Lukisan Wanita Solo Karya Basoeki Abdoelah - Pinterest.com
Dalam beberapa tulisan sebelumnya,
penulis telah membuat ulasan sejumlah istilah yang sudah dikenal di era
kolonial dan masih dipergunakan di masa kini sebagaimana dalam artikel, “Perkara
‘Mata Gelap’ di Cilacap Tahun 1932: Mempelajari Situasi Sosial dan Munculnya
Istilah-Istilah Hasil Pertemuan Bahasa Belanda dan Melayu (Indonesia)” (https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com).
Kali ini kita akan melacak
perihal kata “bini” dalam sebuah laporan berita. Sebuah kisah menarik yang
terjadi di desa Sadang tahun 1903. Dalam sebuah koran yaitu De Preanger Bode bertanggal
22 Mei 1903 dikisahkan mengenai seorang haji bernama Wahab yang sedang
kecurian.
Tidak ada judul khusus yang dituliskan dalam koran tersebut. Saya
lebih senang membuat judul, “Een Leuke Hadji” (Seorang Haji Yang Baik). Mengapa
saya memberi judul tersebut? Karena laporan pendek tersebut dimulai dengan
frasa, “Een leuke hadji is de hadji Wahab
in de dessa Sadang” (Haji yang baik adalah Haji Wahab di dessa Sadang). Dan jika menyimak isi berita, maka akan terlihat mengenai kebaikan yang diperlihatkan seorang haji bernama Wahab yang justru memberi makan seorang pencuri di rumahnya.
Tidak diberikan keterangan Desa Sadang di wilayah Jawa Barat (Karesidenan Priangan) atau di wilayah Jawa Tengah (Karesidenan Bagelan) namun menilik nama korannya yaitu De Preanger Bode, mungkin saja Desa Sadang yang dimaksudkan adalah di kawasan Karesidenan Priangan.
Demikian isi berita dalam koran tersebut:
Een leuke hadji is de hadji Wahab in de dessa Sadang. Vrijdagavond
kreeg hij, terwijl hij en zijn gezin zich reeds ter ruste hadden begeven,
bezoek van een dief
Toen deze bezig was, de etenskast open te maken, werd de hadji daarvan
wakker, wekte zijn gezin en ging toen naar den dief, dien hij uitnoodigde voor
hem plaats te remen.
De dief geheel verbouwereerd door deze hartelijke ontvangst, hurkte
neder en Wahab beval zijn bini een kopje koffie den nachtelijken bezoeker in te
schenken.
Zoo vertrouwelijk tegenover den schelm zittend, vroeg Wahab hem nu de
reden van zijn komst en de verraste inlander vertelde hem, dat hij door den
nood gedrongen tot diefstal was overgegaan.
Wahab gaf den dief een gulden en 10 gendeng rijst en de dankbare
inbreker beloofde den hadji, dat hij zijn misdadig leven zou opgeven en weer
zou trachten te worden een nuttig lid der maatschappij. Wij helpen het hem
wenschen !”
Terjemahan bebas:
“Haji yang baik adalah Haji Wahab di desa Sadang. Pada Jumat malam,
ketika dia dan keluarganya pergi tidur, dia dikunjungi oleh seorang pencuri.
Ketika si pencuri sibuk membuka lemari makanan, haji itu terbangun
kemudian membangunkan keluarganya serta menemui si pencuri, yang kemudian dia panggil
unuk meninggalkan (lemari itu).
Si pencuri sungguh bingung dengan sambutan yang hangat ini kemudian
berjongkok dan Wahab memerintahkan bininya untuk menuangkan secangkir kopi
kepada pengunjung malam itu.
Duduk dengan penuh percaya diri di seberang bajingan itu, Wahab
sekarang menanyakan alasan kedatangannya, dan pribumi yang terkejut tersebut mengatakan
bahwa ia telah melakukan pencurian.
Wahab memberi si pencuri tersebut guilden dan 10 g beras dan pencuri
yang bersyukur tersebut berjanji pada haji bahwa dirinya akan berhenti dari
kegiatan kriminalnya dan mencoba menjadi anggota masyarakat yang berguna lagi.
Kami berharap demikian!”
Kita tinggalkan sejenak kisah
kebaikan Haji Wahab di desa Sadang ini. Kita menggeser perhatian pada sebuah
frasa yang menarik yaitu “zijn bini”. Saya hanya menerjemahkannya “bininya”.
Jika membuka beberapa kamus bahasa Belanda, kita akan mendapatkan keterangan
bahwa kata “bini” bisa bermakna “dua” namun juga bermakna “suku Negro di Afrika
Barat” (enclylo.nl). Jika kata “bini” dalam laporan koran tersebut diartikan
sebagaimana dalam kamus sungguh tidak masuk akal.
Sekalipun istilah “bini” lebih
banyak kita dengar dalam ekspresi bahasa dan budaya Betawi namun ternyata dalam
sejumlah laporan koran berbahasa Belanda sudah menjadi istilah umum yang
dimaknai sebagai “istri”.
Ada sebuah laporan menarik dari
koran Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië bertanggal 1 November
1935 sbb:
“Geneugten van Polygamie
Bini toewa tracht Bini moeda te Vergiftigen.
ANIP-Aneta meldt ons uit Djokja, dat zich in een desa in het
Bantoolsche bij Djokja een drama heeft afgespeeld, waarbij een „bini
toewa" haar rivale, de „bini moeda" eenige malen een dosis
rattenkruid toediende. Het slachtoffer is gelukkig nog in leven.
De giftmengster heeft een bekentenis afgelegd”
Terjemahan bebas:
“Kenikmatan Poligami
Bini Toea encoba meracuni Bini Moeda.
ANIP-Aneta memberi tahu kami dari Yogya bahwa sebuah drama telah
terjadi di desa di Bantukl dekat Yogya, di mana seorang "bini toewa"
memberikan saingannya, "bini muda" beberapa kali dosis ramuan tikus.
Untungnya, korban masih hidup.
Si pemberi campuran tersebut telah membuat pengakuan”
Mempertimbangkan penggunan kata “bini”
dalam laporan koran tahun 1935 maka kata “bini” dalam laporan koran 1903 memang
bermakna “istri”. Dalam hal ini, frasa “zijn bini” bermakna “istri Hadji Wahab”.
Hanya yang menjadi persoalan, mengapa laporan dalam bahasa Belanda tersebut
tidak menggunakan istilah “mevrouw” (nyonya)? Mungkin dikarenakan Hadji Wahab
bukan orang Belanda dan si pencuri juga seorang “inlander” (pribumi) maka
dipergunakan pilihan kata “bini” yang sudah familiar pada zamannya bermakna “istri”.
Sungguh menarik melacak asal-usul
dan dinamika sebuah kata, istilah, nama dan perubahannya dari era yang telah
berlalu hingga masa kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar