Ketika kita mendengar nama
Aroengbinang, mungkin ingatan kita hanya terbatas pada nama seorang bupati
Kebumen di era kolonial. Atau mungkin ingatan kita dibawa pada kisah konflik
antara Aroengbinang (yang menjadi pejabat mewakili pemerintahan kolonial)
dengan Kolopaking di era Perang Jawa (1825-1830) yang memunculkan kisah “Kupu
Tarung” (P. Tirto Wenang Kolopaking, Sejarah Silsilah Wiraseba Banyumas, Ki Ageng Mangir - Kolopaking – Arungbinang, Jakarta: Yayasan Trah Kolopaking, 2006)
Nama Aroengbinang bukan hanya
nama personal namun menjadi nama keluarga (dinasti) yang memerintah di wilayah
Kabupaten Kebumen pasca berakhirnya Perang Jawa. Jika mengikuti sumber website
kabupaten maupun yang tertulis di Wikipedia, akan diperoleh data sbb:
- KRT. Arungbinang IV (awal menjabat tahun 1833 dan akhir menjabat tahun 1861 bertempat di Panjer
- KRT. Arungbinang V (awal menjabat tahun 1861 dan akhir menjabat tahun 1890 bertempat di Kebumen
- KRT. Arungbinang VI (awal menjabat tahun 1890 dan akhir menjabat tahun 1908 bertempat di Kebumen)
- KRT. Arungbinang VII (awal menjabat tahun 1908 dan akhir menjabat tahun 1934 bertempat di Kebumen)
- KRT. Arungbinang VIII (awal menjabat tahun 1934 dan akhir menjabat tahun 1942 bertempat di Kebumen)
Jika kita membuka media massa
berupa koran era kolonial berbahasa Belanda, nama Aroengbinang kerap muncul
dalam berbagai konteks peristiwa yang berbeda. Ada Aroengbinang yang terlibat
Perang Jawa di tahun 1800-an. Ada Aroengbinang yang menetapkan pembukaan
pemandian air panas Krakal di tahun 1800-an (Teguh Hindarto dan Chusni Ansori, Geosite Pemandian Air Panas Krakal Sebagai Titik Pertemuan Legenda, Sejarah, Geologi: Seminar Nasional Ilmu Kebumian Geodiversity, 2019). Ada Aroengbinang yang menerima
songsong (payung kehormatan) kuning dari pemerintahan Belanda di tahun 1920-an (Teguh Hindarto, Songsong Kuning di Rumah Pusaka Kabupaten Kebumen, Milik Siapa? Inikebumen.net).
Adapun kisah Aroengbinang 1 (Tumenggung Honggowongso alias Jaka Sangkrip) dapat
diikuti di Babad Giyanti dan Babad Aroengbinangan (1937).
Ada sebuah berita menarik
tentang Aroengbinang yang mengambil peran terpilihnya Radèn
Mas Ario Soerjosoeparto (kelak menjadi Mangku Negara VII) sebagai ketua dalam
menyantuni Pangreh Ageng beberapa saat ketika berakhirnya Kongres Boedi Oetomo
di Bandung.
Kisah pendek ini didapatkan
dalam sebuah kumpulan artikel penghormatan terhadap Mangkunegara VII yang
dibukukan dengan cukup tebal dan berisikan berbagai tulisan dari para kolega.
Judul buku tersebut Het Gedenboek Triwindoe Mangoe Negoro VII (Surakarta, 1939).
Ditulis dalam bahasa Belanda dan beberapa ada yang ditulis dalam bahasa Jawa.
Dalam sebuah tulisan berbahasa
Jawa dengan judul, “Pasoembang Isen-isen
Serat Pengetan Triwindoe” oleh Rn. Sasrosoegonda dijelaskan perihal
sanjungan dan pujian kepada budi pekerti dan pengetahuan Radèn Mas Ario
Soerjosoeparto (kelak menjadi Mangku Negara VII) saat masih aktif di berbagai
kegiatan organisasi sebelum dirinya diangkat menjadi Adipati Mangkunegaran dari
tahun 1916-1944.
Dalam catatan sejarah, Radèn
Mas Ario Soerjosoeparto/Mangkunegoro VII adalah tokoh organisasi pergerakan
nasional Boedi Oetomo dan pernah
menjadi penasihat di organisasi pelajar Jong
Java. Kecintaan Mangkunegara VII terhadap budaya Jawa ditunjukkan dengan
mendirikan Cultuur-Wijsgeerige
Studiekring (Lingkar Studi Filosofi Budaya) dan Java-Instituut (Lembaga Kebudayaan Jawa). Lembaga ini bertujuan
memajukan perkembangan kebudayaan Jawa, Madura dan Bali. Java Instituut merupakan cikal bakal pembangunan Museum Sonobudoyo
di Yogyakarta. Pada tanggal 1 April 1933, Mangkunegara VII memprakarsai
berdirinya radio pribumi pertama yaitu Solosche
Radio Vereniging (SRV). Selain itu, beliau juga pernah menjadi perwira KNIL
dengan pangkat kolonel dan menjadi komandan Legiun Mangkunegaran.
Mangkoe Negoro VII
Kembali kepada Aroengbinang.
Dalam surat berbahasa Jawa tersebut, Rn. Sasrosoegonda bukan hanya menceritakan
budi pekerti dan pengetahuan Radèn Mas Ario Soerjosoeparto/Mangkunegoro VII namun
juga menceritakan peran Aroengbinang dalam membujuk dan meyakinkan Radèn Mas
Ario Soerjosoeparto untuk menjadi ketua penyantun para Pangreh Ageng. Demikian
kutipannya:
“Déné
anggèn koela dateng ing Bandoeng preloe ngekahi pemanggih koela prekawis
prenatan „milisi” toemrapipoen tetijang ing India-wétan, poenika saé dipoen
tindakaken, poenapa mboten. Kadadosanipoen rembag prekawis milisi, mboten koela
atoeraken ing ngriki; namoeng sareng Congrès ngadjengaken bibaran, poenika
ladjeng ngrembag bab santoening warga Pangrèh Ageng. Ingkang dipoen
roemijinaken bab pamilihipoen Pangarsa. Dilalahipoen, sadaja ingkang gadah
wewenang milih, sami milih pandjenenganipoen B. R. M. A. Soerjosoeparto,
nanging pandjenenganipoen kedah mboten karsa kémawon nampèni pilihan waoe.
Ingkang
mekaten waoe Kangdjeng Boepati ing Keboemèn, Radèn Adipati Ario Aroengbinang,
ladjeng medar sabda, njoewoen dateng pandjenenganipoen B. R. M. A.
Soerjosoeparto, karsaa nampèni pilihan waoe. Pangandikanipoen sora atjeta, mawi
mratélakaken tjotjoging penggalihipoen, kalijan pemanggihipoen para ingkang
sami milih, lelandesan kabetahanipoen Boedi-Oetama sarta kalangkoengan ingkang
kasarira dateng B.R.M. A. Soerjosoeparto. Wasana pandjenenganipoen inggih
ladjeng karsa nampèni pilihan waoe, ndadosaken bingahipoen tetijang sedaja,
sami asoeraksoerak sarta akeplok-keplok mawantoe-wantoe” (1939:277).
Melihat petikan pendek ini kita
mendapatkan gambaran sekilas perihal kewibawaan dan pengaruh Aroengbiang selaku
Bupati Kebumen sehingga Radèn Mas Ario Soerjosoeparto/Mangkunegoro VII
memutuskan untuk menerima permintaan agar dirinya menjadi ketua penyantun para
Pangreh Ageng.
Jika seeting peristiwanya terjadi di tahun 1939 maka kita dapat menduga bahwa beliau adalah Bupati Aroengbinang VIII (awal menjabat tahun 1934 dan akhir menjabat tahun 1942 bertempat di Kebumen).
Kiranya tulisan pendek ini bisa menjadi sebuah potongan-potongan yang membentuk mozaik kisah baik tentang figur publik seperti Adipati Arungbinang ataupun para pelaku usaha genting seperti Aboengamar serta berbagai peristiwa sosial di era kolonial sehingga narasi sejarah Kebumen semakin kaya dan variatif.
Jika seeting peristiwanya terjadi di tahun 1939 maka kita dapat menduga bahwa beliau adalah Bupati Aroengbinang VIII (awal menjabat tahun 1934 dan akhir menjabat tahun 1942 bertempat di Kebumen).
Kiranya tulisan pendek ini bisa menjadi sebuah potongan-potongan yang membentuk mozaik kisah baik tentang figur publik seperti Adipati Arungbinang ataupun para pelaku usaha genting seperti Aboengamar serta berbagai peristiwa sosial di era kolonial sehingga narasi sejarah Kebumen semakin kaya dan variatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar