Ketika mendengar nama Prembun,
tentu bagi banyak orang tua atau peminat kajian sejarah lokal akan teringat
pada satu nama yaitu “Suikerfabriek Remboen”. Ya, keberadaan pabrik yang sudah
tidak terlihat lagi aktivitasnya dan gedungnya ini telah beroperasi sejak era
kolonial dari tahun 1800-an hingga 1900-an.
Setidaknya nama Suikerfabriek Remboen sudah terlacak
dalam sebuah “advertentie” (iklan)
koran berbahasa Belanda bernama Bataviasch Nieuwsblad tahun 1897
dengan judul iklan “Kersten Ovens”.
Tahun 1930-an, keberadaan Suikerfabriek
Remboen mengalami kejayaan sekalipun beberapa tahun sempat tidak beroperasi
hingga berita koran Algemeen Handelsblad tahun 1938 membuat berita pembukaan
kembali Suikerfabriek Remboen dengan
judul, “De Hereopening der Suikerfabriek
Remboen”.
Namun kali ini, ada nama dan
peristiwa menarik di Prembun berkaitan dengan gejolak sosial keagamaan diakhir tahun
1930-an yang tidak terlacak dalam penulisan sejarah lokal dan memori kolektif
masyarakat. Dalam sebuah publikasi pendek dalam koran berbahasa Belanda yaitu Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië bertanggal 08 April 1939 di bawah judul, “Ratoe Adil Beweging” (Gerakan Ratu
Adil) dilaporkan sbb:
“48
Aanhangers berecht.
De
politie te Premboen, in het Keboemensche, heeft op 4 dezer een inval gedaan in
verband met de bekende Ratoe Adil-beweging. Acht-èn-veertig aanhangers dier
beweging moesten'voor het desagerecht te Premboen verschijnen.
Gedurende
de zitting van dit gerecht kreeg de wedana, die daarbij de leiding heeft, van
een van de beklaagden een slag. De politie greep direct in, waarna de zitting
werd voortgezet.
In
verband hiermede zette de veldpolitie van Keboemen den volgenden avond in
Premboen posten uit.
Gemeld
wordt nog dat het centrum van de Ratoe Adil-beweging zetelt te Wonotjolo, in
het Premboensche, en dat de beweging geleid wordt door zekeren Jososoewito”
Terjemahan bebas:
“48
Pengikut dibawa ke pengadilan.
Polisi
di Premboen, di Keboemensche, melakukan penggerebekan terhadap keempatnya
sehubungan dengan gerakan Ratoe Adil yang terkenal itu. Empat puluh delapan
pendukung gerakan itu harus muncul di hadapan pengadilan di Premboen.
Selama
persidangan pengadilan ini, Wedana, yang bertanggung jawab, mendapat pukulan
telak oleh salah satu terdakwa. Polisi segera turun tangan, setelah itu sesi
dilanjutkan.
Sehubungan
dengan ini, polisi lapangan Keboemen mengerahkan pos-pos di Premboen malam
berikutnya.
Disebutkan
pula bahwa pusat gerakan Ratoe Adil berpusat di Wonotjolo, di Premboensche, dan
bahwa gerakan itu dipimpin oleh seorang Jososoewito”
Sayangnya, rilis berita di atas
tidak berkelanjutan dan tidak terlacak akar persoalan yang memunculkan nama
seseorang yang mengklaim sebagai Ratu Adil dan bagaimana kelanjutan kasusnya.
Apakah mereka melakukan tindakkan kekerasan terhadap pejabat atau aparat
keamanan Belanda? Apakah mereka memiliki pasukan dan senjata serta
terorganisir? Semua masih gelap.
Namun setahun kemudian muncul
gerakan yang sama namun dengan tokoh yang berbeda Koran Indische Courant bertanggal
22 Januari 1940 menurunkan judul artikel, “Ratoe
Adil Beweging” (Gerakan Ratu Adil) dengan berita sbb:
Ratoe-adil-beweging.
“De
politie te Premboen heeft gisteren 20 volgelingen van een door "Koning
Ronodiwirjo" georganiseerde ratoe-adil-beweging aangehouden”
Terjemahan bebas:
Gerakan Ratoe Adil
“Polisi
di Premboen menangkap 20 pengikut gerakan ratoe-adil yang diorganisir oleh "Raja
Ronodiwirjo" kemarin”
Cukup menarik dan mengherankan,
bagaimana di kota yang sama dengan selisih hanya satu tahun telah tumbuh
gerakan sosial keagamaan yang menamakan diri Ratu Adil. Kita tidak akan
mendapatkan penjelasan dalam koran yang melaporkan namun berusaha melacak
suasana sosial keagamaan di era kolonial pada tahun 1800-an hingga 1900-an.
Adalah Sartono Kartodirjo,
seorang sejarawan telah mengamati gerakan-gerakan keagamaan di Jawa yang
menghubungkan dengan konsep Ratu Adil. Namun menurut Sartono (saat menuliskan
kajiannya), belum banyak sejarawan menaruh perhatian terhadap riset gerakan
keagamaan sebagaimana dikatakan, “Sejarah
tersebut merupakan sektor yang masih kabur, walaupun gerakan-gerakan itu
sebenarnya telah terdapat di Jawa dalam abad-abad ke-19 dan ke-20 dimana dokumen-dokumen yang
berhubungan dengan itu akan dapat memberikan gambaran yang sebenarnya” (Ratu
Adil, 1984:9).
Dalam buku tipis hasil
kompilasi sejumlah makalahnya, Sartono menderetkan sejumlah fenomena sosial
keagamaan yang dipimpin oleh beberapa orang yang menamai dirinya “Ratu Adil”
dan memiliki sejumlah pengikut dan ada yang memobilisasi massanya untuk
melakukan sejumlah perlawanan pada pemerintahan Belanda.
Beberapa gerakan keagamaan yang
disebutkan al., gerakan yang dipimpin Baujaya di Semarang tahun 1841, gerakan
di Ciomas tahun 1886, gerakan Haji Jenal Ngarip di Kudus tahun 1847, gerakan di
Cikandi tahun 1845, gerakan Kiai hasan Mukmin dari Gedangan tahun 1904, gerakan
pak Jebrak di Brangkal tahun 1919 dll (1984:17).
Dari sekian banyak kasus
gerakan sosial keagamaan yang menjamur di Abad 18 dan 19 khususnya di Jawa,
Sartono memilih empat kasus dan menyimpulkan pola dan karakteristik gerakan
tersebut sbb: “ciri messianistic,
millenaristic, nativiastic serta segi ramalan, ide tentang perang suci,
kebencian terhadap apa saja yang bersifat asing, magico-mysticism dan pujaan
kepada nenek moyang” (1984:27). Yang dimaksudkan ciri messianistic,
millenaristik serta nativistic adalah adanya peran pemimpin yang memosisikan
sebagai pembebas masa depan yang menjanjikan harapan tentang datangnya masa
depan baru melalui perjuangan bersenjata yang mereka lakukan.
Yang dimaksudkan perang suci,
tentu saja sebuah tindakkan untuk melakukan perlawanan dan menyingkirkan semua
pengaruh asing (Belanda khususnya) berbasis tafsir teks keagamaan dan kitab
suci. Yang dimaksudkan kebencian terhadap segala pengaruh asing artinya menolak
semua tatanan sistem sosial budaya yang berasal dari pemerintahan kolonial.
Akhirnya dengan maggyco-mysticm dan pemujaan terhadap nenek moyang, para
pemimpin dan penganut gerakan ini mengandalkan pada berbagai kekuatan gaib
dalam sejumlah jimat dan senjata keramat yang mereka miliki.
Menariknya, 20 tahun sebelumnya
di Gombong pun terdapat gerakan sejenis yang menamakan Ratu Adil. Dalam sebuah
dokumen tebal yang diterbitkan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia berisikan
surat-surat laporan aparat keamanan di daerah, ditemuka satu surat laporan yang
ditulis Residen Banyumas (M. van Zanveld) kepada Gubernur Jendral (J.P. Graaf
van Limburg Stirumm) pada 28 januari 1920 perihal gerakan keagamaan di Gombong
sbb:
“Ik
heb de eer Uwe Excellentie beleef mede te deelen dat door verspreiding
voornamelijk in het Zuidelijk deel van dit gewest van een nieuwe godsdienstige
ler enige onrust onder de bevolking valt waar te nemen
De
voornamste verspreiders van die leer zijn mohamad Sirad en zijn schoonzoon
Raden Mashadi beiden uit het gehuct Goemeng, desa Brangkal, district Gombong,
residentie Kedoe en Santara uit de Desa Tlagasari district Gombong, residentie
Kedoe...Raden Mashadi zou Ratoe Adil worden onder den naam van hadikoesoemo
alias Pangeran Heroe Cokro...” (Laporan-Laporan Tentang Gerakan
Protes di Jawa Pada Abad XX, 1981:165)
Terjemahan bebas:
“Saya
mendapat kehormatan untuk memberi tahu Anda, Yang Mulia, bahwa penyebaran di
Wilayah Bagian Selatan, oleh seorang guru agama baru-baru ini dapat menyebabkan
keresahan di antara penduduk.
Penyebar
utama doktrin itu adalah Mohamad Sirad dan menantunya Raden Mashadi keduanya
berasal dari Dusun Goemeng, Desa
Brangkal, Distrik Gombong, Karesidenan Kedoe dan Santara dari Distrik Gombong Desa Tlagasari, Karesidenan Kedoe ...
Raden Mashadi akan menjadi Ratoe Adil dengan nama Hadikoesoemo alias Pangeran
Heroe Cokro”.
Dengan membaca konteks
sosial keagamaan di Abad 19 dan 20 di atas, peristiwa kemunculan dan
penangkapan Ratu Adil di tahun 1939 dan 1940 di Prembun merupakan bagian dari
fenomena keagamaan sebelum dan sesudahnya. Peristiwa kemunculan Ratu Adil harus
dibaca sebagai bagian dari bentuk-bentuk perlawanan sosial keagamaan sebagai
respon terhadap kehidupan sosial budaya dan sosial ekonomi yang bersifat asing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar