Pagi
itu, penulis memenuhi ajakkan Pak Sigit Asmodiwongso (Kepala Rumah Martha
Tilaar, Gombong) untuk melakukan sebuah penelusuran terhadap kawasan pekuburan umum
Karangduren, Desa Keputihan, Kecamatan Gombong.
Di
areal pekuburan umum tersebut ada satu rumah besar kuno yang menjadi kawasan
pekuburan keluarga yang di dalamnya ada tiga nisan besar dan di sekitarnya ada
beberapa nisan beberapa anggota keluarga lainnya. Di selatan rumah besar
berisikkan tiga nisan besar, beberapa ratus meter dari rel kereta api, ada
areal pemakaman keluarga yang di tembok dan agak rapat dipenuhi makam keluarga
yang nampaknya masih terhubung dengan nisan yang berada di rumah besar kuno
tersebut.
Ada yang menarik saat memasuki kawasan makam keluarga. Ada tiga nama tertulis masing-masing atas nama Hadji Moh Moehsin (wafat tahun 1919) dan disampingnya nisan berwarna kuning dengan nama Embok Haji Moch Moeksin (wafat tahun 1929). Pada nisan bernama Hadji Moh Moehsin berbeda dengan nisan yang lain dan masyarakat pada umumnya yaitu ditandai dengan semacam mahkota raja-raja Eropa yang terbuat dari batu dan salah satu dari nisan tersebut telah mengalami kerusakkan.
Ada yang menarik saat memasuki kawasan makam keluarga. Ada tiga nama tertulis masing-masing atas nama Hadji Moh Moehsin (wafat tahun 1919) dan disampingnya nisan berwarna kuning dengan nama Embok Haji Moch Moeksin (wafat tahun 1929). Pada nisan bernama Hadji Moh Moehsin berbeda dengan nisan yang lain dan masyarakat pada umumnya yaitu ditandai dengan semacam mahkota raja-raja Eropa yang terbuat dari batu dan salah satu dari nisan tersebut telah mengalami kerusakkan.
Sementara
beberapa meter dari nisan Hadji Moh Moehsin terbaring sebuah nisan yang panjang
dan agak besar dengan tiga susunan serta berlapis semacam batu marmer yang
sebagiannya sudah mengelupas. Selain bentuknya yang unik dan paling berbeda
dengan dua makam sebelumnya, di atas dinding tembok di utara nisan terpancang
sebuah plakat yang dituliskan dalam bahasa Jawa Kawi dan terjemahan dalam
bahasa Indonesia yang sudah mengusam dan terbaca sbb, “Yang ini makamnya B.M. Karso Prawiro bin B.M. Harjodinomo meninggal
hari Minggu Pon jam 5.15 sore 25 -7 - 1926 atau
14 -1- 1857 terkubur Senin wage jam setengah empat siang 26-7-1926 atau
15-1-1857”. Di atas tulisan tersebut ada lambang mahkota Kerajaan Belanda
namun di bawahnya bertuliskan huruf Arab yaitu “Allah” dan “Muhammad”.
Dari
penampakkan nisan tersebut sudah jelas bahwa mereka bertiga yang terbaring
adalah seorang yang beragama Muslim. Namun penampakkan simbol mahkota Kerajaan Belanda
dan nisan berbentuk mahkota Belanda menyisakan pertanyaan menarik perihal
siapakah orang yang terbaring dengan nama B.M Karso Prawiro ini?
Dari
tarikh kewafatannya yaitu 1857 berarti beliau hidup di era kolonialisme Belada
saat diperintah oleh Raja Willem III yang naik tahta tahun 1849 dan turun tahta
karena wafat pada tahun 1890. Sebagaimana diketahui umum bahwa pada tahun 1890
Kerajaan Belanda kemudian diperintah oleh Ratu Wilhelmina dari tahun 1890
sampai 1948.
Penulis
mencoba menghubungi salah satu nama yang bisa dimintai keterangan perihal siapa
jatidiri tiga makam terbaring di rumah besar tersebut, sayangnya tidak
sedikitpun keterangan yang dapat diperoleh dengan memuaskan.
Karena
belum berhasil mendapatkan informasi dan keterangan yang memadai perihal siapa
dan bagaimana, penulis hanya berusaha memperkirakan perihal status sosial tiga
orang yang terbaring dalam makam yang besar tersebut khususnya pemilik nama Hadji
Moh Moehsin dan B.M. Karso Prawiro.
Pemilik
nisan bernama B.M. Karso Prawiro nampaknya seseorang berjabatan tinggi di era
kolonial semasa Raja Wilhem III memerintah. Kemungkinan salah seorang ambtenaar (pegawai kolonial atau
sekarang setara dengan Aparatur Sipil Negara (ASN). Pada tahun 1806, Daendles
membawa konsep birokrasi modern yang meromabk sistem birokrasi VOC. Daendles
merekrut bupati-bupati sebagai pegawainya yang diambil dari kalangan bangsawan
dan priyayi. Mereka biasa disebut dengan Volkshoofden
(pemimpin rakyat).
Peran
mereka semakin menonjol di era Tanam Paksa (1830-1870) karena menjadi ujung
tombak pemerintah kolonial untuk memperoleh hasil pertanian. Mereka mendapat
tanggung jawab untuk meningkatkan produktifitas hasil agraria ekspor dan
mengoordinasikan para petani pemilik tanah.
Dengan
melihat tarikh kewafatan B.M. Karso Prawiro yang hidup di era Tanam Paksa dan
lambang Kerajaan Belanda serta bentuk makam yang besar dan panjang serta rumah
yang besar dan tinggi, patut diduga beliau adalah seseorang yang memiliki
jabatan penting di pemerintahan kolonial. Apakah beliau bertugas di Gombong
atau di luar Gombong kemudian saat wafat dibawa dan dikebumikan di Gombong, penulis
belum bisa memastikannya.
