunan Bupati Karanganyar pertama yang bernama Djadjadiningrat) menuliskan dalam beberapa serial mengenai Karanganyar di websitenya (sejarah.purbo.org) sehingga kita cukup terbantu memahami situasi Karanganyar khususnya di tahun 1930-an.
Beberapa lokasi penting seperti masjid Karanganyar, rumah sakit Nirmala, kantor Bupati, saluran irigasi, jalan raya utama, pabrik minyak Olvado, lembaga-lembaga pendidikan, kantor bank, kawasan Pecinan termasuk kuburan orang Cina dan Belanda diberikan deskripsi yang membantu kita merekonstruksi sejarah kehidupan sosial ekonomi Kabupaten Karanganyar.
Mengenai areal pekuburan disebutkan, “Yang sudah lama ada ialah TPU Balepanjang yang diperuntukkan bagi orang warga setempat. Juga ada TPU untuk penduduk Cina dan bahkan ada TPU Belanda”. Namun lokasi desa di mana pekuburan Cina dan Belanda tersebut tidak disebutkan dalam tulisan tersebut. Penulis tidak menyangka jika lokasinya tidak terlalu jauh dari pemakaman keluarga Tirtokusumo. Jika Bapak Slamet tidak berbaik hati menunjukkan lokasinya, maka sampai hari ini penulis belum tentu mudah menemukan lokasi kuburan Belanda ini.
Sebuah surat kabar bernama De Locomotief (14 Maret 1930) menginformasikan perihal sebuah agenda rapat yang dilakukan oleh Dewan Kabupaten Karanganyar pada tanggal 18 Maret 1930 di mana akan dilakukan sejumlah pembahasan perihal “pemakaman umum” (algemeene begraafplaatsen), “pajak tempat hiburan” (vermakelijkheidsbelasting), “pajak hewan anjing” (hondenbelasting), “pajak kendaraan” (voertuigenbelasting). Mengenai pemakaman umum disebutkan keberadaan pemakaman umum di Karanganyar untuk kalangan Eropa dan Tionghoa yaitu:
Voor de Chineesche begraafplaats te Karanganjar
Voor de Chineesche begraafplaats te Gombong
Voor de Chineesche begraafplaats te Pedjagoan
Voor de Europeesche begraafplaats te Karanganjar en Gombong
Jika lokasi pemakaman Belanda yang sudah tidak utuh lagi berada di Desa Karang Kemiri maka lokasi pemakaman orang-orang Tionghoa (Cina) berada di Desa Plarangan di tepian jalan raya yang menghubungkan Karanganyar menuju Karanggayam. Lokasinya terlihat rapih dan bersih serta terawat dengan sejumlah nama yang tersemat dari periode tahun 1929-an di era Iskandar Tirtokusumo.
Saat menelusuri keberadaan makam Belanda di Karang Kemiri, ada hal menarik yang membuat penulis terharu saat Bapak Slamet yang juru kunci makam keluarga Tirtokusumo memberikan sejumlah keterangan mengenai keberadaan makam tersebut. Pertama, dia secara sukarela menjaga dan merawat keberadaan makam Belanda tersebut tanpa ada satupun yang menggajinya. Dia meluangkan waktu membersihkan sejumlah daun-daun yang kering berjatuhan untuk sekedar merapihkan keberadaan makam Belanda tersebut. Kedua, Bapak Slamet selalu mencegah siapapun yang hendak merusak atau meniadakan keberadaan makam Belanda tersebut dengan alasan bagaimanapun keberadaan makam ini bagian dari sejarah yang pernah ada di Karanganyar.
Dua hal ini membuat penulis harus memberikan apresiasi terhadap Bapak Slamet yang sederhana. Mungkin beliau tidak mengerti teori-teori sejarah yang pelik namun dibalik kesederhanaanya kita dapat belajar untuk menghargai sejarah.
Sejarah bukan sebuah kisah satu sisi yang harus kita junjung dan banggakan. Sejarah berkisah tentang banyak sisi yang turut berkontribusi membentuk kehidupan di masa kini. Jika sejumlah gedung dan infrastruktur peninggalan kolonial bisa kita rawat dan alih fungsikan, pemakaman orang-orang Belanda seharusnya dapat dirawat sebagai sebuah peringatan bukan sekedar kisah kolonialisasi tapi juga sebuah interaksi yang pernah terjalin di antara penduduk kota kita di mana tinggal etnis yang beragam baik pribumi (Jawa), Eropa (Belanda) dan Tionghoa. Perusakan makam bukan hanya menghapus rangkaian kisah bahkan menjadikan nama-nama orang yang terbaring di dalamnya tanpa sebuah kisah.
Kita bisa melihat kerkhof atau pemakaman Belanda yang masih terawat di Kabupaten Cilacap. Kita pun mash bisa melihat kerkhof di Kabupaten Purworejo. Belum terlambat jika para pemangku kepentingan (baik pihak desa maupun keluarga atau pegiat sejarah lokal) menata kembali keberadaan kerkhof di Desa Karang Kemiri menjadi sebuah lokasi yang bernilai historis, sebagaimana kawasan pemakaman Tirtokusumo serta pemakaman Tionghoa di Kelurahan Plarangan.
Bagian dari sejarah layakdi lestarikan
BalasHapus