Sate Ambal, sebuah produk
makanan khas yang melekati ingatan mengenai Ambal, sebuah wilayah di bagian
selatan Kebumen. Aneka warung sate berjajar di sepanjang Jalan Daendels yang
menandai keberadaan makanan khas yang terdiri daging ayam yang dilumuri saus
tempe dengan campuran beberapa rempah.
Namun dibalik jalan utama yang
dilalui para pengendara motor dan mobil serta menjadi pusat aktivitas
pemerintahan kecamatan, pendidikan serta ekonomi warga, terdapat sebuah jalan
membujur dari barat ke timur yang menyimpan kisah sejarah mengenai Ambal di era
kolonial. Tepatnya di utara Jalan Daendels dan dikenal sebagai Jl. Poerbonegoro
di Desa Ambalresmi.
Kisah sejarah tersebut tertutup
rimbunan aneka pohon dan tersemat dalam sejumlah bangunan kuno yang tersebar di
sejumlah titik belahan Jl. Poerbonegoro, mulai dari rumah, tugu, masjid kuno,
pesarean. Kisah apakah yang dapat kita ketahui perihal Ambal di era kolonial?
Pasca kekalahan Perang Jawa
(1825-1830), khususnya sejak ditandatanganinya kontrak politik 27 September
1830, terjadilah apa yang disebut sebagai "peralihan nagara",
terlepasnya daerah-daerah pesisir dari kekuasaan Mataram (Yogyakarta dan
Surakarta) dan juga termasuk di dalamnya wilayah “mancanegara” dalam hal ini
Bagelen.
Wilayah
Bagelen kemudian dijadikan Karesidenan dengan ditetapkannya Tumenggung Cokronegoro
I sebagai Bupati pertama oleh Gubernur Van Den Bosch. Ambal adalah salah satu afdeling
(sebuah wilayah administratif pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda
setingkat Kabupaten) dari Karesidenan Bagelen.
Adalah
KRAA (KRAT?). Poerbonegoro yang kemudian ditunjuk oleh pemerintahan Belanda dan
juga Kesultanan Yogyakarta untuk menjadi seorang bupati. Ada sejumlah perbedaan
pendapat mengenai penunjukkan Poerbonegoro menjadi seorang bupati. Ada yang
mengatakan dikarenakan berhasil mengalahkan Ki Begal alias Gamawijaya yang
kerap menghadang bulu bekti yang hendak dikirimkan ke kesultanan Yogyakarta
maupun kesunanan Surakarta. Namun ada yang berpendapat dikarenakan prestasinya
meredam sejumlah kekacauan yang ditimbulkan oleh sisa-sisa pengikut Pangeran
Diponegoro.
Media Surat Kabar Samarangsch advertentie-blad bertanggal
07 April 1854 memberikan sebuah berita singkat mengenai Poerbonegoro sbb:
“Bij
besluit van Zijne Excellentie den Gouverneur—Generaal van Nederlaindsche-Indie
van 20 Maart 1854 no. 10, is aan den regent van Ambal (resid., Bagelen), radhen
toemengoong Poerbo Negoro, toegekend de rang en titel van Adhipati”
Terjemahan bebas:
“Dengan
keputusan Yang Mulia, Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 20 Maret 1854
No. 10, bupati Ambal (Karesidenan Bagelen) Raden Toemenggoeng Poerbo Negoro,
diberi pangkat dan gelar Adhipati”
Jika merujuk pada berita koran
di atas, maka penyingkatan gelar Poerbonegoro seharusnya menggunakan KRAT namun
entah mengapa ahli waris menuliskan gelarnya dengan KRAA.
Jika mengunjungi areal
pemakaman Poerbonegoro, kita akan membaca sebuah keterangan pendek yang akan
menceritakan akhir dari riwayat Ambal sebagai sebuah afdeling atau regentschap.
Ketika kita memasuki areal pekuburan akan tertulis sebuah keterangan, “Makam KRAA Poerbonegoro (Bupati Ambal Th
1830-1871). Wafat 7 Maret 1871. Kasowak 17 Maret 1872”. Apa yang
dimaksudkan “kasowak” (dihapus). Istilah ini berkaitan dengan sebuah batu
(semacam prasasti) yang tergeletak di nisan KRAT. Poerbonegoro yang bertuliskan
aksara Jawa kawi yang isinya berbunyi, “Seda
Setu Legi 7 Maret 1871, Suwaking Nagari 17 Maret 1872”.
Kabupaten Ambal pada tahun 1872
dihapuskan dan dijadikan distrik dari Karanganyar. Menurut M.M.
Purbo-Hadiwidjoyo, “Pendopo dengan empat
'soko guru', tiang utamanya yang terbuat dari kayu jati mutu-tinggi yang sangat
langka dipindah ke rumah kediaman Bupati Karanganyar” (Sejarah Pembentukan Bangsa Indonesia: Dari sejak Cikal-bakal. Sudut
Pandang Pengalaman Pribadi - http://sejarah.purbo.org/1-7.html).
Nasib historis Ambal tidak jauh
berbeda dengan Karanganyar. Jika Karanganyar sebelumnya adalah sebuah regentschap (kabupaten) di bawah residentie (karesidenan) Bagelen (sejak
1901 menjadi Karesidenan Kedu) bersama dengan Kebumen. Namun sejak 1 januari
1936 dihapuskan dan dijadikan distrik Kebumen, maka Ambal telah mendahului di
tahun 1872 menjadi sebuah afdeling yang
dihapuskan keberadaannya dan dijadikan salah satu distrik dari Karanganyar. De
Locomotief bertanggal 21 Maret
1874, disebutkan bahwa Regentschap
Karanganyar memiliki sejumlah distrik, yaitu Karanganyar, Gombong, Soka,
Petanahan, Puring, Karangbolong.
Apa alasan pemerintahan Belanda
menghapus Kabupaten Ambal tahun 1872 belum dapat dipastikan. Penulis hanya mendapatkan
suasana kebatinan Sang Bupati saat keputusan tersebut dikeluarkan, melalui
sebuah untaian tembang macapat gubahan Bapak Sudarto. Buku ini saya dapatkan
dari Bapak Hardi Nugroho (guru SMP 1 Ambal) yang meminjam naskah tersebut untuk
dipelajari oleh penulis.
Tembang macapat tersebut
ditulis dalam bentuk tulisan tangan latin yang ditulis dalam sebuah buku tebal
dengan merujuk Buku “Babad Ambal” yang dimiliki Bapak Raden Parnedi putra Bapak
Raden Soembardjo (halaman 506, tanpa judul). Sayang tidak ada satupun catatan
tanggal dan tahun tembang macapat ini ditulis. Dari hasil wawancara singkat
dengan Bapak Sudarto (83 tahun) tembang ini ditulis sekitar tahun 1970-an.
Berikut kutipan bait ke 20 dan
ke 21 tembang macapat tersebut (hal 504, tanpa judul):
20.
Wus
yuswa Kangjeng Bupatinya
Tinantun
Kangjeng Gupermin
Rehne
Kabupaten Ambal
Karsanya
dipun icali
Yen
kersa Jeng Bupati
Kapindah
mengetan mengku
Ing
kuta Surabaya
Ing
kono lowong samangkin
Wangsulannya
mojoo Jeng Bupati Ambal
21.
Tan
arsa lamun kapindah
Sayekti
bade netepi
Prajanjiyan
duk samana
Yen
dipun angkat Bupati
Amung
sayuswaneki
Embuh-embuh
darah mbesuk
Mung
Allah kang uninga
Mila
yasa Gentan nuli
Bade
papan sumarenya jeng Bupatinya
Intisari bait 20 dan 21
memperlihatkan bahwa penghapusan Kabupaten Ambal adalah inisiatif pemerintahan
Belanda (Gubernemen) namun tidak dijelaskan apa penyebab penghapusannya. KRAT.
