Kota Kebumen bukan “Kota Tanpa Masa Lalu” (meminjam judul
kumpulan essay Albert Camus). Di setiap nama kecamatan, desa, areal pekuburan,
perbukitan, kawasan pantai, bangunan kuno yang tersisa menyimpan sejumlah kisah
yang menarik yang pernah terjadi di era Perang Jawa (1825-1830).
Sejumlah wilayah Bagelen Barat yang disebutkan dalam buku De Java Oorlog van 1825-1830 karya E.S. Klerk (1905) menyebutkan
sejumlah nama al., Panjer, Kutowinangun, Karang Bolong, Urut Sewu, Sruni,
Kemit, Petanahan, Grogol, Bocor, Roma, Ungaran (Ngaran), Kutawinangun, Wonosari
dll., dengan demikian memberikan sebuah gambaran perihal konteks sosial politik
yang pernah berkecamuk di wilayah yang sekarang ini disebut Kebumen.
Demikian pula saat modernisasi diperkenalkan pasca
berakhirnya Perang Jawa ditandai dengan berdirinya stasiun kereta api Kebumen
(1887), Pabrik minyak Insulinde (1915) yang kemudian menjadi Mexolie (1930),
pembangunan pemandian air panas Krakal (1887), pembangunan Rumah Sakit
"Pandjoeroeng" (1915) atau "Zendeng" (RSUD lama).
Bukti dari peristiwa di atas dapat dilihat dari keberadaan
sejumlah gedung tua saat ini masih difungsikan namun sebagian tidak difungsikan
lagi. Sebagian gedung yang difungsikan beberapa ada yang dialihfungsikan
(pabrik minyak Insulinde dan Mexolie menjadi hotel berbintang dan gedung
Makodim) sementara gedung yang sudah tidak difungsikan adalah RSUD lama. Adapun
kawasan yang masih difungsikan adalah pemandian air panas Krakal.
Bisa dibayangkan jika gedung-gedung tua di era kolonial di
Kebumen semua diratakan dengan tanah dan diganti gedung baru? Kota kita akan
kehilangan konteks sosiohistoris dan sosioekonomis di masa lalunya. Kota yang
baik adalah kota yang memiliki kenangan tahapan pembangunan. Dengan kenangan
tahapan tersebut, sejarah pembentukan kota dapat dinikmati (Wijanarka, Semarang
Tempo Dulu: Teori Desain Kawasan Bersejarah, 2007:1).
Berangkat dari pemikiran tersebut dan kaitannya dengan
wacana pengalihfungsian gedung Makodim menjadi kawasan mall, kita memang
dihadapkan pada sebuah pilihan antara investasi dan konservasi.
Hemat saya, kita tidak memilih salah satunya melainkan
mensinergikan keduanya. Artinya investasi tetap jalan namun dengan tidak
mengabaikan konservasi kawasan bersejarah. Sepanjang pembangunan mall tidak
merusak eksistensi bangunan bersejarah, melainkan disinergikan sedemikian rupa
dalam desain pembangunan sehingga masyarakat tetap dapat melihat jejak kisah
maka bukan menjadi sebuah masalah.
Sebagaimana diteorikan oleh C.N. Schultz dalam Genius
Loci: Toward A Phenomenology of Architecture mengenai peran arsitektur
sebagai media untuk memvisualisasikan jiwa tempat sehingga manusia dapat
mengidentifikasi dirinya terhadap lingkungan sekitar. Oleh karenanya, setiap
kota perlu memelihara identitasnya sehingga dapat dibedakan dengan tempat lain (Konservasi
Arsitektur Kota Yogyakarta, 2013:9).
Kiranya pihak-pihak terkait khususnya lembaga pemerintahan
daerah dapat mempertimbangkan sebuah kebijakan pembangunan yang mensinergikan
antara investasi dan konservasi sehingga jiwa dan kisah kota dapat bercerita
dibalik sejumlah bangunan tua yang dipelihara.
Teguh Hindarto, S.Sos., MTh.
Peminat kajian sosial dari Braindilog Sosiologi Indonesia
Opini ini dimuat di Koran Kebumen Ekspres, 5 Februari 2020
Thanks u into nya saya mau ziarah ke Kebumen berencana April 2020 ternyata di Jakarta sedang ada Pandemik Covid-19.
BalasHapusMungkin kalau saya ke sana bisa ketemu dengan mas Teguh ?
Terima kasih
Bisa sekali. Nanti jika semua sudah membaik bisa memberikan nomor kontak di sini. Nanti kalau sudah saya save akan saya hapus untuk alasan privasi panjenengan
Hapus