Toponim atau dalam bahasa
Inggris disebut Toponym, menurut
Yacub Rais dkk. (Toponimi Indonesia: Sejarah Budaya Bangsa yang Panjang dari Permukiman
Manusia dan Tertib Administrasi, 2008) diartikan secara harfiah sebagai
nama tempat di muka bumi (“topos”, kata Yunani yang bermakna “tempat” atau
“permukaan” seperti “topografi” adalah gambaran tentang permukaan atau
tempat-tempat di bumi, dan “nym” dari “onyma” yang artinya “nama”). Dalam
bahasa Indonesia, sering digunakan istilah “nama unsur geografi” atau “nama
geografis” atau “nama rupa bumi”.
Kamonkarn dkk. membagi toponimi
menjadi dua kategori besar, yaitu nama huni dan nama fitur. Nama huni merupakan
nama yang menunjukkan suatu wilayah yang ditempati atau dihuni. Nama fitur
merupakan nama yang mengacu pada alam atau karakteristik fisik suatu bentang lahan.
Nama fitur diklasifikasikan menjadi hidronim (fitur air), oronim (fitur
relief), dan tempat-tempat pertumbuhan vegetasi alami (Ilham Mashadi, Kajian
Keterkaitan Toponim Terhadap Fenomena Geografis: Studi Kasus Toponim Desa Di
Sebagian Kabupaten Batang, Jurnal Bumi Indonesia, 2014:3).
Menarik membaca artikel karya
Ma’rufin Sudibyo dengan judul “Repihan
Sejarah Sudut Nusantara berlatar Gerhana Sang Surya (1): Panjer” (https://ekliptika.wordpress.com/2019/12/26/repihan-sejarah-sudut-nusantara-berlatar-gerhana-sang-surya-1-panjer/)
yang berhasil melacak keberadaan gerhana matahari di wilayah Kebumen kuno yaitu
15 April 1502 dan menghubungkan peristiwa ini menjadi sebuah teori untuk
menjelaskan toponim desa Panjer yang pernah menjadi nama Kadipaten sebelum
Kebumen.
Pelacakkan gerhana di atas
wilayah Kebumen kuno (saat belum bernama
Kebumen) ini merujuk pada perhitungan astronomi modern yang termaktub dalam Five Millenium Canon of Solar Eclipses karya
Fred Espenak (astronom NASA, Amerika Serikat).
Berangkat dari fenomena alam
tersebut, Ma’rufin Sudibyo memperluas interpretasi asal-usul penggunaan nama
Panjer sebagai sebuah kemungkinan penanda peristiwa sebagaimana dikatakan:
“Peristiwa
luar biasa itu mungkin menginspirasi pemberian nama sebuah daerah di dekat
Pesantren Somalangu sebagai Panjer”
Ma’rufin selanjutnya melakukan
analisis etimologis yang menghubungkan istilah Panjer sebagai sebuah istilah
kuno yang berkaitan dengan kata Manjer sbb:
“Dalam
Bahasa Jawa, kata Panjer memiliki kedudukan dan makna yang sama dengan kata
Manjer. Berdasarkan riset pak Widya Sawitar, astronom senior di POJ
(Planetarium dan Observatorium Jakarta), Orang Jawa mengenal sekitar 90 nama
julukan untuk Matahari. Nama-nama julukan tersebut sebagian merupakan pengaruh
dari bahasa Sansekerta dan umumnya terkait kalender pertanian (pranata mangsa),
simbolisasi keseharian, penanda rentang waktu serta penanda fenomena alam
tertentu. Kata Manjer adalah salah satu diantaranya. Manjer merupakan istilah
bagi transit Matahari atau istiwa’, yaitu situasi saat Matahari mencapai titik
kulminasi atas dalam peredaran semu hariannya. Nama julukan lain yang memiliki
makna serupa Manjer adalah Panengahnikangrawi dan Suryasata”.
Benarkah nama desa Panjer yang
kelak menjadi sebuah Kabupaten sebelum digantikan menjadi Kebumen, berasal dari
penamaan terhadap fenomena gerhana matahari pada tahun 1502? Ma’rufin Sudibyo
pun mengakui bahwa tidak ada rujukan tertulis yang menjelaskan asal usul
penamaan Panjer sehingga apa yang diusulkannya pun merupakan sebuah teori yang
berusaha memahami makna dibalik nama sebagaimana dikatakan:
“Hingga
saat ini belum ditemukan bukti tertulis maupun cerita tutur (lisan) terkait
asal-usul nama Panjer dan peristiwa langit langka berupa Gerhana Matahari Total
di tengah siang bolong”.
Penulis memiliki perspektif berbeda dalam menelaah perihal asal-usul dan toponimi Panjer. Sebelumnya kita akan melihat terlebih dahulu secara singkat beberapa keterangan yang dapat diketahui mengenai Panjer di era kolonial.
Penulis memiliki perspektif berbeda dalam menelaah perihal asal-usul dan toponimi Panjer. Sebelumnya kita akan melihat terlebih dahulu secara singkat beberapa keterangan yang dapat diketahui mengenai Panjer di era kolonial.
Panjer: Dari Wilayah Negaragung
Hingga Menjadi Mancanegara dan Karesidenan Bagelen
Dalam Babad Aroengbinangan
terbitan Bale Poestaka Batavia (1937) nama Panjer sudah disebutkan sebagai
sebuan nama dusun yang dikunjungi oleh Pangeran Bumidirdjo, paman dari
Amangkurat 1 (1646 – 1677) pengganti Sultan Agung (1613 – 1645). Dikisahkan
bahwa Pangeran Bumidirdjo menjauhi Kraton Mataram akibat, “pangastining paprentahan (pradja) kirang jejeg, dawahing ukuman kirang
adil” (1937:3).
Dalam perjalanan menuju
Bagelen, sampailah Pangeran Bumidirdjo di sebuah dusun bernama Panjer
sebagaimana dikatakan, “Sareng sampoen
aso sawetawis sang pangeran lan garwa nerosaken tindakkipun doemogi ing doesoen
Pandjer. Pasiten ing sakiwa-tengenipoen ngrikoe poenika sa, tojanipoen
toemoempang” (1937:4).
Sekalipun Babad Arungbinangan
ditulis tahun 1937 namun setting peristiwa di era Amangkurat 1 yaitu antara
tahun 1646-1677. Dengan demikian nama Panjer (Pandjer) telah ada di era Mataram
dan menjadi wilayah Mataram.
Di era Mataram, pola hubungan
kekuasaan antara pusat dan daerah bersifat lingkaran konsentris dengan istana
sebagai pusatnya (Tanto Sukardi, Tanam Paksa di Banyumas, 2014:6).
Pembagian itu meliputi: Kraton,
Kuthagara, Negaragung, Mancanegara, Pasisiran. Panjer, berada dalam posisi
Mancanegara Kilen.
Namun sejak perjanjian Giyanti
(1755) wilayah kesultanan Mataram terpecah-pecah. Sebagaimana keraton terbagi
dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, maka sejumlah wilayah
yang semula menjadi wilayah negaragung menjadi wilayah mancanegara masing-masing
kedua keraton. Panjer, menjadi wilayah Mahosan
Dalem Kasunanan Surakarta (Himayatul Ittihadiyah, Bagelen Pasca Perang Jawa
(1830-1950): Jurnal Thaqafiyyat, 2012:229-230).
Kelak ketika Perang Jawa
berakhir dan dimenangkan oleh pemerintahan Belanda, maka terjadi “peralihan
negari” dan perubahan sejumlah sistem administrasi termasuk nama wilayah. Th.
Pegeaud menuliskan,”Sinds de Java Oorlog
zijn er echter vele oude namen veranderd en verdwenen door nieuwe
bestuursindelingen” (Namun, sejak Perang Jawa banyak nama lama telah diubah dan
dihilangkan karena struktur administrasi baru) (Javaansche Volksvertoningen,
1938:92).
Wilayah Bagelen yang semula
merupakan daerah mancanegara dari Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta, kemudian dijadikan Daerah Karesidenan. Di sinilah pemerintah
Kolonial Hindia Belanda menempatkan seorang residen dan pembantu-pembantunya untuk
memegang pemerintahan. Sejak saat itu Bagelen menjadi wilayah Karesidenan
sampai tanggal 1 Agustus 1901, karena mulai tanggal tersebut daerah karesidenan
Bagelen digabungkan dengan daerah karesidenan Kedu (Himayatul Ittihadiyah,
2012:31).
Demikian pula Panjer, menjadi wilayah Karesidenan Bagelen dan kemudian digantikan menjadi Kebumen. Namun demikian, bukan berarti nama Kebumen belum ada saat Panjer telah ada. Dalam Javasche Courant bertanggal 18 Juli 1828 nama Panjer disebutkan bersamaan dengan Kebumen dalam sebuah deskripsi pertempuran melawan pasukan Diponegoro di Panjer Kebumen oleh Gubernur Jendral De Cock sbb:
“In eene driedaagsche expeditie , welke de kommandant der 8ste mobiele colonne ten zuid-oosten zijner stelling te Panjer Keboemen volbragt heeft, tegelijk met de Romosche barissan te Komiet en het detachement onder den majoor Calson te Petanchan, zijn die weinige muitelingen, welke men ontmoet heeft, verwijderd of verstroid geworden”
Terjemahan bebas:
“Dalam ekspedisi tiga hari, yang dilakukan komandan kolone ke-8 yang berposisi di wilayah Tenggara Panjer Keboemen, bersama dengan barisan Roma di Komiet (Kemit) dan detasemen di bawah Mayor Calson di Petanchan (Petanahan), beberapa pemberontak yang telah ditemui, berhasil dihapus atau dibekukan (ditumpas)”
Demikian pula Panjer, menjadi wilayah Karesidenan Bagelen dan kemudian digantikan menjadi Kebumen. Namun demikian, bukan berarti nama Kebumen belum ada saat Panjer telah ada. Dalam Javasche Courant bertanggal 18 Juli 1828 nama Panjer disebutkan bersamaan dengan Kebumen dalam sebuah deskripsi pertempuran melawan pasukan Diponegoro di Panjer Kebumen oleh Gubernur Jendral De Cock sbb:
“In eene driedaagsche expeditie , welke de kommandant der 8ste mobiele colonne ten zuid-oosten zijner stelling te Panjer Keboemen volbragt heeft, tegelijk met de Romosche barissan te Komiet en het detachement onder den majoor Calson te Petanchan, zijn die weinige muitelingen, welke men ontmoet heeft, verwijderd of verstroid geworden”
Terjemahan bebas:
“Dalam ekspedisi tiga hari, yang dilakukan komandan kolone ke-8 yang berposisi di wilayah Tenggara Panjer Keboemen, bersama dengan barisan Roma di Komiet (Kemit) dan detasemen di bawah Mayor Calson di Petanchan (Petanahan), beberapa pemberontak yang telah ditemui, berhasil dihapus atau dibekukan (ditumpas)”
Panjer, Sebagai “Trouble Area”
Di Era Perang Jawa
Nama Panjer muncul dalam panggung Perang Jawa (1825-1830) bersama dengan nama-nama wilayah lain yang sekarang menjadi bagian dari Kebumen yaitu Koetowinangun, Karang Bolong, Oeroet Sewoe, Seruni, Kemit, Petanahan, Grogol, Bocor, Roma, Oengaran (Ngaran), Koetawinangoen, Wonosari dll.
Dalam De Java Oorlog van 1825-1830
karya E.S. Klerk (1905) disebutkan perihal Panjer sbb:
"In
afwachting, dat de Majoor Michiels hem zijn nadere plannen zoude mededeelen,
besloot Busehkens te Pandjer te blijven en inmiddels de streek tusschen
Kemit, Pandjer-Keboemen en Petanahan van muitelingen zuiver te houden. Hij deed
daartoe te Pandjer een kleine benteng oprichten en zoowel daar als te Këmit een
Javaansche barisan formeeren"
Terjemahan bebas:
“Sembari
menunggu Mayor Michiels memberitahukan kepadanya tentang rencananya lebih
lanjut, Buschkens memutuskan untuk tinggal di Pandjer dan menjaga wilayah
antara Kemit, Pandjer-Keboemen, dan Petanahan bersih dari pemberontakan. Untuk
tujuan ini, ia membuat benteng kecil yang didirikan di Pandjer dan
barisan Jawa dibentuk di sana dan juga di Kemit”
Dalam catatan sejarawan
peneliti Perang Jawa Saleh As’ad Djamhari, nama Panjer disebut-sebut sebagai
kawasan bermasalah dan kerap merepotkan pasukan Belanda, sebagaimana dikatakan
“Di Bagelen Barat, daerah rawan (trouble
area) berada di antara Panjer dan Ungaran” (Strategi Menjinakan Diponegoro:
Stelsel Benteng 1827-1830, 2016:171). Sampai tahun 1828, pasukan
Diponegoro masih menguasai sebagian besar wilayah Bagelen yang telah dimasuki
sejak tahun 1827.
Demikianlah pelacakan historis
nama Panjer di era Mataram (Abad 17 Ms) dan Kesultanan Yogyakarta serta
Kasunanan Surakarta (Abad 18 Ms). Tidak ada keterangan apapun yang dapat
ditemukan prihal nama Panjer sebelum Abad 17 Ms.
Korelasi Nama Panjer Dengan
Sistem Ekonomi Tradisional Agraris
Kembali ke persoalan toponimi
Panjer, jika Ma’rufin Sudibyo mengajukan teori penamaan Panjer berdasarkan
pengamatan astronomis yaitu sebuah peristiwa di Abad 16 Ms di mana terjadi
gerhana total pada tahun 1502. Saya mengajukan teori lain berdasarkan
pengamatan sosio historis dan geografis Panjer yang sekarang merupakan wilayah
Kebumen.
Nama Desa Panjer yang kelak
kemudian menjadi sebuah kabupaten sebelum digantikan menjadi Kebumen berkaitan
dengan sistem ekonomi tradisional agraris. Istilah dalam bahasa Jawa “Panjer”
memang merujuk pada sebuah penamaan fenomenologis alam yaitu cahaya terang dari
sebuah bintang. Namun di sisi lain istlah “Panjer” memiliki makna pembayaran
uang di muka dalam sistem pertanian tradisional. Kita akan lihat satu persatu
kemunculan nama Panjer dalam sejumlah teks di era kolonial.
Panjer, Sebagai Penamaan
Fenomenologis Alam
Istilah “Panjer” muncul dalam Serat Centini. Menurut keterangan R.M.A.
Sumahatmaka, juru tulis resmi Istana Mangkunegaran pada masa pemerintahan
Mangkunegara VII dan Mangkunegara VIII. Serat Centhini digubah atas kehendak
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, putra Sunan Pakubuwana IV,
yang kelak bertakhta sebagai Sunan Pakubuwana V.
Sangkala Serat Centhini, yang nama lengkapnya adalah Suluk Tambangraras, berbunyi paksa
suci sabda ji yang berarti tahun 1742 tahun Jawa atau 1814 Masehi, berarti
masih dalam masa pemerintahan Sunan Pakubuwana IV, atau enam tahun menjelang
dinobatkannya Sunan Pakubuwana V. Menurut catatan tentang naik tahtanya para
raja, Pakubuwana IV mulai bertahta pada tahun 1741 (Jawa), sedangkan Pakubuwana
V mulai bertahta pada tahun 1748 (Jawa).
Sebuah penggalan tembang
menyebut istilah “Panjer” dalam Serat
Tjenṭini: Babon Asli Saking kiṭa Leiden ing negari Nederland sbb:
“lamoen
sonten wantji asar ngakir/kaboengahanira ngoenda-oenda/ lajangan glatik emprit/djeprah
pandjer amoeloek/baroeng oemjoeng mawi sendari/angèrèng kapawanan/dadya srining doesoen/awor swaraning kitiran/sarta oenining gamelan angrerangin/soeraking laré dolan” (Djilid III-IV, 1912-1915:97).
“jata
kang samja pagoejwan/sedaloe tan antoek goeling /ing wantji bangoen anggagat
palilah ing padjar gidih /soemilaké kang langit /mantjoer lintang pandjer
ésoek /goemoeroeh swawarèng ') ridjal /mjang kloeroek sawoeng melingi /djegigèring
sata wana mawoerahan” (Djilid
III-IV, 1912-1915:140)
Dari kemunculan kata “panjer”
dalam teks tersebut mengandung makna “bercahaya terus menerus” dan dihubungkan
dengan benda langit yaitu bintang pagi.
Panjer, Sebagai Sistem Penjaminan
Masyarakat Tradisional Agraris
Entah kapan istilah “panjer”
bermula menjadi sistem penjaminan transaksi ekonomi masyarakat agraris. Namun
pemerintahan Belanda telah mencatat dalam banyak artikel, jurnal, ensiklopedi
perihal istilah “panjer” yang selalu berkaitan dengan sistem ekonomi tradisional
agraris, yaitu berupa penjaminan sebuah transaksi dengan membayar uang muka.
