Satu kalimat saja saat saya menyempatkan membaca buku baru
karya Sigit Asmodiwongso dengan judul, “Ngomong
Gombong: Remah Sejarah Kota 1830-1942” (Tapak Publishing, 2020) yaitu buku serius yang berbicara
mengenai Gombong namun dengan bahasa populer dan tidak perlu terlalu banyak
mengernyitkan kening.
Mengapa buku ini disebut “serius” membicarakan Gombong?
Setidaknya ini adalah buku pertama yang mengkaji Gombong dari perspektif
sejarah sekalipun tidak terlalu ketat dalam menerapkan penuturan secara akademis.
Sesuai latar belakang penulis yang menekuni kegiatan
pelestarian heritage (warisan
bersejarah) dan historical trip
(wisata berbasis tempat bersejarah), kita diajak menelusuri lorong waktu
Gombong dari periode 1830-1942 dan memahami kisah-kisah dibalik setiap bangunan
tua dan kuno yang bertebaran di kota Gombong, baik bangunan tua bercorak
arsitektur Belanda, Tionghoa bahkan pribumi Jawa.
Melalui narasi historis yang dilekatkan pada sejumlah historical site (situs bersejarah)
pembaca menjadi memiliki gambaran yang cukup menyeluruh mengenai kronologi dan
konstelasi kehidupan sosial politik dan sosial ekonomi yang menghidupi kota
Gombong.
Yang tidak kalah penting dan menarik adalah menyajikan
genealogi Fort Cochius (benteng
Cochius) yang kemudian diganti namanya menjadi Benteng Van der Wijk dengan
memberikan data baru berupa staatblad
(surat keputusan) sebagaimana dikatakan, “Dokumen tertua yang menyebut Gombong
adalah surat keputusan (staatblad) No
23 tahun 1839 tentang penamaan beberapa benteng yang dibangun Belanda sesudah
perang” (hal 28).
Penyajian dokumen berupa staatblad
ini bukan sekedar untuk melakukan penafsiran terhadap kapan benteng ini
dibangun namun sekaligus melakukan sebuah pelacakkan mengenai kelahiran Gombong
sebagai sebuah nama kota sebagaimana dikatakan, “Sebelum ada bukti lain yang lebih kuat, dapatlah disimpulkan bahwa munculnya
Gombong sebagai nama wilayah terjadi antara tahun 1830-1839. Umur yang cukup
muda untuk sebuah kota” (hal 29).
Ada
beberapa catatan yang ingin saya tambahkan terkait buku kecil yang berkisah
mengenai Gombong ini. Pertama, sekalipun penulisnya telah
dengan upaya maksimal memotret kehidupan sosial di Gombong terutama asal usul
dan peran etnis Tionghoa dalam membentuk struktur sosial ekonomi Gombong baik
melalui keberadaan para pedagang (hal 49-53, 89-94) maupun institusi pendidikan
(hal 106-107) namun ada yang dilupakan atau mungkin luput dari pengkajian yaitu
keberadaan organisasi Pao An Tui di Gombong.
Paska
kemerdekaan Republik Indonesia, terjadi kekacauan kepastian sistem hukum dan
politik karena terjadinya transisi kekuasaan. Berbagai tindakkan kekerasan,
kerusuhan, penggedoran, perampokkan serta tindakkan kriminal bermunculan di
mana-mana tanpa mendapatkan proses yang memadai.
Demikan
pula terjadi sejumlah kekerasan awal terhadap etnis Tionghoa berupa Gerakan
Anti Tionghoa. Tindakkan-tindakkan kekerasan terhadap etnis Tionghoa tidak
terjadi di ruang hampa. Konteks sosio historis perlakuan terhadap etnis
Tionghoa oleh pemerintahan Belanda dengan membuat kategorisasi etnis Tionghoa
sebagai golongan “Timur Asing” (Vreemde
Oosterlingen, termasuk juga Arab dan India di dalamnya) sehingga berperan
dalam menciptakan sekat-sekat di antara kelompok etnis di Indonesia menjadi
salah satu yang berkontribusi terhadap Gerakan Anti Tionghoa yang muncul di
awal paska kemerdekaan.
Dalam
sebuah konferensi yang dilaksanakan oleh Chung
Hua Tsung Hui (Asosiasi Tionghoa Pusat), pada tanggal 24-26 Agustus 1947
yang dihadiri oleh perwakilan CHTH seluruh Indonesia (kecuali CHTH Yogyakarta
dan Solo, menyepakati berdirinya Pao An
Tui (Barisan Pertahanan Tionghoa) pada tanggal 28 Agustus 1947. Pendirian
organisasi ini dilatarbelakangi sebuah kebutuhan untuk melakukan pertahanan
diri di mas yang penuh gejolak politik tersebut.
Artikel
tersebut ditutup dengan menyebutkan sejumlah nama kota dimana dilakukan
perekrutan laskar Pao An Tui termasuk Gombong sebagaimana dikatakan, “Tenslotte verzocht hij de republikeinse
regering alle Chinezen te registreren. die verplicht werden uit de gebieden
rondom Gombong, Malang, Djember, Boemiajoe, Pekalongan en elders te evacueren”
Terjemahan
bebas:
“Akhirnya, ia (Konsul jendral Cina di
Batavia, red) meminta pemerintah republik mendaftarkan semua orang Tionghoa
yang dibutuhkan mulai dari daerah sekitar Gombong, Malang, Djember, Boemiajoe,
Pekalongan dan pengambilan dari di tempat lain”
Terlepas
pro kontra terkait keberadaan Pao An Tui yang bagi sebagian saksi sejarah
dianggap berpihak kepada Belanda, namun keberadaan Pao An Tui di Gombong
selayaknya menjadi bagian pengisahan sejarah sosial kota.
Kedua, Gombong sebagai sebuah kota bukan entitas
polis yang berdiri sendiri. Gombong pada masanya adalah salah satu distrik dari
Kabupaten Karanganyar sebelum tanggal 1 Januari 1936 dihapuskan statusnya
sebagai kabupaten dan digabungkan ke dalam Kabupaten Kebumen (Teguh Hindarto,
Chusni Ansori, Sociological Perspective
on the Elimination of Karanganyar Regency as an Impact of the 1930s Economi
Depression – Journal Simulacra, Vol 3, 1 June 2020:90).
Sejak
kekalahan Perang Jawa, pemerintahan Belanda membuat administrasi pemerintahan
baru. Brengkelan diubah menjadi Purworejo, Panjer diubah menjadi Kebumen, Remo
Jatinegara diubah menjadi Karanganyar.
Tercatat
dalam surat kabar De Locomotief (21 Maret 1874) bahwa Karesidenan Bagelen
mengalami perkembangan wilayah kabupaten yaitu menjadi 5 (sebelumnya 4) yaitu
Kabupaten (regentschap) Purworejo, Kabupaten Kutoarjo, Kabupaten Kebumen,
Kabupaten Karanganayar, Kabupaten Ledok. Adapun Kabupaten Karanganyar terdiri
dari 6 distrik yaitu, Karanganyar, Gombong, Soka, Petanahan, Puring,
Karangbolong.
Kisah
Gombong yang ditulis dalam buku “Ngomong Gombong: Remah Sejarah Kota
1830-1942”,
sejatinya berkisah mengenai riwayat dan dinamika sosial ekonomi sebuah distrik
yang berada di wilayah Kabupaten Karanganyar (sampai tahun 1936).
Terlepas dari semua itu, buku ini menarik dan layak dibaca
serta menjadi rujukkan dalam materi sejarah lokal. Siswa didik tidak hanya
diberikan pengetahuan mengenai sejarah arus utama yang nun jauh di sana namun
harus mengetahui sejarah kotanya, sejarah bangunan, sungai, jalan di
sudut-sudut kota yang dilewatinya sehari-hari.
Terimakasih Pak Teguh untuk review kerennya. Minta ijin info seputar Po An Tui saya masukkan Ngomong Gombong #2 (1942 - 1980)
BalasHapusSilahkan...
HapusMkn memang di"luputkan" u buku berikutnya pak, Gombong Paska Kemerdekaan. klu melihat dr sub judule buku, range waktunya 1830-1942, Pao An Tui berdiri 1947.
BalasHapus