Adapun
nisan bernama Hadji Moh Moehsin lebih menarik lagi dikarenakan nisannya
berbentuk mahkota kerajaan Belanda yang terbuat dari batu. Nampaknya Hadji Moh
Moehsin adalah anak dari B.M. Karso Prawiro. Penulis tidak mendapatkan
keterangan yang memadai untuk menjelaskan jatidiri beliau. Apakah sekedar
hiasan belaka? Ataukah sekedar bersimpati dan ingin mengidentifikasi dengan
kebudayaan Belanda? Ataukah beliau salah seorang yang masuk golongan “Kalang” di
Gombong? Tidak dapat dipastikan.
Siapakah
orang “Kalang” itu? Banyak buku diterbitkan oleh penulis Barat dan juga dalam
negeri baik di era kolonial ataupun modern dalam bentuk buku, jurnal, skripsi, perihal
siapa dan bagaimana mereka yang disebut “Orang Kalang”. Sebutlah Thomas
Stamford Raffles dalam bukunya History of Java. Volume 1 (Kuala
Lumpur:Oxford University Press,1978). Demikian pula buku tiga volume karya
Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya 3 (Jakarta: Gramedia, 2008), mengulas
perihal eksistensi “Orang Kalang”. Claude Guillot, yag menuliskan artikelnya
berjudul, “Orang Kalang di Pulau Jawa
Juru Angkut dan Pegadaian”, yang dimuat dalam buku karya Henri Chambert
Loir & Hasan Muarif Ambary dengan judul, Panggung Sejarah,
(Jakarta: YOI,2011).
Orang
Kalang yang eksistensinya sudah sangat tua di era raja-raja khususnya era
Mataram adalah kelompok sosial yang akhirnya berkembang menjadi pedagang dan
pengusaha yang tersebar luas di Jawa baik di Cilacap maupun Kebumen khususnya.
Mengutip Skripsi Pradita Devis Dukarno perihal kemampuan perekonomian orang
Kalang, “Menurut J. Knebel, salah satu
orang Kalang yang terkenal di Petanahan, Kebumen yakni Bradjasinga. Ia juga
menjelaskan tentang kemampuan perempuan dan laki-laki Kalang dalam ekonomi
dapat disejajarkan dengan orang-orang Tionghoa” (Sejarah Ekonomi Orang Kalang Di
Cilacap dan Kebumen, 1950-an – 199-an, Skripsi 2013:51).
Kembali
kepada Hadji Moh Moehsin. Apakah beliau salah satu pengusaha dari kalangan
orang Kalang? Belum dapat dipastikan. Namun jika beliau berasal dari kalangan
orang Kalang, sementara orang Kalang pada umumnya adalah kelas pengusaha,
lantas dengan alasan apa nisan bermotif mahkota Kerajaan Belanda disematkan di
atas makamnya? Dugaan yang lebih masuk akal adalah beliau – sebagaimana
ayahnya, BM. Karso Prawiro adalah seseorang yang memiliki status sosial dan
kedudukkan penting di era kolonial. Tahun 1919-1920-an adalah era kejayaan
serikat buruh di berbagai penjuru wilayah Hindia Belanda. Menjelang tahun 1920
sudah terdapat hampir 100.000 buruh dan Vereeniging
van Spoor-en Tramweg Personeel in Nederlandsch Indie (VSTP) yang dipimpin
Semaoen tercatat sebagai organisasi kaum buruh yang paling militan dan
berpengaruh.
Adapun
nisan bernama Embok Haji Moch Moeksin yang adalah istri Hadji Moh Moehsin yang wafat tahun 1929,
tahun dimana Hindia Belanda dan dunia pada umumnya sedang mengalami dampak
guncangan ekonomi yang buruk yang lazim disebut dengan Great Depression (1929-1939) atau dikenal dengan istilah Malaise. Orang-orang Hindia Belanda
menyebutnya dengan istilah Zaman Meleset.
Dari
analisis sosio historis keberadaan tiga makam unik di areal pekuburan
Karangduren, Desa Keputihan, Kecamatan Gombong kita mendapatkan tiga orang
dengan status sosial tinggi yang hidup di era kolonial yang penting yaitu era
Tanam Paksa, era kejayaan buruh serta era Malaise.
Tulisan
ini masih terbuka terhadap sejumlah informasi yang lebih melengkapi khususnya
perihal kisah dan kedudukkan sosial mereka pada zamannya. Kiranya tulisan awal
ini menjadi pembuka pada penelitian-penelitian sejarah sosial dan lokal
berikutnya di wilayah Kabupaten Kebumen dan Kecamatan Gombong khususnya.
Ada dengar kisah seorang wedana yg ditembak Belanda bareng sama kudanya, dimakamkan nya pun bersebelahan dgn makam kudanya, ( ada di kumpulan pemakaman keturunan Arab , makam paling panjang ) ada topi di atas pemakamannya )) terima kasih
BalasHapus?????
BalasHapusDulu ada nama di gombong h banjir punya anak bernama umar ( guru ngaji ) skitar tahun 1940 an
BalasHapusKata almarhum bapakku. Kakeknya bapakku melarikan diri ke Medan dari Gombong karena tidak ingin melakukan perintah Belanda dan merupakan keturunan kerajaan di Gombong. Aku hanya ingin memastikan kebenaran sejarah keluargaku.
BalasHapusDi Gombong tidak pernah ada kerajaan
Hapus