Dalam sebuah artikel yang dikeluarkan Tijdscfrift Voor Nederlandsch
Indie dijelaskan perihal sistem penjaminan dengan uang muka sbb:
“Voorschotten
op het gewas noemt men hier timpah (nimpah), namelijk wanneer men de geheele
koopsom vooruit betaalt. Een gedeelte der koopsom gevende zegt men pandjer
(mandjër)” (Jrg 3 No 9. 1869: 22)
Terjemahan bebas:
“Uang
muka pada tanaman disebut timpah (nimpah) di sini, yaitu ketika seluruh harga
pembelian dibayarkan di muka. Pandjer (mandjër) dikatakan memberikan
sebagian dari harga beli”
Soekanto, dalam bukunya
beerjudul Het gewas in Indonesië
religieus-adatrechtelijk beschouwd, menuliskan sebuah keterangan
perihal penjaminan, pinjaman, uang muka sbb:
“Bij de
tot nu toe genoemde transacties met name: deelbouw, oogstafstand, voorschot op
gewas, verpanding, verbruikleen, in 't algemeen, overal, waar men een nieuwen
rechtsband aanvaardt, kan de bindsom een rol spelen.
Wij
zullen beginnen met de bindsom in het algemeen te bekijken in haar magisch
verband, voor zoover dat aanwezig mocht zijn, om die bindsom daarna te
behandelen speciaal met betrekking tot gronden- en schuldenrechttransacties; in
dit laatste geval is het dus meer de pandjer.
De
bindsom is meestal een geldbedrag; aan den ingang van inheemsche processen komt
het wel voor, dat deze bestaat uit iets anders dan geld” (1933:103)
Terjemahan bebas:
“Dalam
transaksi yang disebutkan sejauh ini khususnya: sub-bangunan, jarak panen, uang
muka tanaman, penjaminan, pinjaman, secara umum, di mana pun ikatan hukum baru
diterima, jumlah yang mengikat mungkin memainkan peran.
Kita
akan mulai dengan melihat jumlah yang mengikat secara umum dalam konteks
magisnya, sejauh hal itu ada, dan kemudian memperlakukan jumlah yang mengikat itu
secara khusus berkaitan dengan transaksi pertanahan dan hutang; dalam kasus
yang terakhir karena itu lebih merupakan pandjer.
Jumlah
yang mengikat biasanya sejumlah uang; pada permulaan proses orang pribumi,
kadang-kadang terjadi bahwa itu terdiri dari sesuatu selain uang”
Levie, E.L dalam bukunya, Ontwikkelingsmogelijkheden
van cooperatieve
organisaties voor den verkoop van ooft in Nederlandsch-Indie memberikan
deskripsi mengenai sistem panjer sebagai bentuk jaminan dalam sebuah perjanjian
sbb:
“Als
het accoord gesloten is wordt door den koopman meestal op zijn eigen voorstel
een bindsom, genaamd pandjer, gegeven. Indien de prijs reeds bepaald is,
hangt de grootte van de bindsom van den opkoopprijs af en bedraagt daarvan 1/10
of 1/6 deel. Wordt de opkoopprijs eerst later bepaald, dan houdt de pandjer
daarmee geen verband, en is wisselend van grootte. Door den pandjer te
accepteeren verbindt de boombezitter zich om het fruit, als het oogstbaar is,
aan den gever van den pandjer te verkoopen, op straffe van teruggave van den
pandjer, verhoogd met een boete” (1938:25)
Terjemahan bebas:
“Ketika
perjanjian itu disepakati, pedagang biasanya memberikan jumlah yang mengikat,
yang disebut pandjer, atas usulnya sendiri. Jika harga telah ditentukan,
ukuran jumlah yang mengikat tergantung pada harga beli dan jumlah untuk 1/10
atau 1/6 bagian. Jika harga pembelian pertama kali ditentukan kemudian, pandjer
tidak terkait dengan itu, dan ukurannya bervariasi. Dengan menerima pandjer,
pemilik pohon berjanji untuk menjual buah, jika dapat dipanen, kepada pemberi
pandjer, dengan penalti mengembalikan pandjer, ditambah denda”.
Soebroto menuliskan perihal
“panjer” dalam bukunya Indonesische Sawah Verpanding sbb:
“Zal
de eenvoudige dorpeling op Java bovenbedoelde uit de gemaakte afspraak ontstane
verplichting reeds niet licht schenden, nog sterker zal hij zich door de
afspraak gebonden voelen, indien daarbij door de tegenpartij een ‘pandjer’
is gegeven en door hem is aanvaard. Ook omtrent pandjer bij
sawahverpanding ontbreken ons gegevens, terwijl wij ten aanzien van pandjer bij
grondvercoop alleen gegevens hebben gevonden voor West-Java, de Vorstenlanden
en Middel- en Oost-Java met Madoera en speciaal de afdeelingen Toeloengagoeng
en Blora” (1925:72).
Terjemahan bebas:
“Agar
penduduk desa sederhana di Jawa tidak melanggar kewajiban yang disebutkan di
atas yang timbul dari perjanjian yang dibuat, ia akan merasa lebih terikat
dengan perjanjian tersebut jika ‘pandjer’ telah diberikan oleh rekanan
dan diterima olehnya. Kami juga kekurangan informasi tentang pandjer untuk
sawah yang disewakan, sementara kami hanya menemukan data mengenai pandjer untuk
penjualan tanah di Jawa Barat, Kerajaan Belanda, dan Jawa Tengah dan Jawa Timur
serta Madura terutama afdeling Tulungagung dan Blora”.
W.F. Haase mencatat perihal
peraturan hukum transaksional tradisional yang disebut “panjer” dalam
seperangkat aturan hukum yang disebut Boekoe penoentoen akan dipakai oleh priaji2
dalam pemeriksaan 'voorloopig onderzoe sbb:
“Dihoekoem
sekalian orang jang menjebabkan toeannja (meester) atau orang jang memberi
kerdja kepadanja (werkgever) mengasikan pandjer (voorschot) ketangannja,
kaloe tempo dia nienerima pandjer itoe, dia mêmang soedah bermaksoed
tidak raaoe mendjalankan pekerdjaan jang disanggoepnja itoe dan sesoenggoehnja
dia tidak mendjalankan pekerdjaan itoe sesoedahnja datang tempo jang
didjandjikan” (1908:87).
Bahkan dalam L. Th. Meyer dalam
kamusnya berjudul, Practisch Maleisch-Hollandsch en Hollandsch-Maleisch (1906:193)
memberikan definisi “panjer” sbb:
“Pandjar
(of Pandjër), handgeld, voorschot”
Terjemahan bebas:
“Pandjar
(atau Pandjer), uang di tangan, uang muka”
Dari pengumpulan sejumlah
literatur era kolonial yang memberikan definisi dan deskripsi mengenai istilah
“Panjer”, nampak lebih didominasi oleh pengertian sistem transaksi ekonomi
tradisional agraris berupa penjaminan yaitu “pembayaran di muka”. Istilah
“Panjer” sekalipun memiliki dua makna namun masyarakat lebih mengenal dan
menghubungkannya sebagai sebuah istilah ekonomi tradisional tinimbang gejala
alam.
Teori
Alternatif Perihal Toponimi Panjer di Kebumen
Mempertimbangkan aspek
sosiologis di mana masyarakat Panjer adalah para petani dan aspek historis di
mana Panjer pernah menjadi kawasan lumbung padi Mataram yang berguna untuk
ketersediaan pasokan makanan saat Prajurit Mataram melakukan penyerangan ke
Batavia (1627) di era Sultan Agung (R. Tirtowenang Kolopaking, Sejarah
Wiraseba Banyumas: Ki Ageng Mangir, Kolopaking, Arung Binang, 2005:199),
maka sangat dimungkinkan bahwa sebutan Panjer atau Pandjer berasal dari sistem
transaksi ekonomi tradisional agraris berupa uang muka yang belum tentu
diwujudkan dalam bentuk uang melainkan tanah, padi, hasil bumi dsj.
Bisa jadi pada waktu itu
masyarakat baru mengenal sistem transaksi ekonomi sebagai bentuk penjaminan
sehingga untuk menandai maka kawasan tersebut dinamai Panjer. Sebagaimana Teori
Gerhana Matahari tahun 1502 merupakan sebuah “kemungkinan”, demikian pula Teori
Sistem Penjaminan Masyarakat Tradisional Agraris pun merupakan sebuah
kemungkinan untuk mencoba memahami toponim dan asal-usul penggunaan nama Panjer
menjadi sebuah desa yang kemudian berkembang menjadi sebuah Kabupaten di
wilayah Bagelen sebelum kemudian berubah menjadi Kebumen.
Teori alternatif ini masih
terbuka untuk digugat jika ada data-data historis dan arkeologis yang lebih
kuat. Setidaknya, Teori Gerhana Matahari tahun 1502 sebagaimana diusulkan
Ma’rufin Sudibyo maupun Teori Sistem Ekonomi Tradisional Agraris sebagai asal
muasal toponim Panjer, dapat memperkaya dialektika wacana mengenai historis
Kebumen di era kolonial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar