Disampaikan di Museum Rumah Martha Tilaar, Gombong
5 November 2017
Introduksi
Mengulas
buku dengan judul “Anak Kolong” karya Yan Lubis atau DR. Rusdian Lubis sungguh
merupakan sebuah kehormatan, kejutan serta beban buat saya selaku pengulas. Kehormatan,
karena ini adalah sebuah buku karya seorang Doktor Ilmu Manajemen Sumber Daya
Alam lulusan Oregon University yang pernah menjadi seorang Direktur di
lingkungan Kementrian Lingkungan Hidup. Kejutan, karena sejak saya
tumbuh menjelang remaja di Bandung dan bersekolah dasar di SD Angkasa dan
sekolah menengah atas di SMA 9 Bandung dimana kedua lokasi sekolah tersebut
berada dekat dengan lingkungan militer TNI AU dan Pabrik Pesawat Nurtanio, maka
istilah “Anak Kolong” sudah begitu familiar di telinga anak-anak seusia saya
yang tinggal di Bandung. Seperti dikatakan Yan Lubis, istilah “Anak Kolong”
sendiri kerap dilekati sejumlah stigma baik perihal arogansi maupun kenakalan
mereka sebagai anak-anak militer. Jika Yan Lubis mengungkapkan kekagumannya
terhadap Gunung Thian San di Kirghistan yang sejak kecil hanya didengarnya
melalui cerita silat masa kecilnya yaitu Hoan Kiam Kie Tjeng namun saat
berhasil melihatnya dengan mata kepala sendiri saat bertugas di sana tahun 2012
berkata, “Aku dekati kaki gunung
tertinggi di belahan bumi utara ini dan mengusap batu-batunya sambil berteriak:
Finally, I see Tian San...”, maka saat membaca buku “Anak Kolong” saya
harus berkata, “Akhirnya, saya bertemu
anak kolong dan membaca buku tentang kehidupan mereka”. Beban,
karena buku yang saya ulas adalah buku setebal 383 halaman yang saya baru
terima hari Sabtu sore jam 16.30 sementara saya harus menyajikan ulasannya pada
Minggu malam jam 19.00. Baru kali ini saya buku dalam tempo satu hari satu malam membaca dan membuat
ulasan buku tersebut. Saya jadi teringat gagasan nyleneh kawan saya Pak Sabur
Herdian yang sering saja ejek perihal perlunya “kapsul buku” dimana saat
seseorang menelannya maka informasi perihal buku tertentu dapat diperoleh
seketika.