Poerbonegoro menampik pemindahan tugas ke Surabaya namun memegang janjinya
untuk menuntaskan tugasnya selaku bupati di Ambal hingga wafatnya. Sebelum
kewafatannya beliau telah menyiapkan makam bagi dirinya di Gentan, Prembun.
Namun akhirnya beliau dikebumikan di Desa Benerwetan sebagaimana bunyi pupuh
berikut:
23.
Dusun
Bener caket kita
Cinekak
kandhane enting
Sedanira
Kangjeng Ambal (7-3-1871)
Layon
sampatnya rinukti
Kasarekaken
nuli
Ing
Gentan iyasanipun
Sapriki
lamun ruwah
Kathah
motor pating kliri
Putra
wayah kang samsa nyaosi dhahar
Penulis mendapat kesempatan
untuk pertama kalinya mengunjungi dan melihat secara langsung sejumlah peninggalan
Bupati Ambal di dalam rumah kediamannya al., meja kerja, mahkota, lukisan
Poerbonegoro, ruang tidur.
Sekalipun Kabupaten Ambal telah
dihapus dan menjadi sebuah distrik Kebumen (sekarang menjadi kota kecamatan di
wilayah Kabupaten Kebumen), namun jejak peninggalan sebuah wilayah kabupaten
masih nampak dalam bentuk artefak maupun tata ruang yang meliputi di antaranya:
rumah kediaman/kantor bupati Ambal (yang merawat ibu Kasiyah), rumah
kediaman/kantor kawedanan Ambal (yang merawat ibu Siti Qoiriyah), jalan raya
yang membelah dari barat ke timur di depan rumah kabupaten dan kawedanan,
alun-alun yang telah berubah fungsi menjadi pekarangan dan rumah penduduk,
masjid agung yang telah menjadi masjid Al Mustofa, makam KRAT Poerbonegoro.
Seluruh artefak dan tata ruang
tersebut merupakan jantung kota Ambal ketika masih menjadi sebuah wilayah
Kabupaten yang dipimpin oleh seorang bupati. Dengan menyusuri semua situs
tersebut kita dapat membayangkan dinamika sosial politik dan sosial ekonomi
Kabupaten Ambal dan pasca penghapusan status kabupaten.
Melihat sejumlah bangunan yang
kurang terawat, alangkah baiknya pihak ahli waris ataupun pegiat sosial budaya
di desa serta pemerintahan kabupaten bersinergi untuk membenahi perawatan
situs-situs tersebut dan meningkatkannya menjadi sebuah kawasan museum yang
bernilai edukasi sekaligus ekonomi.
Kawasan Jalan Poerbonegoro dan seluruh artefak yang tersedia (rumah kabupaten, rumah kawedanan, bekas masjid agung kabupaten, bekas klinik era Belanda dan Jepang, tugu penanda, makam KRAA. Poerbonegoro) selayaknya menjadi lokasi yang dipilih sebagai situs utama wisata Kampung Jawa ke depannya.
Dengan demikian, Ambal bukan
hanya dikenal dengan produk makanan khasnya saja, melainkan sebuah kawasan yang
menyimpan jejak dan kenangan silam sebuah pemerintahan setingkat kabupaten di
era kolonial yang tersimpan jejaknya dalam sejumlah artefak bangunan maupun
tata ruang jalan.
*Artikel ini telah dimuat di tautan berikut:
http://www.inikebumen.net/2019/09/kraa-poerbonegoro-dan-nasib-historis.html
Saya, Salah satu cucu buyut eyang KRAA Poerbonegoro, matur suwun ulasannya
BalasHapusSenang jika ada kerabat yang membacanya
BalasHapus